PIDATO Presiden Joko Widodo di Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa ke 26 (COP26) di Glasgow, Skotlandia, memberikan nilai positif, kepercayaan dan harapan kepada bangsa-bangsa yang tergabung dalam COP26. Presiden Jokowi dengan lantang menyatakan sikap optimisme bahwa bangsa Indonesia mampu menurunkan tingkat kebakaran hutan, hal ini dikarenakan kawasan hutan di Indonesia dari zaman penjajahan hingga revolusi industri telah mengalami penurunan kualitas dan kuantitas yang sangat tinggi.
Sejarah kelam kebakaran negeri ini tercatat oleh Bappenas jika pada tahun 1997 Indonesia kehilangan hutan seluas 9,7juta ha. Angka yang lebih besar dikeluarkan oleh CIFOR dengan perkiraan luas area terbakar 11,7juta ha. Angka tersebut menyumbang kontribusi besar dalam kejadian kebakaran dunia dengan luas akumulatif 25juta ha, dengan kata lain ±40% kebakaran dunia berada di negara kita. Kebakaran hebat kembali terulang pada tahun 2015, berdasarkan data yang dikeluarkan KLHK api menghanguskan 2,6 juta ha hutan dan lahan Indonesia. Hal yang sama terjadi ditahun 2019 dimana Indonesia kehilangan hutan dan lahan seluas 1,9juta ha.
Informasi terbaru yang dipublikasi oleh KLHK pada periode januari hingga bulan juli tahun 2023 telah terjadi kebakaran seluas 90.405ha dihampir seluruh penjuru negeri. Diantaranya provinsi NTT sebesar 28.718 Ha, Kalbar sebesar 12.537 Ha, NTB sebesar 9.662 Ha, Kalsel sebesar 7.483 Ha, Jawa Timur 7.076 Ha, Lampung sebesar 2.992 Ha, Kalteng sebesar 2.948 Ha, Sulteng sebesar 2.848 Ha, Maluku sebesar 2.765, Riau Sebesar 2.220 Ha.
Kebakaran tersebut diperkirakan menghasilkan emisi lebih dari 5,9 juta ton ekuivalen karbon dioksida. Kondisi tersebut semakin memperberat target capaian Indonesia untuk menyerap emisi sebesar 140 juta ton ekuivalen karbon dioksida (Renops FOLU 2022). Perlu diingat jika puncak kemarau akan terjadi dibulan Agustus dan September dimana potensi kebakaran hutan dan lahan akan semakin meningkat. Terlebih, data harian titik panas (hotspot) yang terpantau oleh sensor MODIS dan VIIRS pada laman resmi BRIN Fire Hotspot tercatat 31.765 hotspot yang muncul diseluruh Indonesia.
Kebakaran hutan yang terus berulang selalu dikaitkan pada fenomena El Nino yang terjadi setiap 3-5tahun sekali. Kendati El nino berdampak terhadap kekeringan dibeberapa wilayah di Indonesia yang meningkatkan kualitas bahan bakar yang ada. Hal yang perlu digaris bawahi adalah api tidak akan muncul jika tidak ada sumber api (red: segitiga api). Sumber api dibedakan menjadi dua (manusia dan alam).
Berdasarkan penelitian dan kajian oleh banyak ahli dibidang kebakaran seperti Prof. Bambang Hero dan Prof. Lailan Syaufina dari IPB University dan Ludwig Schindler sebagai project leader IFFM mengatakan jika hampir 100% kebakaran yang terjadi di Indonesia terjadi akibat manusia. Bahkan menurut Profesor Lailan pada konferensi pers pra-orasi ilmiah, beliau mengatakan bahwa kebakaran hutan dan lahan di ekosistem gambut 100% disebabkan oleh manusia.
Penyebab langsung kebakaran hutan dan lahan di Indonesia adalah api digunakan dalam pembukaan lahan, api digunakan sebagai senjata dalam permasalahan konflik tanah, api menyebar secara tidak sengaja, dan api yang berkaitan dengan ekstraksi sumber daya alam. Sementara itu, penyebab tidak langsung kebakaran hutan dan lahan meliputi penguasaan lahan, alokasi penggunaan lahan, ekonomi, degradasi hutan dan lahan, dampak dari perubahan karakteristik kependudukan, dan lemahnya kapasitas kelembagaan.
Banyaknya aktivitas manusia yang secara langsung maupun tidak menjadi penyebab kebakaran hutan menjadikannya perlu untuk membuat langkah serius dalam upaya pengendalian kebakaran hutan dan lahan.
- Penegakan hukum pada pelaku kebakaran hutan dan lahan
- Optimalisasi penggunaan teknologi (penginderaan jauh, SIG, big data, IoT) untuk deteksi dini, monitoring, dan pengendalian kebakaran hutan dan lahan
- Transparansi data dan informasi
- Pendampingan pengendalian bahaya kebakaran bersama masyarakat
- Penyediaan opsi persiapan ladang tanpa api
- Integrasi dan kolaborasi lintas sektor
Oleh : Nitya Ade Santi & Bagus Karyo Widhiasto (Peneliti dan aktivis Lingkungan)
Editor : Yosep