BOGOR-RADAR BOGOR, Puluhan mantan karyawan Perusahaan Daerah Jasa Transportasi (PDJT), atau kini disebut Perumda Transpakuan (PTP), menggelar aksi unjuk rasa di depan Balaikota Bogor, pada Senin (20/11).
Dalam aksi tersebut, mereka meminta Pemerintah Kota Bogor atau PTP untuk segera melaksanakan putusan Mahkamah Agung (MA), yakni membayar kerugian yang dialami 39 bekas karyawan PTP sebesar Rp1.770.229.363.
Baca juga: Lagi, Direktur PDJT Kota Bogor Mengundurkan Diri
Kuasa Hukum 39 Eks Karyawan PTP, Roy Sianipar menjelaskan, terkait sengketa perselisihan hubungan industrial antara 39 eks karyawan dengan PTP diputusan tingkat pertama Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Pengadilan Negeri (PN) Bandung, menghukum PTP sebesar Rp21,2 Miliar.
“Kemudian pada tingkat kasasi, kasasi dari PTP ditolak seluruhnya oleh majelis, namun MA memutus perkaranya pada (26/9) dengan total Rp1,7 M (karena) dendanya dihapuskan. Kami menerima salinan putusannya pada (10/10) artinya putusan ini telah berkekuatan hukum tetap,” ujarnya saat ditemui Radar Bogor.
Meski berat, sebab denda yang seharusnya juga dibayar akhirnya dihapus, dan dinilai mencederai hukum, Roy menyebut para eks karyawan itu tetap menerima putusan itu.
Oleh karena itu, mereka meminta kejelasan waktu dari Pemkot Bogor melaksanakan putusan tersebut.
“Mereka sudah berjuang sampai titik putusan kasasi, sudah 6 tahun. Apakah Pemkot Bogor tega melihat wajah-wajah ini untuk tidak melaksanakan putusan pengadilan secara sukarela?,” tekan Roy.
Dirinya menyayangkan ketidaksesuaian sikap Pemkot Bogor, yang meminta warga untuk patuh terhadap hukum semetara mereka tidak mematuhi putusan MA.
“Para eks karyawan tidak usah dibebankan lagi berpikir bagaimaba solusinya, yang mau Pemkot Bogor atau PTP melaksanakan putusan yang berkekuatan hukum tetap. Wali Kota harus turun tangan karena sudah ada putusan pengadilan,” tegas dia.
Hingga aksi itu usai, Roy mengatakan belum ada kepastian mengenai waktu pelaksanan putusan MA.
Padahal menurutnya, tim hukum dia telah bersurat sebanyak 2 kali pada PTP yang tembus ke Wali Kota dan DPRD.
Jika Pemkot Bogor belum juga mematuhi putudan tersebur, dan membayar kerugian yang dialami eks karyawan, pihaknya mengancam akan melakukan langkah hukum yakni langkah pidana.
“Kalau tidak mau bayar kami akan laporkan ke Polda Jawa Barat. Karena mereka tidak tunduk pada putusan pengadilan,” ucap Roy.
Salah satu Eks Karyawan PTP, Derin Rusdian mengatakan, akan melakukan aksi serupa setiap pekan, apabila Pemkot Bogor tidak jua melaksanakan putusan MA itu.
“Kami akan melakukan aksi di Halte Cidangiang. Agar Pemkot Bogor, masyarakat, dan prlanggan Bus Transpakuan tahu bahwa gaji karyawan belum dibayarkan,” ujarnya.
Diakui Derin, gajinya sejak tahun 2007-2016 dengan nominal sekira Rp50 juta belum dibayarkan.
Hal serupa juga turut dirasakan teman-temannya dengan nominal yang bervariasi, tergantung pada lamanya masa kerja mereka.
Dalam aksi itu, para peserta difasilitasi untuk menyampaikan keluhannya pada Bagian Hukum dan HAM, Sekretariat Daerah Kota Bogor.
Kepala Bagian Hukum dan HAM, Alma Wiranta mengatakan persoalan tersebut mesti dibayar oleh managemen PTP.
Sebab sebagai BUMD, PTP memiliki keuangan tersendiri sama halnya dengan BUMD lain.
Terlebih PTP sudah mendapat kepastian hukum sehingga harus tunduk pada aturan tersebut.
Baca juga: Nunggak Gaji Karyawan PDJT Rp 2,5 Miliar, Komisi II DPRD Kota Bogor Semprot Perumda Trans Pakuan
Dalam hal ini, amar putusan memerintahkan bahwa PTP harus membayar hak 39 eks karyawan dengan total Rp1,7 Miliar.
“Harus dibayar karena keputusan ini sudah berkekuatan hukum tetap. Keharusan Pemkot Bogor adalah mengingatkan ke PTP yang harus segera menyelesaikan persoalan itu,” ucapnya saat dikonfirmasi Radar Bogor.
Alma mengatakan, jika Pemkot Bogor ingin membantu PTP dengan mekanisme menggelontorkan uang. Melainkan lewat mekanisme penyehatan BUMD melalui Penyertaan Modal Pemerintah (PMP)
“Karena PTP masih menjadi bagian dari pemerintah kami akan terus dampingi dalam proses restrukturisasi untuk menyehatkan BUMD. Itu harus terus dilakukan,” ujarnya. (Fat)
Penulis: Reka Faturachman
Editor: Rany Puspitasari