25 radar bogor

Selain G30S PKI, Ini 7 Peristiwa Bersejarah di Indonesia pada Bulan September

Patung Pahlawan Revolusi yang gugur dalam peristiwa G30S PKI 1965 di Monumen Pancasila Sakti. (Dinas Kebudayaan Jakarta )
Patung Pahlawan Revolusi yang gugur dalam peristiwa G30S PKI 1965 di Monumen Pancasila Sakti. (Dinas Kebudayaan Jakarta )

JAKARTA-RADAR BOGOR, Rentetan peristiwa bersejarah di Indonesia tidak hanya terjadi pada bulan Agustus, namun juga September. Salah satunya ialah kejadian paling kelam G30S PKI yang terjadi pada 30 September 1965. Kejadian tersebut menyebabkan gugurnya para jenderal yang kemudian membekas di benak rakyat Indonesia.

Baca Juga: Prakiraan Cuaca Bogor Kamis 7 September 2023, Hujan Ringan

Namun, sebenarnya masih ada banyak peristiwa bersejarah lainnya selain G30S PKI yang terjadi di bulan ini dan patut kita kenang. Dilansir dari berbagai sumber, berikut deretan rangkuman peristiwa bersejarah di Indonesia yang terjadi pada bulan September:

  1. Tebrentuknya Polisi Wanita (Polwan)

Polisi khusus wanita pertama kali dibentuk pada 1 September 948 di Bukittinggi, Sumatera Barat. Terbentuknya Polwan menjadi pembuka jalan bagi perempuan di Indonesia untuk terlibat dalam dunia kepolisian. Polwan juga membuat perempuan di Indonesia bisa berkontribusi dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat.

Dilansir dari situs resmi polri.go.id, terbentuknya Polwan saat itu merupakan inisiatif dari organisasi wanita dan organisasi wanita Islam Bukittinggi. Hal yang melatarbelakanginya adalah pada saat itu Indonesia sedang menghadapi Agresi Militer Belanda II. Polisi laki-laki mengalami kesulitan untuk melakukan pemeriksaan fisik terhadap pengungsi perempuan. Polisi sering kali meminta bantuan para istri dan pegawai sipil wanita untuk melaksanakan tugas pemeriksaan fisik. Oleh karena itu, organisasi wanita merasa perlu ada peran perempuan dalam kepolisian.

Akhirnya pada 1 September 1948, Cabang Djawatan Kepolisian Negara untuk Sumatera yang bermarkas di Bukittinggi memberikan kesempatan untuk mendidik enam siswi pertama menjadi Polisi Wanita. Keenam siswi beruntung itu ialah Mariana Saanin, Nelly Pauna, Rosmalina Loekman, Dahniar Sukotjo, Djasmainar, dan Rosnalia Taher. Sejak saat itu, 1 September diperingati sebagai Hari Polwan.

  1. Bergabungnya Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman di Jogjakarta ke Republik Indonesia

Dilansir pada situs resmi Pemerintah Daerah DI Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan KGPAA Paku Alam VIII menyatakan Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman di Yogyakarta resmi bergabung dengan NKRI pada 5 September 1945.

Bergabungnya dua kerajaan dari Yogyakarta yang jauh sebelumnya sudah memiliki kedaulatan yang diakui dunia itu dinilai berdampak penting bagi keberlangsungan NKRI yang baru saja memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.

Melalui sebuah dekrit kerajaan yang dikenal dengan Amanat 5 September 1945, monarki Yogyakarta menjadi kerajaan pertama yang menyatakan bergabung dan resmi masuk dalam bingkai RI. Satu hari setelah itu, pemerintah pusat memberikan Piagam 19 Agustus 1945 yang merupakan bentuk penghargaan atas bergabungnya Yogyakarta dengan RI. Piagam tersebut ditandatangani oleh Presiden Soekarno dan adanya piagam tersebut sekaligus memperkuat kedudukan Sri Sultan HB IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII dalam memimpin Yogyakarta.

  1. Tewasnya Aktivis HAM Munir Said Thalib

Berita tewasnya Munir pada 7 September 2004 sempat menjadi berita yang menghebohkan publik. Munir terkenal sebagai seorang aktivis HAM serta salah satu pendiri Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Komisi untuk orang hilang dan Korban Hilang (KontraS0. Munir juga menjadi salah satu pendiri Imporsial, sebuah LSM yang bergerk di bidang HAM di Indonesia.

Penyebab kematian Munir pada 7 September 2004 saat menumpangi pesawat Garuda Indonesia Boeing 747-400 dengan nomor penerbangan GA-974 rute Jakarta-Amsterdam menurut polisi Belanda (Institut Forensik Belanda) adalah keracunan. Pada 12 November 2004, mereka mengungkapkan ditemukannya jejak-jejak senyawa arsenik setelah autopsi. Hal tersebut juga dikonfirmasi oleh polisi Indonesia. Kemudian sejak 2005, tanggal kematian Munir yakni 7 September, dicanangkan sebagai Hari Pembela HAM Indonesia oleh para aktivis HAM.

  1. Peristiwa Kerusuhan Tanjung Priok 1984

Pada 12 September 1984 di daerah Tanjung Priok, pernah terjadi peristiwa kerusuhan yang mengakibatkan sejumlah korban tewas dan luka-luka serta sejumlah gedung rusak terbakar. Kerusuhan tersebut terjadi berawal dari penerapan kebijakan asas tunggal Pancasila untuk menjaga stabilitas pemerintahan Orde Baru.

Namun, penerapan yang dinilai terlalu dipaksakan membuat beberapa kelompok masyarakat tidak setuju sehingga terjadi bentrokan berbau SARA. Akhirnya, puncak kerusuhan itu terjadi ketika sekelompok massa melakukan defile (perarakan barisan) sambil merusak sejumlah gedung dan akhirnya memicu bentrok dengan aparat. Akibatnya, dilaporkan puluhan orang tewas dan puluhan lainnya luka-luka.

  1. Terbentuknya PMI (Palang Merah Indonesia)

Sejarah dibentuknya PMI di Indonesia sudah dimulai oleh Pemerintah Kolonial Belanda sejak 21 Oktober 1873. Saat itu, Pemerintah Kolonial Belanda mendirikan PMI dengan nama Nederlands Rode Kruis Afdeling Indie (Nerkai). Nerkai kemudian dibubarkan saat masa kependudukan Jepang.

Tepat pada 3 September 1945, Presiden Soekarno mengeluarkan perintah untuk membentuk badan Palang Merah Nasional. Perintah tersebut membuat Dr. Buntaran yang saat itu menjabat sebagai Menteri Kesehatan Republik Indonesia Kabinet I, membentuk Panitia 5 yang terdiri dari dr R. Mochtar (Ketua), dr. Bahder Djohan (Penulis), dan dr Djuhana; dr Marzuki; dr. Sitanala (anggota) pada 5 September 1945.

Akhirnya Palang Merah Indonesia (PMI) berhasil dibentuk pada 17 September 1945 dan diketuai oleh Drs. Mohammad Hatta. Pada 16 Januari 1950 pihak Pemerintah Belanda resmi membubarkan NERKAI dan menyerahkan asetnya ke PMI. Saat itu, pihak NERKAI diwakili oleh dr. B. Van Trich sedangkan dari PMI diwakili oleh dr. Bahder Djohan.

  1. Insiden Perobekan Bendera Belanda di Hotel Yamato Surabaya

Setelah memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, Presiden Soekarno menetapkan bahwa mulai 1 September 1945 bendera nasional Indonesia wajib dikibarkan terus di seluruh wilayah Indonesia. Sehingga gerakan pengibaran bendera tersebut makin meluas ke segenap pelosok negeri termasuk kota Surabaya. Sekelompok orang Belanda di bawah pimpinan W.V.C Ploegman pada 19 September 1945 malam, tepatnya pukul 21.00 WIB, mengibarkan bendera Belanda (Merah-Putih-Biru). Pengibaran bendera tersebut tanpa persetujuan Pemerintah Indonesia Daerah Surabaya, di tiang pada tingkat teratas Hotel Yamato, sisi sebelah utara.

Keesokan harinya para pemuda Surabaya melihatnya dan memicu amarah sebab mereka menganggap Belanda telah menghina kedaulatan Indonesia. Belanda hendak mengembalikan kekuasaan mereka kembali di Indonesia, dan melecehkan gerakan pengibaran bendera Merah Putih yang sedang berlangsung di Surabaya. Soedirman yang merupakan Residen Daerah Surabaya Pemerintah Indonesia yang saat itu menjabat sebagai Wakil Residen kemudian datang dan masuk ke hotel Yamato dikawal oleh Sidik dan Hariyono.

Sebagai perwakilan RI dia berunding dengan Ploegman dan kawan-kawannya, meminta agar bendera Belanda segera diturunkan dari gedung Hotel Yamato. Dalam perundingan ini Ploegman menolak untuk menurunkan bendera Belanda sekaligus menolak untuk mengakui kedaulatan Indonesia. Perundingan berlangsung memanas, Ploegman sempat mengeluarkan pistol dan terjadilah perkelahian dalam ruang perundingan. Ploegman tewas dicekik oleh Sidik, yang kemudian juga tewas oleh tentara Belanda yang berjaga-jaga dan mendengar letusan pistol Ploegman. Sementara itu Sudirman dan Hariyono melarikan diri ke luar Hotel Yamato.

Di luar hotel, para pemuda yang mengetahui berantakannya perundingan tersebut langsung mendobrak masuk ke Hotel Yamato dan terjadilah perkelahian di lobi hotel. Sebagian pemuda kemudian berebut naik ke atas hotel untuk menurunkan bendera Belanda. Hariyono yang semula bersama Sudirman kembali ke dalam hotel dan terlibat dalam pemanjatan tiang bendera. Bersama Kusno Wibowo, Hariyono berhasil menurunkan bendera Belanda, merobek bagian birunya, dan menyisakan warna merah putih kemudian mengereknya ke puncak tiang kembali. Peristiwa ini disambut oleh massa di bawah hotel dengan pekik ‘Merdeka’ berulang kali.

Baca Juga: Ada Uji Emisi Gratis 4 September-31 Desember 2023, Cek Lokasinya

  1. Pemilu (Pemilihan Umum) Pertama Indonesia

Menurut situs resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia, Pemilu pada tahun 1955 merupakan pemilu pertama dalam sejarah bangsa Indonesia. Saat itu, Indonesia berumur 10 tahun.

Pemilu tahun 1955 sejatinya dilakukan sebanyak dua kali. Yang pertama, pada 29 September 1955 untuk memlih anggota-anggota DPR. Yang kedua, 15 Desember 1955 untuk memilih anggota-anggota Dewan Konstituante. Pemilu yang yang diikuti oleh lebih dari 30-an partai politik dan lebih dari 100 daftar kumpulan dan calon perorangan ini disebut berhasil diselenggarakan dengan aman, lancar, jujur dan adil serta sangat demokratis. Bahkan mendapat pujian dari berbagai pihak, termasuk dari negara-negara asing.(jpg)

Editor: Yosep / Nova-PKL