25 radar bogor

Putri Pj Gubernur Papua Pegunungan Tewas, Layakkah Pelaku Kena Pasal Pembunuhan ?

ilustrasi
Ilustrasi.

BOGOR-RADAR BOGOR, Putri dari Penjabat (Pj) Gubernur Papua Pegunungan berinisial ABK berusia 16 tahun ditemukan tewas di sebuah kamar kos di daerah Semarang, Jawa Tengah, Kamis (18/5/2023). 

Tewasnya korban diketahui oleh pihak kepolisian bermula saat timbul kecurigaan dari Rumah Sakit Elizabeth yang menerima kedatangan remaja pria beinisial AN yang membawa korban yang dalam keadaan sudah tidak bernyawa ke rumah sakit tersebut. Pada saat penyelidikan, polisi menemukan botol-botol minuman keras dan juga susu fermentasi. 

Menurut keterangan dari beberapa saksi, AN mengajak ABK ke kamar kos nya, dan pada saat itu pengelola kos tidak sedang berada di lokasi. Atas persetujuan keluarga, jenazah ABK di autopsi pada hari Jumat (19/5/2023). Hasil autopsi sementara menyatakan bahwa korban diduga meninggal dunia karena asfiksia, mengalami lemas yang disebabkan karena terlalu banyak meminum minuman beralkohol. 

Baca Juga : Kementan Aktif Gencarkan Program Penumbuhan Wirausaha Muda Pertanian

Muncul dugaan bahwa korban mendapatkan kekerasan seksual sebelum meninggal karena ditemukan luka lecet pada area kelamin korban. Pelaku mengakui bahwa ia sempat menyetubuhi korban setelah meminum miras, akan tetapi ia mengaku tidak melakukan pemaksaan terhadap korban dan ada bentuk tanggung jawab dari pelaku dengan cara memberikan susu dan air kelapa dengan maksud agar efek dari minuman keras tersebut reda. 

Setelah itu ia membawa korban ke rumah sakit. Pada saat dihadirkan pada konferensi pers, Senin (22/5/2023), AN mengaku menyesali perbuatannya dan meminta maaf kepada keluarga korban. Ia pun mengakui kalau ia tidak mengetahui korban merupakan anak pejabat Gubernur dari Papua Pegunungan.

Maka dalam kasus tersebut, penulis melakukan analisis atas kejadian yang sedang hangat menjadi perbincangan di media sosial. Dalam kasus yang terjadi, terdapat dua subjek yaitu si pelaku yang berinisial AN (22) dan korban yang berinisial ABK (16). 

Melihat dari kasus tersebut, penulis berpendapat bahwa AN dapat dipidana dengan pasal 81 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, Pasal 89 ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, dan Pasal 359 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang menyebabkan orang lain meninggal karena salahnya.

Hal tersebut dikarenakan adanya ajakan dari AN kepada ABK untuk meminum minuman beralkohol. Karena usianya yang masih 16 tahun, ABK dikategorikan sebagai anak sebagaimana tercantum pada pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan anak yang berbunyi: “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18(delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.”. Perbuatan AN ini telah secara jelas melanggar larangan yang tertera pada pasal 76J ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yang berbunyi: “Setiap Orang dilarang dengan sengaja menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan Anak dalam penyalahgunaan, serta produksi dan distribusi alkohol dan zat adiktif lainnya”. 

Yang dimaksud sebagai penyalahgunaan alkohol disini ialah pengkonsumsian alkohol yang penggunaannya secara berbahaya dan dapat menimbulkan gangguan kesehatan pada tubuh seperti keracunan, kerusakan saraf gangguan jantung, dan sebagainya. Karena hal tersebut AN dijerat Pasal 89 ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) dan denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Baca Juga : Kontrasnya Program Karsa Cerdas di Sukamakmur dan Megamendung

Selanjutnya, penulis melihat adanya unsur bujukan dari AN kepada ABK untuk melakukan hubungan seksual. Meskipun menurut keterangan AN ia tidak melakukan paksaan untuk melakukan hal tersebut, ia tetap dianggap melanggar larangan yang tertera pada pasal 76D Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yang berbunyi: ”Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.”. Karena hal tersebut AN terjerat Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 

Di dalam Pasal ini juga, tepatnya tercantum pada ayat (2) dijelaskan bahwa Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. Hal inilah yang menjadi dasar penilaian bagi penulis bahwa AN dapat dijerat dengan hukuman sebagaimana tertera pada Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. 

Dalam kasus ini memang ABK pada akhirnya meninggal dunia. Akan tetapi, tidak terdapat unsur kesengajaan untuk membunuh sehingga tidak tepat apabila AN dijerat pasal 338 KUHP. Pasal 338 KUHP dapat dikenakan apabila terdapat opzet atau bentuk kesengajaan untuk merampas nyawa orang yang menjadi korbannya. Penulis menganggap akan lebih tepat jika AN dijerat pasal 359 KUHP tentang karena salahnya menyebabkan orang lain meninggal dengan ancaman pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun. 

Berdasarkan bunyi pasal tersebut, R. Soesilo berpendapat bahwa kematian dalam konteks Pasal 359 KUHP tidak dimaksudkan sama sekali oleh pelaku. Sebab, kematian tersebut hanya merupakan akibat kurang hati-hati atau lalainya pelaku. Pada kasus ini, kelalaian AN terletak pada saat ia dan ABK meminum minuman beralkohol. AN pada saat itu tidak mengira bahwa ABK akan meninggal karena lemas ataupun karena keracunan yang berasal dari efek karena terlalu banyak meminum minuman beralkohol tersebut. Selain itu, AN pun sempat memberikan susu dan air kelapa dengan maksud untuk meredakan efek dari minuman keras tersebut.

AN pun membawa korban ke Rumah Sakit untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut. Berdasarkan hal tersebut, penulis menilai bahwa tidak terdapat mens rea atau niat untuk membunuh korban. Bahkan ia menunjukan sikap pertanggung jawabannya sehingga, akan lebih tepat jika AN dikenakan pasal 359 dan bukan Pasal 338 KUHP.

Penulis berpendapat bahwa penyebab sebenarnya dari kematian ABK ini harus diungkap secara jelas. Apakah asfiksia yang dialami oleh ABK merupakan efek dari penggunaan minuman beralkohol yang berlebihan? Atau disebabkan karena hubungan badan yang dilakukannya?. Selain itu, untuk membuktikan apakah terdapat atau tidaknya unsur “pemaksaan” yang dilakukan oleh AN untuk berhubungan badan juga perlu dibuktikan. 

Memang benar jika dilihat dari hasil autopsi, terdapat luka lecet pada alat kelamin korban. Yang menjadi persoalan, lecet yang terdapat pada alat kelamin korban itu adalah lecet yang normal atau lecet yang merujuk kepada kerusakan? Hal itu harus dibuktikan secara jelas pula. Karena lecet itu sangat dimungkinkan dialami oleh seseorang yang berhubungan intim, terlebih jika terdapat perbedaan umur yang cukup jauh dan usia ABK ini masih dikategorikan sebagai anak. 

Sedangkan apabila lecet tersebut merupakan lecet yang merujuk kepada kerusakan, berarti bisa dipastikan bahwa terdapat unsur paksaan dari AN. Mengapa demikian? Karena apabila terdapat unsur paksaan, pasti ada unsur penolakan dari ABK. Dari penolakan tersebut dapat menyebabkan urat di sekitar kelamin dan paha korban menjadi lebih keras sehingga apabila tetap dilakukan hubungan badan, besar kemungkinan menyebabkan kerusakan pada alat kelamin korban.

Penulis melihat beberapa hal yang dapat dijadikan faktor peringan tuntutan pidana oleh Jaksa sebagaimana tertera pada Pedoman Jaksa Agung Nomor 3 Tahun 2019. Pertama, AN mengaku bahwa ia menyesali perbuatannya tersebut dan telah meminta maaf kepada keluarga korban. AN pun sempat membawa korban ke Rumah Sakit dengan maksud agar korban mendapatkan perawatan segera untuk menyelamatkan nyawa korban. Kedua, usia AN yang masih terbilang muda yaitu 22 tahun dan dapat diharapkan masih dapat untuk memperbaiki perilakunya juga bias dijadikan pertimbangan oleh Jaksa Penuntut dalam menjatuhkan tuntutannya. (*)

Dena Aji Prasetia, Febri Billiandro Sartono, dan Aditya Pangestu Halomoan Tampubolon

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pakuan

Editor : Ruri Ariatullah