Di Balik Kebijakan Ekspor Benur Lobster Menteri Edhy Prabowo Berujung OTT

Ilustrasi benih lobster

JAKARTA-RADAR BOGOR, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo.

Menteri Kelautan dan Perikanan Edhi Prabowo Ditangkap KPK

Edhy diamankan oleh tim penindakan KPK di Bandara Soekarno Hatta sekitar pukul 01.23 WIB, Rabu (25/11/2020).

“Tadi pagi jam 01.23 WIB di Soetta (Soekarno-Hatta). Ada beberapa dari KKP dan keluarga yang bersangkutan,” kata Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron dikonfirmasi, Rabu (25/11/2020).

Pimpinan KPK berlatar belakang akademisi ini mengakui, Edhy diamankan KPK karena diduga melakukan korupsi terkait ekspor benih lobster atau benur. “Benar KPK tangkap, terkait ekspor benur,” ujar Ghufron.

Seperti diketahui, ketika Susi Pujiastuti menjabat sebagai Menteri KKP, dikeluarkanlah kebijakan larangan ekspor bibit ini melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56/Permen-KP/2016. Alasannya, agar sumber daya lobster ini lebih berkelanjutan.

Namun kemudian aturan tersebut direvisi oleh Menteri Edhy Prabowo dengan terbitnya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp), Kepiting (Scylla spp), dan Rajungan (Portunus spp), di wilayah Negara Republik Indonesia.

Ilustrasi benih lobster

Keinginan Sejak Duduk Di Kursi DPR

Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo mengklaim, segala kebijakan yang diambil tersebut bertujuan untuk kesejahteraan rakyat. Ia mengaku, saat menjabat di kursi pimpinan komisi VI DPR RI dulu, dirinya kerap mendengar keluhan dari para pelaku usaha benur lobster.

Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo Ditangkap KPK Terkait Ekspor Benur

“Keputusan kami bukan kitab suci, bisa diubah dan direvisi. Yang jelas apa yang kami lakukan bukan atas dasar ingin berbeda dari kebijakan yang dulu,” ujarnya dalam diskusi virtual, Kamis (16/7/2020).

Edhy menyebut, kebijakan membuka kembali keran ekspor benih lobster memiliki dasar yang terukur. Dari pengalamannya selama menjadi anggota DPR, Edhy ingin menjembatani komunikasi yang buntu dari masyarakat nelayan. Sehingga kebijakan ekspor benur lobster baru dapat direalisasikan saat menjabat sebagai menteri.

“Kami baru bisa ketika dapat tugas dari Pak Presiden. Dan ini tugas dari Pak Presiden untuk menyelesaikan komunikasi yang buntu dari masyarakat nelayan,” ungkapnya.

Edhy menyadari, kebijakan tersebut akan menuai berbagai kritik dari berbagai kalangan dan masyarakat. Namun, dirinya optimistis kebijakan yang telah diputuskan tersebut merupakan hal yang tepat.

Mendapat Dukungan Berbagai Pihak

Kebijakan Menteri Edhy dalam membuka keran benur lobster mendapat dukungan dari berbagai pihak. Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) mendukung rencana pemerintah yang bakal membuka lagi ekspor benur lobster.

Ilustrasi benih lobster

Kebijakan itu dianggap sudah tepat untuk konteks ini. Wakil Ketua Umum MAI Muhibbuddin Koto mengatakan, jumlah benur lobster di alam sangat melimpah. Sementara kegiatan budi daya benur lobster di dalam negeri baru dimulai.

Operasi Senyap Edhy Prabowo Dipimpin Langsung Penyidik KPK Novel Baswedan

Merujuk hasil kajian Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDM) yang dirilis Komisi Pemangku-Kepentingan dan Konsultasi Publik Kementerian Kelautan dan Perikanan (KP2 KKP), setiap tahun tersedia sekitar 12,3 miliar ekor benur lobster. Data itu disampaikan KP2 KKP dalam konsultasi publik pada 5 Februari 2020 lalu.

“Kebutuhan benur per tahun masih sangat kecil. Walaupun dengan persiapan yang baik, maksimal baru bisa dimanfaatkan 10 juta ekor tahun ini,” ujar Muhibbuddin Koto dalam keterangan kepada JawaPos.com, Jumat (14/2/2020).

Pria yang biasa disapa Budhy Fantigo itu mengatakan, ekspor benur lobster sangat bermanfaat untuk meningkatkan pendapatan nelayan. Ekspor benur lobster diperkirakan berdampak pada kehidupan nelayan.

Mantan GM Marikultur Perum Perindo itu menyebut, pelarangan ekspor benur lobster yang termuat dalam Permen KP No 56/2016 justru membuat belasan ribu nelayan menganggur dalam lima tahun terakhir.

“Tidak hanya dapat mensejahterakan belasan ribu nelayan, tentu dari ekspor benur lobster juga membuat negara memperoleh devisa yang bermanfaat,” ujar Budhy.

Ilustrasi benih lobster

Budhy Fantigo menepis anggapan bahwa aktivitas ekspor benur lobster akan membuat benur lobster menjadi punah. Sebab, kebutuhan Vietnam atau negara lain secara keseluruhan masih di bawah 100 juta ekor per tahun. Dengan kata lain, masih jauh jika dibandingkan ketersediaan benur lobster di alam Indonesia yang jumlahnya mencapai 12,3 miliar ekor.

“Dengan ekspor benur akan menghasilkan devisa triliunan rupiah per tahun. Jika tidak ekspor, benur hanya akan mati sia-sia di alam atau jadi santapan predator,” ujar Sekjen Abilindo itu.

Budhy Fantigo menambahkan, buntut pelarangan ekspor benur lobster malah membuat maraknya aktivitas penyeludupan karena pelarangan tersebut berbenturan dengan permintaan yang ada.

“Dan penyeludupan hanya menguntungkan segelintir orang dan oknum aparat yang membantu melancarkan penyeludupan tersebut,” ujarnya.

Selain itu, Wakil Ketua DPR periode 2014-2019 Fahri Hamzah juga turut mengapresiasi kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo yang kembali membuka keran ekspor bibit lobster.

Hal itu terucap melalui akun sosial medianya bahwa lobster merupakan bisnis nelayan miskin. Sehingga, tidak sepatutnya dilarang.

Ilustrasi benih lobster

“Lobster itu produksi (netas) rutin. Minyak dan mineral perlu jutaan tahun. Kok enggak dilarang? Tambang bisnisnya orang kaya. Lobster bisnisnya nelayan miskin. Kok rakyat dilarang? Laut itu luas, tiga kali daratan. Manusia aja kita gagal hitung apalagi lobster,” ungkapnya seperti dikutip dari akun Twitter, Minggu (5/7/2020).

“Kita lupakan masa lalu tapi kita harus berbuat yang lebih baik. Pengusaha sekarang diwajibkan bikin budidaya. Negara dapat pemasukan, nelayan dapat penghasilan, pengusaha menjadi mitra,” ucapnya.

Sementara, terkait alasan benih lobster yang diekspor dan tidak menunggu besar seperti yang menjadi alasan sebelumnya, kata dia, budidaya tetap dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

“Sama dengan pertanyaan kenapa emas tidak jadi cincin dulu, kayu tidak jadi lemari dulu, CPO tidak jadi sabun dulu. Lobster lebih khas lagi. Benurnya mati lebih dari 90 persen jadi makanan ikan atau tidak survive. Diselamatkan,” ungkap Fahri.

Selain itu, Fahri juga mengaku, bisnis lobster bukanlah hal yang baru baginya. Selain menjadi seorang politikus, dia juga menjalankan bisnis lobster sejak lama bersama keluarganya.

Meskipun demikian, Fahri menyebut dirinya baru menggeluti bisnis tersebut setelah tak lagi berada di posisi sebagai pejabat. Dia mengaku menjadi pebisnis setelah pensiun di pemerintahan sejak 1 Oktober 2019.

Ilustrasi benih lobster

“Saya bukan orang baru, karena kami orang pesisir, saya dulu menghindari terjun langsung karena menjabat. Tidak etis saja. Tapi keluarga saya juga keluarga nelayan dan petambak udang dan ikan, lobster bukan dunia baru. Saya paham peta,” ungkapnya.

Tak Perduli Meski Dibully

Menteri Edhy Prabowo tak perduli meskipun kebijakannya menuai banyak kontra bahkan dibully oleh sebagian besar masyarakat. Edhy mengaku tidak mempersoalkan banyak cibiran atas keputusannya mengizinkan pengambilan dan ekspor benih lobster. Pasalnya, dia merasa keputusan tersebut sudah berdasarkan kajian ilmiah dan mengikuti semua prosedur.

Edhy juga menegaskan, alasan utamanya mengeluarkan izin tersebut lantaran ingin menghidupkan kembali puluhan ribu nelayan penangkap benih yang kehilangan pekerjaan. Selain itu juga untuk mendorong majunya budidaya lobster nasional tanpa mengabaikan keberlanjutan.

“Saya tidak peduli di-bully, yang penting saya berbuat yang terbaik untuk masyarakat saya. Saya enggak takut dikuliti, karena yang saya perjuangkan bagaimana masyarakat kita bisa makan, dan itu sesuai perintah Presiden,” ucapnya.

Dirinya pun mengaku siap diaudit atas keputusannya mengeluarkan izin ekspor benih lobster, termasuk audit proses seleksi perusahaan penerima izin ekspor. Mengenai ada orang dekatnya yang menerima izin, Edhy mengaku tidak tahu-menahu.

“Jadi, ada perusahaan yang disebut ada korelasinya dengan saya, sahabat saya, yang sebenarnya saya sendiri tidak tahu kapan mereka daftarnya. Karena ada tim sendiri yang memutuskan izin ini, terdiri dari semua Dirjen, termasuk Irjen. Silakan saja kalau curiga, itu biasa. Silakan audit, cek, KKP sangat terbuka,” ujarnya dikutip dari Antara, Selasa (7/7/2020).

Ilustrasi benih lobster

Ia menyebut, pendaftaran perusahaan eksportir benih lobster ditangani oleh tim yang terdiri dari semua eselon I KKP, termasuk pihak inspektorat yang tugasnya mengawasi. Edhy memastikan tidak mencampuri apalagi mengintervensi proses pemberian izin bagi pendaftar eksportir benih lobster.

Politikus Gerindra itu juga mengajak masyarakat untuk fokus pada pengawasan proses pemberian izin, bukan malah mengurusi perusahaan siapa yang mendapat izin. Ini karena perusahaan/koperasi manapun boleh mengajukan sebagai eksportir benih lobster.

Pengambilan benih lobster dari alam dan izin ekspor diatur dalam Peraturan Menteri KP Nomor 12 tahun 2020 yang terbit awal Mei 2020.

Aturan ini turut mewajibkan eksportir melakukan budidaya lobster dan melepasliarkan dua persen hasil panen ke alam. Benih yang dibudidaya harus dibeli dari nelayan dengan harga minimal Rp 5.000 per ekor. (jpg)