25 radar bogor

I-baru CSIS

YANG dicari tidak ketemu, yang ketemu yang tidak dicari. Saat mencari Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia ke kampus barunya pekan lalu saya justru bertemu orang yang tidak saya sangka: Prof Dr Iwan Jaya Azis.

Guru Besar Cornell University, Ithaca, Amerika Serikat. Ahli ekonomi itu lagi di perpustakaan UIII. Maka di perpustakaan inilah saya ”nyangkut” lama.

Sudah 30 tahun tidak pernah baku dapa dengannya.

Baca Juga : Pedoman Stem Cell

Waktu muda dulu saya selalu membaca tulisan ekonomi Iwan di majalah Prisma. Tulisan yang selalu serius. Dengan tabel dan grafik hasil penelitian. Sebagai lulusan pesantren, saya tidak mengerti isi artikel itu. Tapi saya baca terus. “Sampai kelak saya harus mengerti semua itu,” kata saya saat itu, dalam hati.

Yang lebih penting bagi saya: beliau putra pemilik harian Surabaya Post. Raja koran di Surabaya. Sebelum Jawa Pos menjadi raja berikutnya. Ayahnya, Abdul Azis, asli Pamekasan.

Zaman itu saya sering bertanya-tanya: mengapa putranya yang begitu hebat tidak dipanggil pulang untuk meneruskan Surabaya Post. Terutama ketika ayahnya meninggal dunia di usia yang belum tua. Tentu agar kerajaan Surabaya Post tetap jaya.

Iwan Jaya ternyata pernah mencoba menangani manajemen Surabaya Post. Sebentar. Tapi hatinya bukan di bisnis. Bukan di jurnalistik. Jiwanya adalah ilmuwan. Guru. Peneliti.

Dan lagi, Iwan sangat diperlukan di Cornell University. Saya pun terkagum-kagum: ada orang Indonesia sangat diperlukan di Universitas begitu terkemuka di Amerika.

Seorang temannya bercerita ke saya: setiap kali Iwan minta berhenti, jabatannya dinaikkan. Bahkan ia pernah menjadi kepala jurusan di sana.

Saya pun ngobrol dengan Mas Iwan. Obrolan terlihat asyik. Lalu Prof Bahrul Hayat, wakil rektor U3I, minta saya ngobrol di depan kamera podcast. Kami pun ke ruang podcast U3I. Saya diminta sebagai pewawancara.

Usai dengan saya Prof Iwan masih meneruskan podcast itu dengan pewawancara sebenarnya.

Prof Jamhari Makruf, juga wakil rektor, bergabung saat keliling ke gedung perkuliahan. Ia pakai blangkon Jawa. Asli Klaten, dekat pabrik gula. Ia guru besar antropologi Islam. Disertasinya tentang ziarah kubur.

Para pengujinya di Australia sampai pada ingin lihat kuburan.

“Saya pernah tidur di kuburan Sunan Mbayat tiga bulan,” ujarnya. Awalnya tidak takut. Kian lama kian banyak pengunjung yang bercerita tentang hantu di kuburan itu. “Lama-lama merinding juga,” guraunya.

Makam itu hanya 13 km dari rumahnya di Klaten.

Di perpustakaan itu saya berpisah dengan Iwan Jaya Azis. Saya berjanji kalau ke Ithaca lagi akan mampir rumahnya.

Saya pun ke arah buku-buku yang dulu milik perpustakaan CSIS, yang dihibahkan ke U3I. Huruf ‘I’ di CSIS ternyata fleksibel sehingga nama CSIC bisa abadi. Dari Center for Strategic and International Studies menjadi Center for Strategic and Islamic Studies.

Dan ternyata tidak hanya perpustakaan CSIS yang pindah ke U3I. Juga seorang peneliti di sana: Philips Vermonte. Dr Philips sekarang menjabat dekan fakuktas ilmu sosiap S-2 U3I.

Prof Komaruddin Hidayat, rektor U3I, mengirim humor ke saya soal Philips Vermonte dan CSIS. Kisahnya terjadi saat CSIS berulang tahun ke 45 di tahun 2016.

Di acara besar itu, tokoh Banser yang kini jadi tokoh Golkar diminta memberi sambutan: Nusron Wahid.

Ia dianggap ”mewakili” kalangan NU. “Waktu saya mau merantau ke Jakarta, saya pamit kiai,” ujar Nusron seperti ditirukan Prof Komar.

Saat pamitan itu, sang kiai berpesan: di Jakarta nanti jangan ke CSIS. Alasannya, CSIS itu singkatan cina senang Indonesia susah. Seisi auditorium CSIS itu pun tertawa gemuruh.

Testimoni berikutnya dari Fajar Haq yang dianggap mewakili kalangan muda Muhammadiyah. Ia juga pamit kiai untuk pindah ke Jakarta. Pesan sang kiai sama, hanya beda singkatan: cina senang inlander susah.

Seisi auditorium kembali bergemuruh. Prof Komar masih ingat, Wapres (saat itu) Jusuf Kalla ikut terpingkal. Demikian juga Buya Syafii Maarif dan Ahok.

Pak JK juga diminta memberi sambutan. Orang memang menilai CSIS itu begitu. “Tapi pemilik CSIS itu yang justru selalu mendukung saya,” ujar JK disambut gerrrr.

Maksudnya adalah: Jusuf Wanandi. Ia adalah pendiri CSIS. Setiap Pemilu Jusuf Wanandi selalu menjadi tim sukses JK. Pun ketika banyak yang marah ia tetap mendukung JK.

Lalu Prof Komar tampil sebagai pembicara terakhir. “Ternyata hanya orang Padang yang justru mendukung CSIS,” ujar Komar. “Nusron orang Jawa. Fajar orang Jawa. Pak JK orang Makassar. Tapi ada satu orang Padang yang justru menjadi andalan CSIS,” ujar Prof Komar melucu.

Yang dimaksud orang Padang itu adalah Direktur Eksekutif CSIS yang kini menjabat dekan di U3I itu: Philips Vermonte. Ia asli Padang. Islam.

Jusuf Wanandi sendiri lahir di Sawahlunto, Sumbar.

Masih banyak peneliti asal Minang di CSIS: Indra Piliang, Imelda Maidir, Titik Anas, Yose Rizal Damuri, Arya Fernandes…

“Rupanya, di Minang, I di CSIS itu dianggap singkatan Islam,” celetuk Komar. Tentu tawa hadirin lebih bergemuruh lagi.

Ayah Vermonte asli Solok. Ibunya Bukittinggi. SMA-nya di Jakarta. Lalu ke UII. Setelah itu Vermonte mendapat beasiswa Fullbright untuk meraih gelar doktor politik di Northern Illinois, Chicago.

“Saya lahir di RS Vermont, Manila” jawab Philips Vermonte.

Saya memang menghubungi Philips. Khusus bertanya soal nama Vermonte itu. “Vermont ke Vermonte kan tinggal nambahi satu huruf e,” guraunya. (Dahlan Iskan)

Editor : Yosep