25 radar bogor

Ekspedisi Gerakan Anak Negeri Edisi Baduy (1): Bawa Panci, Disambut Kotek Ayam

Baduy
CEO Radar Bogor Hazairin Sitepu bersama rombongan berjalan menuju perkampungan Suku Baduy.

Oleh, Hazairin Sitepu

PERJALANAN ke Baduy memakan waktu kurang-lebih lima jam. Itu waktu tempuh mobil dari Bogor sampai di perbatasan Cijahe-Cisadane di Baduy Luar. Saya dan rombongan baru tiba di Cibogoh menjelang sore. Lalu tinggal di Baduy itu satu hari. Merasakan malam buta dan dingin menggigil.

Baca Juga : Ekspedisi Gerakan Anak Negeri Tana Toraja (1) : Menelusuri dan Menikmati Beras Langka dan Termahal di Dunia

Pukul 05.00 WIB saya sudah di kantor. Beberapa anggota rombongan ternyata sudah lebih dulu tiba. Kami menaikkan barang-barang ke atas mobil. Sambil menunggu yang lain, ada yang harus salat subuh. Saya sudah menunaikan kewajiban itu di rumah.

Tidak ada hujan. Gerimis pun tidak. Cuaca di Bogor subuh hari itu memang cerah. Secerah hati kami yang sedang siap-siap memulai perjalanan ekspedisi ke Baduy. Ini ekspedisi ketiga ke desa adat yang unik di Banten itu. Atau ekspedisi keenam Gerakan Anak Negeri.

Ekspedisi pertama ke Baduy bulan September 2021. Ketika Covid-19 masih memuncak. Waktu itu saya masuk sampai perkampungan Baduy Dalam di Cikeusik. Melihat bagaimana masyarakat Baduy menerapkan hukum adatnya. Barang-barang modern tidak boleh masuk ke wilayah adat ini.

Di Baduy itu mandi tidak boleh pake sabun, karena itu mencemari lingkungan. Tidak boleh menebang pohon di luar wilayah pertanian (yang ditentukan). Tidak boleh memelihara babi. Juga semua hewan berkaki empat. Kecuali anjing (untuk menjaga keamanan dan berburu).

Masyarakat adat Baduy ada dua: Baduy Dalam dan Baduy Luar. Tinggal di wilayah pengunungan Kendeng, Kabupaten Lebak, Banten. Mereka menghuni 56 kampung di Desa Kanekes. Total penduduk Baduy kira-kira 15 ribu jiwa. Sejumlah kira-kira 2000 jiwa di Baduy Dalam (Cikeusik, Cibeo dan Cikertawana) dan 13 ribu di Baduy Luar.

Anak-anak Baduy Dalam tidak boleh sekolah. Tidak boleh megenakan alas kaki. Jika bepergian tidak boleh naik kendaraan. Jalan kaki, tanpa alas kaki, berhari-hari, naik-turun gunung sekali pun.

Hukuman paling berat bagi pelanggar aturan adat itu: diusir dari Baduy Dalam selama 40 hari. Ada yang mengatakan hukuman itu sampai tiga bulan tidak boleh menginjakkan kaki di wilayah Baduy Dalam.

Ekespedisi kedua di bulan Oktober 2021, ketika satu kampung Baduy Luar terbakar. Kami datang membawa sumbangan untuk membantu mereka mambangun kembali rumah-rumah yang terbakar itu. Ekspedisi kali ini ke Cibogoh, salah satu kampung adat di Baduy Luar.

Tiga mobil, 12 orang. Kami membawa barang-barang alakadarnya saja. Selimut, peralatan masak, bahan makanan. Barang sangat berharga yang wajib adalah power bank. Kami tahu di Baduy tidak ada listrik untuk merngisi batre handphone dan lampu elektronik. Di Baduy Luar, barang-barang itu dibolehkan.

Barang paling berharga yang samasekalali tidak boleh lupa dibawa adalah panci, beberapa peralatan masak, dan ikan asin. Barang-barang itu adalah hantaran, adalah kado, yang hendak kami serahkan ke keluarga mempelai di hari pernikahan Santi dengan Agus. Kami datang ke Baduy kali ini memang untuk menghadiri pesta pernikahan Santi dengan Agus.

Mengapa peralatan masak dan ikan asin? Rumah tangga baru di Baduy memang sangat memerlukan barang-barang itu. Ikan asin termasuk makanan berharga di Baduy. Jika memberi pakaian, sudah pasti tidak akan dipakai. Orang Baduy hanya mengenakan pakaian adatnya: biru-hitam oleh masyarakat Baduy Luar dan putih-hitam oleh masyarakat Baduy Dalam.

Pukul 05:30 WIB saya dan rombongan meninggalkan Bogor melalui Jasinga ke Rangkasbitung. Terus ke Cijahe di Kabupaten Lebak, sejauh 150 kilometer. Meski agak berkelok, jalan Bogor-Rangkasbitung cukup mulus. Baru merasakan jalan rusak dan sangat rusak, kira-kira dua kilometer menjelang Cijahe. Jalan akses ke Baduy ini sepertinya tidak mendapat perhatian.

Tiba di Cijahe pukul 13-an setelah sebelumnya singgah di Baduy Luar Cibuleger. Selain serapan menjelang waktu makan siang, saya bertemu Jaro Saija, kepala desa Baduy. Ini kali kedua saya bertemu Saija. Sebelumnya saya bertemu dia di lokasi bencana kebakaran. Jaro Saija mengenakan baju safari warna hitam, celana Baduy warna hitam, ikat kepala warna biru.

Masyarakat adat Baduy memiliki dua pimpinan tertinggi: dalam struktur pemerintahan ada Jaro (kepala desa) dan dalam struktur adat ada Puun. Jaro tinggal di Baduy luar, Puun tinggal di Baduy Dalam. Jaro boleh ke mana saja, termasuk pergi ke kota, menghadiri undangan pemerintah daerah maupun pusat. Puun hanya boleh di wilayah Baduy.

Segala urusan persiapan di Cijahe selesai, saya dan rombongan ekspedisi pun memulai hari di Baduy. Berjalan kaki ke arah Selatan, dari jembatan bambu pertama perbatasan Baduy Luar di Cisadane, menuju kampung Cibogoh. Kira-kira dua kilometer.

Rintik hujan tiada henti membuat permukaan jalan sangat licin, juga berbecek. Saya dan rombongan kadang terpeleset. Tetapi kami harus melewati lima jembatan bambu untuk bisa sampai di Cibogoh. Melewati hutan dengan pohon-pohon yang tinggi. Juga harus melewati jalan yang bebatuan nan licin.

Kami tidak hanya membawa badan. Tetapi saya harus memikul peralatan masak untuk hantaran pernikahan. Anggota rombongan lain membawa ikan asin, bahan-bahan makanan, ransel dan peralatan liputan.

Beberapa pemuda dan remaja Baduy membantu memikul barang-barang lain kepentingan tim ekspedisi.

Mereka sangat tangguh dan tampak biasa saja. Sementara banyak di antara kami, termasuk saya, sangat sering oleng ke kiri dan ke kanan. Menjaga keseimbangan untuk tidak terjatuh atau pun terpeleset. Tetapi tetap saja jatuh dan terpeleset juga.

Baca Juga : Ekspedisi Gerakan Anak Negeri Tana Toraja (2) : Dari Olahan Susu Campur Nasi hingga Makan Ikan Mentah, Pacco dan Lawa Sashimi Ala Sulsel

Kami pun akhirnya tiba di Cibogoh ketika waktu sudah sore. Disambut hujan yang mulai deras dan kotek ayam sahut-mernyahut dari rumah-rumah Baduy di Cibogoh itu. Sorot mata orang-orang Baduy yang sedang duduk di serambi-sarambi rumah mengarah ke saya dan rombongan. Tampak keheranan.

“Ada apa orang-orang aneh ini datang ke kampung kami,” mungkin begitu kata mereka. Bagaimana rasanya tinggal di Baduy. Apakah bisa salat? Bagaimana kalau ingin buang air besar? Bagaimana kalau ingin mandi? Saya menceritakan di bagian kedua tulisan ini. (*)

Editor : Yosep