25 radar bogor

Mendagri Ungkap Penyebab Penolakan Pembangunan Rumah Ibadah, GKI Yasmin Sempat Bikin Tito Pusing

GKI Pengadilan di Cilendek Barat, Kota Bogor, telah rampung dibangun. Kini, sudah bisa dimanfaatkan untuk beribadah. (Radar Bogor/ Sofyansyah)

BOGOR-RADAR BOGOR, Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian menyebut sedikitnya ada empat faktor penyebab terjadinya penolakan pembangunan rumah ibadah yang terjadi di Indonesia. Hal ini diketahuinya berdasarkan pengalamannya menjabat sebagai Mendagri hingga Kapolri beberapa waktu lalu.

Hal itu disampaikan saat menghadiri peresmian gedung GKI Bogor Barat, Kota Bogor pada Minggu (9/4).

Diakui Tito, saat menjabat sebagai Kapolda Metro hingga Kapolri, salah satu hal yang membuatnya pusing adalah kasus GKI Yasmin sebelum menjadi GKI Pengadilan Pos Bogor Barat.

Karena aksi demonstrasi yang dilakukan pasti dilaksanakan di Istana Negara, dan persoalan ini tidak pernah menemukan jalan keluar.

Baca Juga: Jusuf Kalla Bicara Soal Penyelesaian Polemik GKI Yasmin

“Memang jadi persoalan. Saya pelajari betul dan tadi saya sudah laporkan ke bapak Menko Polhukam, di satu sisi memang ada permasalahan yang kompleks, gak satu masalah terkait dengan pendirian rumah ibadah ini,” beber dia.

Soal penolakan pembangunan rumah ibadah, dijelaskan Tito Karnavian, sebenarnya pemerintah sudah menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu melalui Pasal 29 ayat 2 UUD 1945.

Akan tetapi, yang menjadi persoalannya adalah yang terjamin itu baru sebatas untuk beragama dan menjalankannya. Sementara, etnis yang menjalankan terkadang menjadi masalah.

Oleh karena itu, pemerintah kembali mengeluarkan Peraturan Bersama Menteri (PBM) Nomor 8 dan 9 tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat.

Akan tetapi, kembali ada persoalan khususnya pada pasal 14 mengenai pendirian tempat ibadah, yang menyarankan empat hal. Pertama, minimal (ada) 90 jemaat.

Baca Juga: 15 Tahun Terkatung-katung, Akhirnya Relokasi. Begini Kronologis Konflik GKI Yasmin

“Kedua, mendapat dukungan minimal 60 warga sekitar. Warganya mendukung dan gak ada masalah, tapi ada kelompok-kelompok tertentu atau pihak lain yang mempengaruhi masyarakat supaya jangan sampai mendapatkan 60 dukungan,” sambung Tito.

Ketiga, harus ada rekomendasi dari Dinas Agama atau Departemen Agama di wilayah masing-masing. Terakhir, rekomendasi dari FKUB. Namun, dalam praktiknya keempat hal ini banyak menuai permasalahan.

“Dalam praktik ini banyak masalah. (Syarat) 90 orang itu (ketika) kurang, mulai melakukan protes terutama yang di rumah dan ruko. Ini pro-kontra karena disebut bukan rumah ibadah karena kurang dari 90, bubarin, protes, dan macam-macam,” ucap dia.

Kemudian, lanjutnya lagi, ada pula FKUB yang objektif yaitu aktif membuat program, menggelar pertemuan bulanan, serta aktif membahas setiap ada masalah-masalah potensi konflik keagamaan. Sementara, ada juga yang berlaku sebaliknya.

“Dalam artian, FKUB yang jarang melakukan pertemuan atau responsif, baru berkumpul ketika sudah dekat (terjadi permasalahan),” bebernya.

Untuk itu, Tito meminta kepada semua kepala daerah untuk menganggarkan operasional FKUB yang ada di masing-masing wilayahnya.

“Coba kita cek di daerah-daerah ada FKUB yang dianggarkan oleh kepala daerah, ada juga yang tidak menganggarkan. Saya sering menyampaikan itu perlu,” jelas dia.

Ketika sudah terjadi perpecahan, biaya yang harus dikeluarkan lebih tinggi ketimbang melakukan perawatan kerukunan.

Baca Juga: Tim 7: Relokasi GKI Yasmin Solusi Terbaik

“Oleh karena itu, kami akan menekankan kembali untuk FKUB agar dibiayai, sehingga mereka membuat program dan minimal kalau dia jalan akan bisa berkonsolidasi dan berkomunikasi (ketika ada persoalan),” imbuh dia.

Terakhir, untuk Dinas Agama, mereka ini peralihan yang menentukan pengelolaan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) tempat ibadah. Diperlukan juga keterlibatan mereka bersama kepala daerah, untuk mengingatkan para jamaah agar melakukan akulturasi dan pembauran terhadap masyarakat di sekitar rumah ibadah.

“Itu sangat penting sekali, dan hindari ekslusifitas,” pinta dia.(*)

Reporter: Dede Supriadi
Editor: Imam Rahmanto