25 radar bogor

Berburu Samosa Non-vegetarian

Ini adalah kali pertama Dinda Lisna Amilia menjalani puasa Ramadan di luar negeri. Tepatnya di Mysore, India. Tapi, mentang-mentang bulan puasa, jangan harap dia akan menceritakan pengalaman-pengalaman spiritual yang indah dan menyejukkan sanubari. Tetap saja, yang diburu adalah: makanan!

APA yang terlintas di benak ketika ada yang menyebut kuliner India? Kari dong! Iya. Ada juga parata, chapatti, chole bhatura, thali, chicken tikka masala, dan pani puri. Enak-enak semua pokoknya, terutama bagi penggemar rempah-rempah. Karena kali ini temanya adalah Ramadan, kita hunting kulinernya di area muslim.

India adalah negara dengan penganut vegetarian terbesar di muka bumi. Bisa dipastikan, sebagian besar makanan di sini tidak mengandung ayam, ikan, apalagi sapi. Ya, apalagi sapi. Di India, sapi merupakan kendaraan dewa yang haram dimakan umat Hindu. Jangankan dimakan, sapi di sini diperlakukan sebagai hewan yang dimuliakan.

Di area tempat tinggal saya, hampir setiap rumah punya sapi. Jadi, bisa dibayangkan, kalau di Indonesia setiap pagi dengar ayam berkokok, di India yang terdengar adalah erangan sapi.

Saya kuliah dan tinggal di Mysore, kawasan India Selatan. Kota yang mendapat predikat cleanest city in India pada 2016 itu adalah kota terbesar kedua di state Karnataka, India Selatan. Waktu tempuhnya dari Bangalore (ibu kota state Karnataka) adalah 3–4 jam. Kota kecil sih. Saking kecilnya, saya tidak menemukan gerai Starbucks.

Eh, tapi meski tergolong kota kecil, biaya hidup di Mysore lumayan mahal bila dibandingkan dengan kota lain di India. Mungkin karena Mysore jadi jujukan banyak foreigner. Entah untuk kuliah seperti saya, belajar yoga, atau sekadar melancong. Sebab, Mysore punya banyak tempat wisata (yang paling terkenal adalah Mysore Palace). Soal makanan, sebagian besar penjual menyediakan menu-menu vegetarian.

Kantin saya, University of Mysore, tidak menjual makanan non-vegetarian. Jadi, yang dijual, antara lain, roti-rotian seperti parata, dosa, chapatti, aluparata, dan sayur-sayuran yang diolah sedemikian rupa. Bisa dibayang­kan nggak sih, betapa dibutuhkan effort lebih kalau ingin makan ayam. Harus beli dulu dan masak sendiri. Tapi, aneh juga kenapa saya nggak kurus-kurus. Karena itu, Ramadan menjadi ajang bagi kami untuk hunting makanan selain menu vegetarian dan nasi biryani.

Untuk mendapatkannya, dibutuhkan usaha. Kami harus pergi ke kawasan muslim di Mysore. Hanya di sanalah kami bisa mendapatkan menu-menu takjil nonvegetarian. Termasuk bila ingin membeli daging sapi. Nggak heran deh, mahasiswa-mahasiswa foreigner suka banget beli berkilo-kilo daging sapi untuk stok. Nah, salah satu menu takjil yang menjadi must eat food selama bulan puasa adalah samosa. Hahaha, sebenarnya hari-hari biasa di India juga banyak samosa. Yang membedakan adalah filling-nya (bukan feeling lho ya).

Kalau hari biasa, yang kita dapat hanya samosa isi bawang atau kentang. Nah, saat bulan puasa, di kampung muslim, banyak aneka varian isian. Mulai daging sapi, kambing, dan ayam sampai otak kambing! Weeh terdengar ekstrem, ya. Tapi enak kok. Rasanya hampir sama dengan otak sapi. Apalagi orang India kan suka banget masak semua menu dengan masala (bumbu khas India yang rasanya tajam banget).

Jadi, otak si kambing tidak terasa amis. Harganya juga tergolong murah untuk ukuran mahasiswa. Yakni, INR 20 atau sekitar Rp4.200. Nah, buka puasa kan harus dengan yang manis. Kita bisa mendapatkan rasa manis dari baluda. Yakni, puding yang terbuat dari susu almon. Ini enak banget untuk lidah orang Indonesia. Manisnya pas!

India merupakan salah satu penghasil kacang-kacangan terbesar di dunia. Jadi, di sini kita bisa menemukan susu almon atau yang disebut badam milk dengan mudah dan murah. Segelas badam milk hanya sekitar INR 20 juga. Kalau yang mau sedikit mainstream, ada chaai alias teh susu yang sering nongol di film-film India. Harganya lebih murah, hanya Rp 2.000. Yummy! (*/c5/na)