BOGOR-RADAR BOGOR, Sekolah Pascasarjana Universitas Pakuan (SPS Unpak) mengadakan seminar nasional, yang diinisiasi Program Studi (Prodi) Ilmu Hukum di ruang auditorium gedung Pascasarjana lantai 3, Sabtu (5/8/2023) kemarin.
Dengan tema “Pidana dan Pemidanaan dalam KUHP Baru”, seminar nasional ini digelar secara hybrid, dan diikuti pula melalui Zoom.
Dua orang perumus KUHP baru dihadirkan sebagai narasumber. Yakni Prof Harkristuti Harkrisnowo yang merupakan Ketua Dewan Guru Besar Universitas Indonesia dan Dr. Surastini Fitriasih, dosen hukum pidana Universitas Indonesia. Serta Dr. Iwan Darmawan yang merupakan Ketua Prodi Ilmu Hukum SPS Unpak.
Prof Harkristuti mengatakan, terdapat perbedaan fundamnetal antara KUHP lama dengan yang baru. Diantaranya paradigma pemindanaan yang berbeda dengan sekarang.
Kalau KUHP baru tidak ada lagi menggunakan pendekatan retributif dalam menentukan sanksi pidana.”Kami menilai hal itu sudah kuno. Kami menggunakan pendekatan lebih kepada isu pendegahan dan rehabilitasi,” ujarnya.
Baca Juga : Dewan Pers Gugat UU KUHP, Disinyalir Berpotensi Ganggu Kebebasan Media
Kemudian, sambungnya, di dalam KUHP baru dikenalkan strategi alternatif untuk pidana penjara. Meski sanksi kurungan tetap ada, tapi hakim dengan syarat tertentu, bisa menjatuhkan pidana lain. “Ada pidana denda, pidana pengawasan, dan pidana kerja sosial. Ini berlaku untuk masa hukumannya masuk dalam jangka pendek,” jelas Tuti-sapaan karibnya.
Alasan lainnya karena sanksi pidana yang masa hukumannya singkat dinilai tidak efisien, dan menimbulkan akibat yang tidak baik. “Dampaknya apa? (Lapas) jadi kelebihan kapasitas. Jadi, harus menjauhi sanksi pidana penjara, ” imbuhnya.
Kemudian, lanjut Tuti, ada metode terbaru dalam pemberian sanksi tindak pidana. Yakni melalui pendekatan double track system. Dimana hakim boleh menjatuhkan hukuman penjara dan tindakan. “Kalau pidana untuk membuat nestapa bagi pelaku, kalau tindakan memperbaiki. Seperti melakukan konseling dan rehabilitasi. Kemudian membagi sanksi pidana untuk orang dewasa, anak, dan yang terbaru bagi korporasi. masing-masing ada aturannya, ” tandasnya.
Sementara Iwan Darmawan mengatakan, saat KUHP baru berlaku tiga tahun mendatang, korporasi bisa dikenakan sanksi pidana berdasarkan Pasal 45 ayat 1 yang menyatakan merupakan subjek tindak pidana.
Baca Juga : Cegah Bencana, Dedie Kukuhkan Katana Margajaya dan Situ Gede
Berbeda dengan Pasal 59 KUHP lama yang menegaskan korporasi belum diakui sebagai subjek hukum pidana, karena hanya pengurus yang dapat dikenakan sanksi atas perbuatan melanggar hukum.
“Adapun subjek hukum pidana yang dijatuhkan terhadap korporasi meliputi perseroan terbatas (PT), yaasan, koperasi, BUMN, BUMD, BUMDes, perkumpulan non badan hukum, firma, CV dan sejenisnya, ” urai Iwan.
Pertanggungjawaban pidana, sambungnya, ada pada Pasal 45-50 KUHP baru. Mengatur tentang pelaku tindak pidana, siapa yang dapat kena hukuman, dan korporasi tidak kena hukuman karena alasan pembenaran dan pemaaf.
Kemudian ada pidana pokok berupa denda, serta beberapa pidana tambahan seperti pemenuhan adat, ganti kerugian dan lain-lain. Tindakan menempatkan korporasi di bawah pengampuan dan juga pengawasan. Bahkan bisa berujung pada pembubaran. “Paling penting dengan munculnya korporasi sebagai (subjek) pidana, memunculkan modernitas dalam hukum pidana. Yang awalnya dinaungi asas tua jika badan hukum tidak bisa dipidana. Sampai sekarang di KUHPlama masih berlaku,” tukasnya. (rur)
Editor : Ruri Ariatullah