JAKARTA–RADAR BOGOR,Dampak dari pelemahan rupiah, Bank Indonesia merespons dengan upaya konkret untuk tetap menopang pertumbuhan ekonomi. Salah satunya adalah dengan melonggarkan aturan kredit di sektor properti, yaitu terkait rasio loan to value (LTV). Kebijakan yang rencananya berlaku mulai 1 Agustus mendatang itu diharapkan mampu mendukung kinerja properti yang sempat melambat di akhir 2017 sampai awal 2018.
Kebijakan tersebut meliputi beberapa aspek, di antaranya adalah pelonggaran rasio LTV untuk kredit properti dan rasio financing to value (FTV) untuk pembiayaan properti. Aturan tersebut memungkinkan uang muka untuk pembelian rumah pertama menjadi 0 persen.
”Relaksasi ini kami percaya akan meningkatkan sektor properti.
Kami sudah diskusi dan memproyeksikan bahwa relaksasi ini tujuannya mendorong permintaan khususnya di segmen menengah ke atas,” ujar Sekretaris Jenderal Real Estate Indonesia Totok Lusida.
Menurut Totok, sektor properti yang tertimpa beban ganda kenaikan bunga dan melemahnya rupiah memang perlu dibantu agar kembali bergairah, mengingat multiplier efeknya sangat besar. Berdasarkan catatan BI, sektor properti mampu menggerakkan 50 sektor lain dan punya andil sekitar 15 persen dari total kredit perbankan.
Dengan adanya energi baru buat pengembang maupun masyarakat ini, penjualan properti diprediksi bisa terdongkrak sedikitnya 10 persen pada 2018. Apalagi, BI membebaskan ketentuan LTV untuk pembelian rumah pertama semua tipe.
”Sejauh ini peningkatan di pasar properti yang paling optimal adalah segmen rumah di bawah 500 juta,” tambah Totok.
Sementara itu, pengamat ekonomi Josua Pardede mengungkapkan bahwa kemungkinan relaksasi LTV tersebut memang menyasar first time buyer. ”Memang ada kekhawatiran suku bunga KPR akan naik dan ada miss match risiko yang harus dimitigasi perbankan. Harapannya kenaikan bunga KPR bisa di-offset. Sekalipun ada kenaikan bunga, dengan relaksasi LTV itu diharapkan bisa dorong permintaan kredit KPR,” ujar Josua.
Menurut Josua, pelonggaran LTV bisa membuka pasar baru di kalangan yang selama ini belum mampu memiliki properti, karena besarnya uang muka (DP) yang harus disediakan. Kalangan muda yang baru bekerja yang belum banyak simpanan, tentu saja sangat diuntungkan dengan beleid tersebut.
Josua melanjutkan, dari sisi demand pun kebijakan untuk menggerakkan ekonomi harus segera didukung pemerintah, Otoritas Jasa Keuangan, perbankan, dan lembaga keuangan yang lain. Misalnya, bunga kredit konstruksi tidak dikerek setelah BI menaikkan bunga acuan, karena tingkat bunga saat ini saja sudah memberatkan para pengembang.
“Bahkan, bunga kredit konstruksi untuk perumahan nonsubsidi yang masih berkisar 12–14 persen perlu diturunkan menjadi single digit,” tambahnya.
Josua menambahkan, bunga itu bisa ditekan dengan dukungan asuransi, agar risiko non-performing loan (NPL) mendekati nol.
”Selain itu, perizinan perlu disederhanakan dan dipercepat terutama di daerah yang masih banyak menghambat, sehingga pengembang tak perlu lagi menunggu dalam ketidakpastian dan kerugian hingga tahunan. Dengan demikian, akselerasi kredit maupun pertumbuhan ekonomi masih bisa diciptakan di tengah tekanan kuat global,” pungkasnya.(agf)