25 radar bogor

Banyak Ujaran Kebencian di Sosial Media, Begini Faktanya..

sosial media
sosial media

BOGOR-RADAR BOGOR, Tidak hanya mempermudah komunikasi, perkembangan teknologi, khususnya sosial media zaman sekarang, tentu banyak yang digunakan sebagian orang untuk menyebar ujaran kebencian kepada satu kelompok.

Hal itu tentu yang harus dijaga tiap orang, dalam bermain sosial media. Salah satu caranya dengan menjunjung tinggi sifat toleransi kepada sesama.

Jenis ujaran kebencian yang ada di sosial media contohnya, seperti pelecehan terhadap kaum perempuan secara online, dan body shaming, atau pelecehan terhadap salah satu bagian tubuh yang dimiliki oleh seseorang.

Artinya, anak-anak muda harus didorong untuk memproduksi dan membagikan konten positif secara online. Dia mengatakan, penyebaran pesan intoleran itu cenderung meningkat, menjelang pilkada ataupun pilpres, yang sarat dengan muatan politik.

Sekertaris Program Studi D3 Sistem Informasi, Universitas Merdeka Malang, Hudan Eka Rosyadi dalam Webinar Literasi Digital: “Teknologi Merajut Toleransi” yang diselenggarakan Kementerian Kominfo dan DPR membeberkan data, bahwa untuk tahun 2020, sebanyak 9,6 juta ujaran kebencian telah dihilangkan oleh Facebook. Tahun ke tahun, terjadi peningkatan jumlah ujaran kebencian yang dihilangkan oleh Facebook.

Sebanyak 3,9 juta para penyebar ujaran kebencian di sosial media, mayoritas menggunakan nama samaran untuk akun mereka, dengan tujuan untuk menghindari diketahuinya identitas asli mereka. Selain itu mereka umumnya menargetkan akun-akun yang memiliki jumlah pengikut yang banyak, atau akun yang memiliki tingkat aktivitas yang tinggi.

Baca juga: Suka Bikin Konten Digital? Begini Cara Jadi Netizen Bijak di Sosial Media

“Kemunculan ujaran kebencian dan rasisme di sosial media disebabkan oleh relasi yang tidak seimbang, antara teknologi dan kehidupan sosial sehari-hari. Jika teknologi digunakan oleh seseorang atau komunitas yang tidak paham mengenai manfaat dari perkembangan teknologi, maka akan muncul potensi terjadinya hal yang tidak diinginkan,” beber dia.

Ujaran kebencian dan berita hoaks memberikan dampak yang signifikan terhadap pemikiran dan toleransi antara pengguna sosial media. Selain itu, anak-anak muda merupakan salah satu subjek yang rawan sekali mencerna, dan terkena hal-hal negatif yang ada pada sosial media.

“Karena mereka lebih banyak menghabiskan waktu mereka pada platform tersebut, serta informasi yang ada pada sosial media disajikan tanpa dilakukan filter terlebih dahulu oleh system, mengenai apakah layak untuk ditampilkan atau tidak,” tambahnya.

WhatsApp group digunakan sebagai salah satu bentuk dari sebuah komunikasi dan tempat pertukaran informasi, yang mayoritas penggunanya secara tidak sengaja ikut dalam aksi menyebarkan berita hoax, dan ujaran kebencian yang disebabkan oleh pola pikir “sharing is caring”.

Kebanyakan hal itu dilakukan tanpa melakukan cross check kebenaran informasi yang ada terlebih dahulu. “Jadi diperoleh kesimpulan, yaitu masyarakat Indonesia secara garis besar sudah menunjukkan tanda-tanda, bahwa mereka paham dan mengerti mengenai sebuah ujaran kebencian di media sosial, serta mayoritas juga sudah sesuai dalam memberikan pendapat yaitu unggahan tersebut adalah sebuah unggahan yang tidak tepat atau salah,” tandas dia.

Makanya, Head of Operation and Bussiness Strategy dari Mitra Sinergi Performa, Alden Nelson mengatakan, toleransi menjadi cara mencegah dampak-dampak negatif yang ada di sosial media.

Dia menjabarkan, bahwa toleransi yaitu pemberian kebebasan kepada sesama Manusia, atau kepada sesama masyarakat, untuk menjalankan keyakinan atau mengatur hidupnya dan menentukan nasibnya masing-masing, selama dalam menjalankan dan menentukan sikapnya itu tidak melanggar dan tidak bertentangan dengan syarat-syarat atas terciptanya ketertiban dan perdamaian dalam masyarakat

Toleransi memiliki tiga dimensi, yaitu penerimaan terhadap perbedaan, penghormatan terhadap perbedaan, dan apresiasi terhadap perbedaan.

Wujud toleransi yaitu empat pilar kebangsaan yaitu Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhineka Tunggal Ika. “Untuk menumbuhkan sikap toleransi di era digital dibutuhkan peran keluarga, peran Pendidikan, dan peran pemangku kepentingan seperti eksekutif, legislative, yudikatif, tokoh agama dan masyarakat,” tegas dia.

Sementara itu, Anggota Komisi I DPR, Mayjen TNI Mar. (Purn) Sturman Panjaitan menambahkan, bahwa pemuda digadang-gadang menjadi pionir dalam kemajuan teknologi kearah yang lebih baik.

Dari para pemuda inilah, seharusnya pengetahuan tentang digitalisasi disebar luaskan. Hingga nantinya bisa mencapai seluruh wilayah Indonesia.

Berbicara tentang pengaruh pemuda dalam dunia digital, khususnya di sosial media, tentu tidak lepas dari kata ‘konten kreator’.

Sturman pun memberikan kiat-kiat, agar kita dapat memanfaatkan sosial media dengan benar, sesuai dengan norma dan perilaku yang bijak. Seperti memiliki wawasan yang cukup tentang dunia digital, harus mampu memilah informasi dari medsos, harus bijak dalam berkomentar di medsos, waspada pada konten-konten mencurigakan, menyaring konten negatif, mampu menjadi netizen yang menghargai dan bertoleransi. Baik dari segi sosial, pribadi dan agama.

“Intinya, jangan juga asal dalam bermain sosial media, harus tahu bagaimana aturan yang ada. Karena semua ada aturannya, tidak bisa sembarangan,” tutup dia. (ran)