25 radar bogor

Hidden Galeri Gratis di Kota Bogor, Membawa Anda ke Petualangan Sejarah Kepemimpinan

Intan Putri Nurferdiany
Mahasiswi Program Studi Komunikasi Digital dan Media
Sekolah Vokasi IPB University

Menjelajahi wisata di sekitar Stasiun Kota Bogor, Langkah demi langkah perjalanan dimulai dari Stasiun Bogor, di mana kita akan merasakan kehangatan suasana kota dengan jalan-jalan yang dikelilingi oleh pedagang kaki lima dan aroma khas jajanan tradisional. Udara segar dan sejuk menyambut setiap langkah kita, mengiringi petualangan kita menuju Galeri Bumi Parawira di Perpustakaan Kota Bogor, hanya kurang lebih 300 meter dari stasiun.

Galeri Bumi Parawira, itulah nama galeri yang sedang ramai dikunjungi oleh masyarakat Kota Bogor dan sekitarnya karena menyajikan kisah para pemimpin di Kota Bogor sejak masa kerajaan Pajajaran hingga Walikota masa kini dengan konsep lorong waktu. Galeri ini di desain semenarik mungkin sehingga menciptakan pengalaman menarik kepada para pengunjungnya, dengan cara memadukan lampu, lukisan, dan tulisan yang dikolaborasi dengan 17 Subsektor Ekonomi Kreatif di Kota Bogor.

Ketika memasuki Galeri ini penulis disambut dengan hangat oleh para staff yang ada, memasuki lorong waktu pertama penulis bertemu dengan Kang Agus Ramdani selaku arsitek yang menyusun layout cerita di Galeri dan M. R. Candiaz selaku yang meriset sejarah kepemimpinan untuk dijadikan cerita di Galeri Bumi Parawira. Penulis diceritakan secara mendetail satu persatu mulai dari konsep dan sejarah lukisan, gambar, hingga replika prasasti yang ada di galeri.

Perjalanan kita akan membawa kita ke zaman Kerajaan Pajajaran, di mana ternyata Kota Bogor selalu dipilih sebagai tempat bertahta dan ibukota kerajaan kerajaan masa lampau. Sri Baduga Maharaja, juga dikenal sebagai Prabu Siliwangi, memerintah.
Prabu Siliwangi berhasil mempersatukan Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh, memposisikan Kota Bogor sebagai pusat kekuasaan. Tetapi ternyata zaman mulai berubah, perdagangan di maritim nusatara pada saat itu sedang mencapai pada zaman keemasannya. Rempah rempah seakan menjadi permata yang dicari-cari oleh banyak bangsa.

Sri Baduga mempresiapkan Kerajaan Pajajaran ini untuk ikut andil secara langsung dalam pusaran perdagangan maritim. Karena menurutnya, ia dan leluhurnya merupakan raja pertani yang berfokus pada hasil bumi. Sehingga, Sri Baduga ingin mempersiapkan penerusnya sebagai raja pedagang yang juga terlibat langsung dalam perdagangan global dunia. Kota Malaka jatuh ke tangan portugis pada tahun 1511 setelah peperangan selama 8 hari.

Hal ini membuat Portugis berhasil menguasai gerbang perdagangan Nusantara. Beberapa tahun kemudia, Sri Baduga bermusyawarah dengan para rama, patuh, mangkubumi, mantri dalam, tumenggung, dan putera mahkotanya untuk menawarkan kerjasaman perdagangan dengan Portugis. Surawisesa dan rombongannya ini berangkat ke Malaka tahun 1513 untuk memimpin penawaran kerjasama dagang ini.

Setelah negosiasi panjang, kerjasama dagang antara Kerajaan Pajajaran dan Kerajaan Portugal, diwakili oleh Gubernur Malaka Enrique Leme, terwujud 9 tahun kemudian. Perjanjian ini merupakan perjanjian internasional yang pertama di Indonesia, ditandai dengan pemasangan batu prasasti Padrão di pantai Kalapa. Perjanjian ini disambut hangat oleh masyarakat Sunda dengan adanya selametan, keputusan ini memerlukan strategi matang karena potensi konflik dengan Kesultanan Demak yang terkena imbasnya.

Prasasti Padrão di Sunda Kelapa adalah batu peringatan kerjasama dagang antara Kerajaan Pajajaran dan Kerajaan Portugis. Berbeda dengan prasasti Padrão di tempat lain yang sering kali menjadi simbol penjajahan, prasasti ini dibuat dari Batu Andesit dan menandai kesetaraan antara kedua kerajaan dalam perjanjian perdagangan.

Uniknya biasanya prasasti yang dibuat oleh kerajaan portugis ini menandakan sebuah wilayah kekuasaan, tetapi Prasasti Padrão menandakan kesetaraan antara dua kerajaan untuk perjanjian perdagangan.

Selain itu, di Kota Bogor juga terdapat Prasasti Batutulis Bogor. Prasasti ini merupakan tanda peringatan yang dibuat oleh Prabu Surawisesa untuk menghormati Sri Baduga Maharaja, ayahandanya. Meskipun memuat prestasi dan mahakarya Sri Baduga, prasasti ini juga mencatat permintaan maaf yang dalam dari Prabu Surawisesa karena ia tidak dapat mempertahankan Kerajaan Pajajaran sepenuhnya.

Meskipun dipuji dalam Naskah Carita Parahyangan karena keberaniannya dalam perang, Prabu Surawisesa merasa terkalahkan karena harus berperang dengan saudara dan rakyatnya sendiri.
Setelah Kalapa dan Banten direbut oleh pasukan gabungan Demak-Cirebon, Kerajaan Pajajaran harus menghadapi api peperangan yang kian hari makin membesar. Kerajaan Pajajaran menghadapi serangan dari Kerajaan Demak-Cirebon setelah Kalapa dan Banten direbut.

Prabu Surawisesa dan pasukan elitnya, Balamati, berjuang dengan gagah berani melawan serbuan musuh di berbagai wilayah seperti Ancol Kiyi, Kalapa, Tanjung, Banten Girang, dan lainnya. Meskipun tidak selalu menang, mereka gigih mempertahankan Tanah Pasundan. Prabu Surawisesa dipuji dalam Carita Parahyangan karena memimpin langsung 15 pertempuran selama 14 tahun pemerintahannya.

Kerajaan Pajajaran sudah tidak bisa menahan keruntuhannya karena kebijakan kurang bijaksana dari para raja, yang diabadikan dalam Naskah Carita Parahyangan. Pengaruh Banten-Cirebon semakin kuat, dan rakyat kehilangan kepercayaan pada para raja karena perilaku mereka yang lalim dan tiran.

Puncak kemunduran terjadi pada masa Prabu Raga Mulya, raja terakhir, yang harus menanggung akibat kesalahan para pendahulunya. Kota Pakuan akhirnya hancur oleh serangan Banten, meskipun Prabu Raga Mulya sudah mengungsikan keluarga keraton dan rakyatnya ke selatan. Keruntuhan ini menandai akhir kerajaan megah di Tatar Sunda, lenyap dalam amukan api yang menghanguskan segalanya.

Naskah Carita Parahyangan ditulis pada tahun 1670, setahun setelah Kerajaan Pajajaran runtuh. Naskah ini berisi tentang sejarah kepemimpinan Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh. Dalam naskah ini dipertegas bahwa ada raja-raja yang berhasil memimpin kerajaannya sebab mereka mengamalkan dengan baik ajaran leluhur, yakni ajaran Sanghyang Siksa Kandang Karesian dan ajaran Amanat Galunggung.

Naskah ini pula berisi sejarah tentang proses runtuhnya Kerajaan Pajajaran. Naskah Carita Parahyangan menjelaskan bahwa raja-raja akhir Pajajaran tidak mengamalkan ajaran leluhur dengan baik, sehingga keruntuhan itu semakin dekat. Padahal biasanya tidak ada naskah yang berisi sebuah pengakuan akan runtuhnya sebuah kekuasaan.

Perjalanan berakhir dengan pemahaman yang mendalam tentang sejarah dan budaya Kota Bogor dan diabadikan dengan berfoto di Galeri Bumi Parawira yang Instagramable. Jangan lupa pesan tiket melalui instagram @bumiparawira sebelum kehabisan, karna masih GRATIS!