25 radar bogor

Tak Ada Sanksi Tegas dari DKPP Soal Pelanggaran Ketua KPU, Ini Catatan Pengamat

Pengamat Kebijakan Publik, Yusfitriadi soal persaingan kursi di DPR RI di Dapil V Kabupaten Bogor
Pengamat Kebijakan Publik, Yusfitriadi menyayangkan tak ada sanksi tegas dari DKPP terhadap pelanggaran yang dilakukan ketua KPU.

CIBINONG-RADAR BOGOR, Pengamat Politik dan Pendiri Visi Nusantara Yusfitriadi menyayangkan tidak adanya sanksi tegas dari Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu atau DKPP terhadap pelanggaran yang dilakukan Ketua KPU Hasyim Asy’ari.

Baca Juga : Polemik Uang Transportasi KPPS Leuliwiang, KPUD Kabupaten Bogor: PPS Ngaku Telat Ambil di Bank

Padahal kata Yusfitriadi, Ketua KPU Hasyim Asy’ari sudah tiga kali terbukti melakukan pelanggaran.

“Jadi pemilu yang sangat besar ini diselenggaralan oleh lembaga yang ketuanya berlumuran cacat moral dan etika. Cacat moral, karena tidak mempunyai rasa malu masih memimpin KPU walaupun sudah tiga kali mendapatkan hukuman peringatan keras,” katanya kepada Radar Bogor, Rabu (7/2/2024).

Dia menjelaskan, setidaknya ada tiga hal yang menjadi catatan atas ambiguitas putusan DKPP tersebut. Pertama, mempertegas perilaku konspiratif penyelenggara pemilu baik KPU, Bawaslu maupun DKPP.

Hal ini terlihat dari gerak-gerik mereka yang seakan saling mengamankan dan membiarkan pelanggaran serta kecurangan pemilu terjadi.

“Ketidakprofesionalan KPU dibiarkan Bawaslu, informasi pelanggaran dimana-mana pun tidak mendapat perhatian Bawaslu. Bahkan Bawaslu sibuk membenarkan pelanggaran tersebut dengan alibi yang bemacam-macam. Begitupun DKPP tidak mungkin menegakan hukum etik, karena pimpinan DKPP sebagai besar diisi oleh orang-orang yang cacat etika, karena pernah dijatuhi hukuman etik,” jelasnya.

Kedua, kata Yusfitriadi, penyelenggaraan pemilu berjalan dengan mengabaikan etika. Ini dilakukan oleh penyelenggara pemilu, peserta pemilu maupun pemilih.

Bahkan peserta pemilu, sudah tidak malu-malu lagi melakukan praktek politik uang, mobilisasi ASN, TNI-POLRI, Kepala Desa dan Aparatur lainnya, dan manipulasi bansos, serta merekayasa hukum untuk kepentingan politik.

“Begitupun dengan pemilih, masih banyak yang memilih karena pengaruh materialistik dan intervesi pihak-pihak yang ambisi kekuasaan,” ujarnya.

Lalu yang ketiga, menurutnya ada potensi hilangnya kepercayaan publik terhadap penyelenggara pemilu. Pemilu diragukan bisa menghasilkan sesuatu yang baik, bermoral dan bermartabat, karena proses penyelenggaraanya tidak melalui cara-cara yang bermoral dan beretika.

“Kondisi ketidakpercayaan ini sudah mulai menampakkan riak-riaknya dibuktikan dengan berbagai fenomena politik seperti seruan moral oleh para akademisi,” katanya.

Yusfitriadi menuturkan tiga catatan di atas
sangat berpotensi menjadi ancaman hilangnya legitimasi bagi penyelenggaraan dan hasil pemilu 2024.

Apabila penyelenggaraan dan hasil pemilu tidak mendapatkan legitimasi, maka akan berdampak panjang untuk masa depan indonesia.

“Karena bagi saya hasil kontestasi elektoral atau hasil Pemilu harus mendapatkan minimal tiga legitimasi, yaitu legitimasi kekuasaan, legitimasi politik dan legitimasi etik. Salah satu faktor jatuhnya Soeharto sebagai hasi Pemilu 1997 karena tidak mendapatkan legitimasi etik dari rakyat Indonesia. Hal itu membuat Indonesia luluh lantah. Tentu rasa optimisme harus selalu ada pada diri anak bangsa, termasuk saya,” ungkapnya.

Namun demikian Dia mengatakan masih ada waktu untuk memperbaiki masalah yang saat ini terjadi. Diantaranya ketua KPU harus mundur sebagai pertanggungjawaban moral dan etika, juga untuk mengembalikan kepercayaan publik bagi penyelenggaraan pemilu.

“Kedua, bawaslu harus bertanggungjawab secara moral terkait masalah yang terjadi dan diakibatkan oleh lemahnya kinerjanya dalam mengawasi dan menegkan hukum pemilu,” ujarnya.

Serta dia meminta agar Presiden Joko Widodo berhenti melakukan cawe-cawe. Sebab teriakkan akademisi dan gerakan masyarakat sipil, saat ini terjadi akibat pernyataan dan sikap jokowi yang cenderung cawe-cawe lewat perkataan tidak masalah presiden dan para menteri berkampanye.

Baca Juga : BRI Targetkan Penyaluran 20.000 Unit KPR FLPP di 2024, Simak Persyaratannya

“Tentu saja kondisi ini akan berdampak serius pada pemyelenggaraan pemilu, termasuk sikapnya akan diikuti oleh penyelenggara negara sampai pada tingkatan bawah,” ujarnya. (rp1)