25 radar bogor

Tanggap Kualitas Udara, Begini Cara IPB Ukur Tingkat Polusi di Kota Bogor

Kepala Pusat Centre for Climate Risk and Opportunity Management in Southeast Asia Pasific (CCROM-SEAP), Rini Hidayati. (Radar Bogor/Reka Faturachman)

BOGOR-RADAR BOGOR, Buruknya kualitas udara di DKI Jakarta dan wilayah sekitarnya akibat tingkat polusi yang memburuk tengah jadi sorotan. Terdapat sejumlah metode yang dilakukan untuk mengukur tingkat polusi di sebuah wilayah.

Kepala Pusat Penelitian Lingkungan Hidup IPB University, Yudi Setiawan menjelaskan, pengukuran polusi dapat dilakukan melalui 2 metode yakni passive sampler dan active sampler. Kedua metode tersebut dibedakan berdasarkan periode pengambilan sampelnya.

Baca juga: Sungai Cimanglid Cikaret Dipenuhi Sampah, Lurah : Akibat Longsoran

“Passive sampler itu dilakukan dengan menyimpan sebuah alat yang pengukurannya itu dilakukan pada 2 periode yakni musim kemarau dan musim hujan. Sementara, active sampler itu metode dengan mengambil data dengan 1 alat yang volumenya tinggi secara terus menerus,” jelasnya usai mengikuti rapat koordinasi bersama Wali Kota Bogor, pada Rabu (16/8).

Yudi menyatakan, metode active sampler memiliki kecenderungan yang lebih baik dibanding metode passive sampler karena pengukutan dilakukan selama 24 jam sehingga hasilnya lebih mendetil.

Ia mengatakan, kemarau yang terjadi saat ini akibat fenomena el nino memang membawa dampak pada meningkatnya jumlah partikel udara PM2,5. Sebab, adanya hujan dapat mengurangi angka PM2,5 di udara.

“Kalau hujan turun, (tingkat) PM2,5 akan turun bahkan menjadi tidak ada. Namun Kalau curah hujan berkurang justru otomatis naik,” terang dia.

Kepala Pusat Centre for Climate Risk and Opportunity Management in Southeast Asia Pasific (CCROM-SEAP), Rini Hidayati mengungkapkan, Kota Bogor memiliki alat pengukuran yang terpasang di Kelurahan Baranangsiang.

Pengukuran itu dilakukan oleh IPB University dan sudah sesuai dengan standar penilaian internasional. Alat tersebut, merupakan hasil kerja sama dengan Jepang yang menggunakan metode gravimetri.

Rini mengatakan alat tersebut sudah banyak digunakan secara internasional. Bahkan, Cina pun akan turut menggunakan alat bernilai Rp4 miliar itu namun belum mendapatkan kesempatan.

“Alatnya menyedot udara dari sekitarnya selama 3 jam, lalu dianalisis. Di situ ada reagen-nya, nanti dipisah-pisahkan (jenis polutan) antara PM10, PM2,5, CO2. Zat yang ada ditimbang menggunakan timbangan yg sangat sensitif,” jelasnya.

Baca Juga: Kondisi Udara Kota Bogor Memburuk, Bima Ungkap Penyebabnya

Rini menerangkan seharusnya dalam mengukur polusi bukan hanya memperhatikan dari aspek PM2,5 saja. Namun juga mengenai gas rumah kaca, CO2, metana yang saat ini berubah dan terdapat peningkatan.

“Particuler Matter (PM) memang berbahaya untuk kesehatan. Namun partikel lain berbahaya untuk iklim. Itu yang perlu kita perhatikan juga. Sebab, jika tidak mengabaikan hal itu, maka iklim akan semakin cepat berubah,” ucap dia.(*)

Reporter: Reka Faturachman
Editor: Imam Rahmanto