25 radar bogor

Mudik : Peyumbang Pertumbuhan Ekonomi

PEMERINTAH akhirnya mencabut Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di penghujung tahun 2022. Setelah PPKM ditiadakan, ketentuan vaksin bagi warga saat bepergian masih berlaku.

Satgas Penanganan C0vid-19 tetap mewajibkan vaksin dosis ketiga (booster) sebagai syarat perjalanan jarak jauh. (Surat Edaran Nomor 24 Tahun 2022 tentang Ketentuan Perjalanan Orang Dalam Negeri dalam Masa Pandemi C0vid-19).

Meski masih ada syarat vaksin bagi perjalanan jarak jauh, jumlah perjalanan melonjak dibanding masa pandemi. Terlebih perjalanan masyarakat saat mudik lebaran tahun ini. Tahun 2022 lalu, ketika pemerintah melonggarkan kebijakan PPKM dengan membolehkan masyarakat mudik lebaran, diperkirakan 85,5 juta penduduk Indonesia mudik.

Survei Kementerian Perhubungan, memperkirakan sebanyak 123,8 juta orang akan melakukan pergerakan pada masa mudik Lebaran 2023. Jumlah tersebut meningkat hampir 45% dari lebaran tahun lalu (Biro Komunikasi dan Informasi Publik, Kementerian Perhubungan).

Bank Indonesia (BI) pun mengantisipasi adanya lonjakan permintaan uang tunai di masa mudik. Di musim lebaran 2023 ini, BI menyediakan Rp195 triliun uang tunai. Jumlah uang yang disiapkan ini meningkat 8.22% dibanding tahun 2022 seiring meningkatnya perekonomian dan jumlah pemudik yang diperkirakan bertambah.

Kementerian Keuangan pun turut meramaikan dukungan untuk mudik, dengan menggelontorkan dana melalui APBN sebesar 38.9 triliun untuk

Tunjangan Hari Raya (THR) tahun 2023. Memang tidak semua penerima THR ikut mudik, namun tidak bisa dipungkiri bahwa dengan diterimanya THR maka daya beli menjadi semakin kuat dan geliat ekonomi semakin cepat.

Tulisan ini hanya berdasarkan analisis empirik, bahwa aktivitas sepanjang Ramadan, mudik, hingga arus balik, setidaknya menjadi pendorong pada tiga hal yang tampak nyata, yakni pendorong perputaran uang masyarakat, pendorong redistribusi ekonomi, dan pendorong pertumbuhan ekonomi.

Tentunya butuh sinergi kebijakan, di antaranya bidang fiskal dan moneter, serta sektor riil yang fleksibel, responsif, dan akomodatif, agar geliat tradisi mudik ini berdampak positif bagi pertumbuhan ekonomi nasional.

Pendorong Perputaran Uang 

Tradisi mudik lebaran yang sudah berjalan masif setidaknya sejak dekade 1970-an, ditandai dengan perputaran uang (velocity of money) dalam jumlah besar, baik di perkotaan hingga perdesaan.

Perputaran uang yang tinggi biasanya berkaitan dengan ekonomi yang sehat dan berkembang. Jika terjadi sebaliknya, perputaran uang rendah, biasanya menjadi indikasi adanya resesi dan kontraksi ekonomi.

Selama bertahun-tahun, ritual mudik, termasuk arus balik mudik terbukti menciptakan perputaran uang yang begitu besar dan cepat. Tidak hanya puluhan, bahkan hingga seratus dua ratus triliun rupiah berpindah tangan di antara masyarakat perkotaan, juga dari kota-kota ke desa-desa, hingga kampung-kampung kecil, hingga ke pelosok dusun.

Kini perputaran uang tak lagi dalam bentuk uang kartal (uang kertas dan logam) secara tunai, namun sudah banyak dalam bentuk transaksi nontunai, baik menggunakan kartu maupun transfer e-banking dan uang elektronik.

Perputaran uang juga dihitung dalam bentuk pembelian perangkat elektronik, pakaian, bahan makanan, minuman, dan ragam barang kebutuhan lain untuk lebaran, yang sudah terasa bahkan sejak bulan Ramadan, sebulan sebelum lebaran.

Mengacu perhitungan Kementerian Perhubungan tadi, sebanyak 123,8 juta orang mudik, atau dipekirakan lebih dari 30 juta keluarga. Dengan asumsi rata-rata anggaran setiap keluarga pemudik adalah Rp10 juta, maka diperkirakan ada perputaran uang sebanyak Rp300 triliun.

Jumlah itu bisa bertambah besar lagi, jika memperhitungkan perputaran uang dari luar negeri yang dikirim para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang biasanya menggunakan uang valuta asing (valas) dalam jumlah tak sedikit. TKI yang lama tak pulang biasanya sudah menabung berbulan-bulan sehingga memiliki saldo uang besar, yang akan dibelanjakan saat lebaran untuk sanak keluarganya.

Pemudik sendiri jika dirinci lagi, tak hanya melibatkan masyarakat muslim, namun juga masyarakat non-muslim, karena memanfaatkan liburan atau cuti bersama lebaran untuk pulang kampung, mengunjungi kerabat, atau juga kumpul-kumpul reuni dari beragam almamater. Halal bihalal pun kini jamak juga dihadiri masyarakat nonmuslim, khusus pada komunitas tertentu.

Dalam pendekatan teori ekonomi, perputaran uang termasuk dalam proses redistribusi pendapatan, yakni distribusi kembali pendapatan masyarakat berpenghasilan lebih tinggi ke masyarakat berpenghasilan lebih rendah, dari satu daerah ke daerah lain atau dari satu individu ke individu lain. Redistribusi pendapatan selama mudik, tidak saja hanya untuk keluarga atau kerabat pemudik.

Melainkan juga pendapatan baru yang diterima asisten rumah tangga pengganti (infal) sepanjang ramadan dan lebaran, usaha laundry, sopir sewa, belanja makan dan minum selama mudik dan arus balik, hingga perpindahan uang yang diterima pengelola penitipan hewan piaraan yang kini jumlahnya semakin banyak.

Meski belum ada studi akurat yang memastikan berapa triliun rupiah perputaran uang selama Ramadan, lebaran, hingga arus balik mudik, fakta nyata yang terlihat kasat mata adanya stimulasi peningkatan aktivitas produktif masyarakat dan pertumbuhan ekonomi.

Belanja selama ramadan-lebaran juga ditengarai meningkat untuk pembayaran zakat (zakat fitrah dan zakat kekayaan) dan pengeluaran untuk wisata. Studi lanjutan bisa dilakukan, di antaranya dampak penambahan pendapatan masyarakat, hingga kemandirian daerah.

Pendorong Redistribusi Ekonomi Nasional

Bentuk redistribusi ekonomi lainnya, adalah yang sudah jamak dilakukan pemerintah secara rutin. Di antaranya melalui beragam bentuk pajak, maupun pungutan-pungutan lain. Pajak dan pungutan tersebut dipakai untuk mendanai pengeluaran negara dan pembangunan fasilitas pendidikan, kesehatan, infrastruktur, pelayanan sosial, juga program bantuan pemerintah lain.

Disadari atau tidak, tradisi mudik juga mendorong pemerintah menempatkan pembangunan infrastruktur, khususnya infrastruktur transportasi, baik darat, laut, dan udara, sebagai pembangunan strategis. Artinya, tradisi mudik juga berpengaruh positif pada perbaikan atau penambahan infrastruktur transportasi untuk menunjang aktivitas mudik masyarakat. Infrastruktur transportasi tidak hanya pada pembangunan jalan, pelabuhan, dan bandara, namun juga termasuk di dalamnya jembatan, akses telekomunikasi yang lebih baik hingga ke desa-desa, juga layanan internet penunjang transaksi keuangan secara virtual.

Sebelum aktivitas mudik bergelombang, pemerintah didorong memperbaiki dan menambah kondisi infrastruktur. Yang paling nampak adalah penambahan jalan darat, baik jalur alternatif maupun tol. Pembangunan jalan trans nasional di Pulau Jawa, Sumatra, hingga Papua, kini sudah menghubungkan kota-kota besar dengan jalan tol. Peningkatan infrastruktur di sekujur Tanah Air, dari telaah positif dapat dijadikan indikasi ketepatan penyerapan anggaran.

Pendorong Pertumbuhan Ekonomi

Aktivitas mudik sepanjang Ramadan-Lebaran-arus balik juga menjadi faktor pendorong pertumbuhan ekonomi nasional, yakni melalui peningkatan konsumsi masyarakat dibanding hari-hari biasa. Peningkatan konsumsi masyarakat bahkan tidak hanya dilakukan para pemudik, namun juga sebagian besar masyarakat muslim selama ramadan.

Peningkatan konsumsi masyarakat ini dapat menjadi pemicu pertumbuhan ekonomi di masa pandemi hingga pasca pandemi Covid-19. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa pandemi memang sempat anjlok: dari 5,02% (2019) menjadi minus 2,07% (2020). Namun kemudian membaik menjadi 3,70% (2021) dan semakin membaik menjadi 5,31% (2022).

Selamat mudik! Jadilah bagian dari pendorong pertumbuhan ekonomi, melalui konsumsi sekaligus produktivitas masyarakat. (*)

Oleh: Arif Susilo Nugroho
Pegawai KPPN Bogor

Editor : Yosep