25 radar bogor

Ekspedisi Gerakan Anak Negeri Edisi Baduy 2 : Ketika Gadis-Gadis Baduy Pergi ke Sungai

Baduy
CEO Radar Bogor Group Hazairin Sitepu saat berbincang dengan warga Baduy Luar.

Oleh, Hazairin Sitepu

HUJAN belum berhenti turun. Suara petir bahkan baru mulai mengelegar di seantero Cibogoh. Pohon-pohon tinggi di depan rumah Bapak Kasman tampak menari-nari. Angin memang mulai bertiup kencang.

Baca Juga : Ekspedisi Gerakan Anak Negeri Edisi Baduy (1) : Bawa Panci, Disambut Kotek Ayam

Letaknya di kemiringan bukit. Di depannya banyak batu berselimut tanah liat.  Banyak pepohonan. Kira-kira seratus langkah dari Sungai Cibogoh. Meski adanya paling Selatan kampung, rumah Bapak Kasman ini sangat strategis. Dari teras saya melihat gadis-gadis Baduy berpayung daun pisang berjalan sangat cepat. Naik-turun jalan bebatuan,  menuju sungai. Kembali dari sungai pun langkah mereka sangat cepat.

Saya memang disambut Bapak Kasman dan keluarga di rumahnya itu. Dijamu hidangan istimewa: gula aren dan air putih hangat.  Santi pun ikut menyambut. Juga Jidan, kakaknya. Saya hadir di Cibogoh Minggu sore itu untuk menghadiri pernikahan Santi dengan Agus Senin keesokan harinya. Pernikahan adat yang penuh misteri.  Kasman adalah ayah Jidan dan Santi.

Sore menjelang magrib tiba-tiba banyak pemuda dan remaja, juga gadis-gadis, berjalan cepat menuju sungai. Dalam pikiran saya kemungkinan mereka hendak mandi. Saya pun menyusul ke sungai ingin melihat seperti apa orang Baduy mandi rame-rame.

Disiram rintik hujan dengan suara petir yang terus menggelegar, entah berapa kali terpeleset di atas batu-batu licin, saya pun sampai di tepi sungai yang mengalir deras itu. Airnya keruh. Lalu di pelataran tepi sungai saya melihat banyak tungku yang apinya sedang menyala.

Di atas tungku-tungku ada kuali berisi air. Lebih dari 20 orang berada di sekitar tungku-tungku itu. Masing-masing mereka memegang ayam yang sudah disembelih. Lalu dicelupkan ke dalam air panas dalam kuali. Ternyata pemuda-pemuda, remaja-remaja dan gadis-gadis Baduy itu hendak melakukan satu ritual di tepi sungai di senjakala itu. Rit-ual membersihkan ayam. Bukan mandi rame-rame.

Saya sudah memulai malam di Baduy. Kampung Cibogoh makin gelap. Rumah tempat saya dan rombongan tinggal makin lebih gelap lagi. Apakah bisa salat magrib? Bagaimana makan malam nanti. Bagaimana mandi? Sementara air di sungai sedang keruh. Sedang banjir,  lantaran hujan yang terus turun di Baduy? “Insyaallah keadaannya tidak separah pikiran saya. Toh datang ke Baduy ini untuk mengalami hal-hal yang belum atau tidak pernah dialami,” kata saya dalam hati.

Ingin berwudhu di air pancuran bambu. Kira-kira 100 meter dari rumah. Ini tempat mandi umum pria. Kalau ada yang sedang mandi di situ tanpa penutup benda yang paling aurat, tidak masalah. Toh sama-sama pria. Saya cuman ingin berwudhu.

Tetapi saya harus membatalkan rencana itu setelah terpeleset di atas batu-batu berlumpur di jalan depan rumah tempat saya tinggal. Sendal yang saya gunakan pun talinya nyaris putus. Lagi pula tidak ada gunanya saya berwudhu ke sana kalau kembali dengan kaki penuh lumpur.

Mata saya pun liar ke samping kanan  rumah, menangkap benda hitam besar mirip drum. Persis di tiris paling pojok. Saya datang ke benda itu. “Alhamdulillah. Ini gentong. Ada airnya,” kata saya setengah berteriak memberi tahu teman-teman.

Gentong itu memang sengaja ditaruh di situ untuk menadah air hujan yang jatuh dari atap rumah. Setelah wudhu, kami pun salat berjamaah yang dijamak magrib-isya.  Apakah ini salat berjamaah pertama di Baduy? Hanya Allah yang tahu. Dan keraguan apakah bisa wudhu, apakah bisa salat, terjawab sudah. Alhamdulillah.

Baca Juga : Ekspedisi Gerakan Anak Negeri Tana Toraja (4) : Tahta Tertinggi Kematian Setelah Pemotongan 24 Kerbau

Makan malam sebenarnya sudah digabung dengan makan siang pada sore hari tadi. Menjelang  magrib. Menunya: nasi akel, ayam panggang dan sambal petai.  Nasinya sama dengan nasi pada umumnya di luar Baduy.  Begitu pun ayam panggangnya. Yang bikin lebih bernafsu makan adalah sambal petai itu. Semua kami bilang “Ini sambal petai paling enak.”

Bagian ketiga tulisan ini saya menceritakan bagaimana kami melewati malam yang dingin di Baduy. Bagaimana turun dari gunung menembus malam gelap-gulita hanya untuk buang air besar. (*)