25 radar bogor

Capres-Cawapres Ganjar-Mahfud Di Analisis Pengamat Politik UNAIR

Capres-Cawapres Ganjar-Mahfud MD
Illustrasi Foto, Ganjar Pranowo menegaskan kesiapan Mahfud MD untuk mengikuti debat KPU RI yang akan digelar besok, jum'at (22/12).

JAKARTA-RADAR BOGOR, Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres) masih menjadi perbincangan hangat di Indonesia. Tak terkecuali, Dr Siti Aminah Dra MA, pengamat politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (UNAIR) menyoroti strategi pasangan Capres dan Cawapres Ganjar Pranowo dan Mahfud MD dalam meraup suara.

Baca Juga : Ganjar Pranowo Paparkan Jurus Tingkatkan Investasi

Pasalnya Ganjar sebagai Gubernur Jawa Tengah dan kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menggandeng Mahfud MD, tokoh Nahdlatul Ulama (NU) dan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan.

Pengamat Politik Siti Aminah menyatakan strategi PDIP dalam merangkul NU melalui Mahfud. Tidak menjamin kemenangan Ganjar dalam pemilihan presiden 2024.

Baginya, Mahfud itu seperti sosok intelektual NU yang ada di kampus pada umumnya. Aminah juga menegaskan bahwa pengalaman Mahfud di bidang hukum, politik, dan keamanan tidak menjamin visi-misi Ganjar sebagai presiden.

“Pengalaman Mahfud tidak menjamin visi-misi Ganjar. Sebab Ganjar mengusung visi misi PDI-P. Tentang ini perlu ada riset,” kata Aminah dikutip dari UNAIRNEWS.

Aminah menjelaskan bahwa ada tiga model yang bisa digunakan untuk menganalisis pengaruh dukungan tokoh NU terhadap elektabilitas Ganjar.Yakni, model preferensi pemilih, model ikut-ikutan, dan model utilitas.

Model Preferensi Pemilih

Dosen politik lokal dan kebijakan tata ruang perkotaan ini menjelaskan bahwa model ini, pemilih akan memilih kandidat yang paling positif dan paling berpeluang menang.

Dirinya juga mengungkapkan preferensi politik ayah atau preferensi politik ibu akan berpengaruh pada preferensi politik anak (terutama pemilih pemula).

Selanjutnya, Aminah juga memaparkan mengenai pemilih model ikut-ikutan.

Artinya, pemilih tidak ingin berada di pihak yang menang dalam kampanye pencalonan.

Hal ini merujuk pada pemilih yang cenderung mengikuti tren atau pandangan populer tanpa benar-benar memahami implikasi dari pilihan politik mereka.

Model utilitas

Aminah yang juga penulis buku seputar spasial politik, ini berpendapat model pemilih utilitas ialah pemilih yang mempertimbangkan elektabilitas dan penilaian mereka terhadap kandidat dalam menentukan pilihan.

Sebagai informasi, elektabilitas adalah suatu konsep dalam politik untuk mengukur atau menilai sejauh mana seorang kandidat atau partai politik dianggap memiliki potensi atau kemampuan untuk memenangkan pemilihan atau mendapatkan dukungan pemilih.

Berkaitan dengan elektabilitas, Aminah menjelaskan hal tersebut tidak mempengaruhi komunikasi politik.

“Masyarakat telah tersegregasi berdasarkan garis afiliasi partai politik sehingga komunikasi politik tidak cukup untuk mempengaruhi simpatisan fanatik, ikut arus, atau cuek,” papar penulis buku spasial politik itu.

Oleh sebab itu, Aminah memandang elektabilitas kurang berguna dalam meraup suara masyarakat secara strategis dalam pemilihan Capres.

“Ada konflik kepentingan, ketika para politisi mengklaim bahwa mereka lebih terpilih (elektabilitas tinggi dari survey-survey) karena implikasinya adalah mereka lebih berhak mendapatkan suara kita daripada lawan mereka,” tegas Aminah.

Pasalnya, selain menganalisis hasil survey yang dinamis. Masyarakat harus mengkaji lebih dalam mengenai visi dan misi masing-masing Capres.

Aminah menegaskan bahwa elektabilitas bukan tolok ukur yang relevan untuk mengatakan calon tertentu lebih unggul dan layak dipilih.

Baca Juga : Ganjar Jumpai Asosiasi Bisnis Amerika Serikat

“Kata elektabilitas dari survey-survey tujuannya untuk menutupi prasangka halus dengan mengecilkan hati kandidat yang tampil berbeda dari kandidat yang ‘lebih’ tradisional maupun ‘lebih’ dalam bidang atau hal yang lain,” paparnya.(jpg)

Editor : Yosep/Zenal-PKL