25 radar bogor

Nasib PPP dan Dampak Parliamentary Threshold pada Representasi Politik Pemilih

Direktur Eksekutif Trust Indonesia, Azhari Ardinal.

RADAR BOGOR-Setelah pengumuman hasil pemilu yang baru diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), diskusi seputar parliamentary threshold (PT) terus menjadi sorotan hangat.

Meskipun belum mempertimbangkan hasil perselisihan yang mungkin akan diproses di Mahkamah Konstitusi (MK), data-data yang tersedia memberikan gambaran yang cukup jelas tentang dampak dari kebijakan PT tersebut.

Dengan menggunakan pembulatan angka, kita dapat melihat bahwa dari total suara sah nasional sebesar 151,79 juta, hanya 88,56 persen atau 134,49 juta yang berhasil dikonversi menjadi kursi DPR.

Sementara itu, sekitar 11,44 persen atau 17,29 juta suara terbuang karena tidak lolos PT. Ini menjadi fakta yang mengkhawatirkan, terutama jika kita menyadari bahwa jumlah suara yang terbuang ini hampir tiga kali lipat dari PT yang hanya sebesar 4 persen.

Melihat lebih dalam, hanya tiga partai politik yang berhasil melampaui jumlah suara terbuang ini, yaitu PDI Perjuangan, Golkar, dan Gerindra.

Sementara itu, partai lainnya, termasuk yang memiliki sejarah panjang dan pengalaman politik seperti Partai Persatuan Pembangunan (PPP), harus merasakan dampaknya secara langsung.

PPP yang memperoleh 5,878 juta suara, hanya mendapat perolehan suara 3,87 persen yang masih belum berada di ambang batas. Ini adalah gambaran nyata dari bagaimana PT bisa merusak proporsionalitas representasi di DPR.

Tentu, kita semua berharap agar PPP berhasil dalam perjuangannya di MK untuk mencapai angka 4 persen. Hal ini tidak hanya akan mengkoreksi proporsionalitas perwakilan di DPR, tetapi juga memberikan dorongan bagi evaluasi ulang terhadap kebijakan PT itu sendiri.

Kesediaan untuk mengoreksi aturan ini, seperti yang telah diperintahkan oleh MK, adalah langkah penting menuju proses pemilu yang lebih demokratis dan representatif.

Seberapa besar pengaruh PT dalam merusak asas proporsionalitas? Simulasi menunjukkan bahwa PT 1 persen saja sudah cukup untuk mengganggu proporsionalitas, meskipun masih dalam batas toleransi karena angkanya relatif kecil.

Namun, jika kita melihat kembali pada pemilu 1955 yang dianggap sangat demokratis, jelas bahwa aturannya adalah tanpa PT sama sekali. Oleh karena itu, saat kita melangkah maju, penting untuk mengevaluasi kembali peran PT dalam sistem pemilu kita.

Tujuan akhirnya adalah menciptakan sistem yang lebih adil, di mana setiap suara dihargai dan direpresentasikan secara proporsional. Hanya dengan demikian, kita bisa memastikan bahwa demokrasi kita tetap kokoh dan mampu mencerminkan kehendak rakyat secara lebih akurat.

Sebagai partai politik dengan sejarah yang kaya, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) telah memberikan kontribusi yang signifikan dalam membangun demokrasi di Indonesia.

Namun, dalam sistem elektoral yang ada saat ini, terutama dengan adanya Parliamentary Threshold (PT), PPP justru mengalami kesulitan yang besar. Partai yang dianggap sebagai salah satu pilar penting dalam politik Indonesia ini, harus berjuang keras untuk melampaui ambang batas yang ditetapkan untuk mendapatkan kursi di parlemen.

Situasi ini akhirnya menimbulkan pertanyaan tentang tanggung jawab negara terhadap partai-partai politik dan demokrasi secara keseluruhan.

Padahal negara memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa setiap suara rakyat dihargai dan direpresentasikan secara adil dalam proses politik.

Kebijakan seperti PT harus dievaluasi secara kritis untuk memastikan bahwa mereka tidak mengorbankan prinsip keadilan politik dan proporsionalitas representasi.

Selain itu, negara juga harus memberikan dukungan institusional yang cukup kepada partai politik, termasuk partai yang memiliki nilai historis seperti PPP.

Tujuannya untuk memastikan bahwa mereka dapat berfungsi secara efektif dalam mewakili kepentingan pemilih mereka dan berpartisipasi dalam proses politik. Ini merupakan bagian penting dari upaya membangun demokrasi yang sehat dan berkelanjutan di Indonesia.

Hal inilah yang kemudian mendasari Asosiasi Presisi yang diwakili Trust Indonesia melayangkan surat terbuka kepada pemerintah pusat dan DPR agar melakukan revisi mendalam terhadap kebijakan PT. Utamanya dengan mempertimbangkan penurunan ambang batas atau malah penghapusan PT sepenuhnya.

Berdasarkan hasil kajian (focus group discussion/ FGD) serta interview mendalam (Depth Interview) yang dilakukan Trust Indonesia, dapat disimpulkan bahwa setiap suara tetaplah harus dihargai dan direpresentasikan secara proporsional tanpa mengorbankan keadilan politik.

Selain itu, pemerintah juga harus memberikan dukungan institusional yang memadai kepada partai politik, khususnya kepada PPP yang sedari awal telah mewakili bangsa ini memperkuat sistem demokrasi di Indonesia. (*)

Penulis : Azhari Ardinal | Dir. Eksekutif Trust Indonesia

Editor : Yosep