25 radar bogor

Kebangkitan Ekonomi Kreatif Dari Regulasi, Buku yang Bersumber Dari Hasil Diskusi di Komisi X DPR

Perpusnas
Foto bareng para narasumber launching dan talkshow buku 'Kebangkitan Ekraf Dari Regulasi'. (Istimewa)

JAKARTA-RADAR BOGOR, Ekonomi kreatif kini makin marak di Indonesia. Apalagi, sejak muncul Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2019 tentang Ekonomi Kreatif, mulai bermunculan para pelaku usaha, bukan hanya di sektor formal saja, tapi juga digital yang merambah di media sosial.

Sejak Pandemi Covid-19 pada awal Maret 2020 lalu, industri ekonomi kreatif mandek. Banyak pelaku usaha yang gulung tikar karena terbentur pada pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM).

Seiring keberhasilan pemerintah mengendalikan pandemi. Perlahan industri ekonomi kreatif kembali bangkit. Meski begitu, belum ada aturan yang mengikat UU Nomor 24/2019 belum berlaku.

Barulah pada tahun lalu, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2022 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2019 tentang Ekonomi Kreatif.

Hal itu yang membuat Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Abdul Fikri Faqih menulis buku berjudul ‘Kebangkitan Ekraf Dari Regulasi’, yang diluncurkan pada talkshow bertajuk ‘Membaca Itu Sehat, Menulis Itu Hebat’ di gedung Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas RI) Jalan Merdeka Selatan, Jakarta, Rabu (15/3/2023).

Turut hadir Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparefrakf) Sandiaga Salahudin Uno, Kepala Perpusnas RI Muhammad Syarif Bando, dan konten kreator sekaligus komika Raim Laode.

“Buku ini membuat tentang undang-undang yang pertama kali di Indonesia tentang ekonomi kreatif,” ujar Fikri.

Ia mengungkapkan, industri ekonomi kreatif sudah ada sejak 2007 silam. Kemudian dibentuk kembali pada 2011, dan selang delapan tahun kemudian dibuatlah regulasi yang mengaturnya yakni UU Nomor 24/2019. “Buku ini baru di launching sekarang, karena harus menunggu dulu PP diterbitkan pemerintah,” sebutnya.

Fikri menjelaskan, buku ini bisa menjadi panduan bagi pelaku ekonomi kreatif, baik yang lama maupun pemula, dalam menjalankan roda usahanya. Diantaranya mengatur tentang cara pengajuan pembiayaan ke perbankan. “Dengan adanya UU Nomor 24/2019, yang diperkuat PP Nomor 24/2022, mestinya hal itu bisa dilakukan. Tujuannya agar para pelaku ekonomi kreatif lebih produktif,” ujarnya.

Ide awal menulis buku Kebangkitan Ekraf Dari Regulasi berawal dari diskusi-diskusi yang dilakukan di Komisi X, yang berlangsung tanpa ada catatan. Maka, Fikri kemudian mengumpulkan sejumlah staf ahli untuk merangkum, kemudian dituangkan ke dalam sebuah buku.

Menurutnya, hal itu amat disayangkan bila tak diketahui oleh publik. “Ada dua pilihan : Apakah isi dari buku bersifat serius atau ringan. Tapi, saya pilih yang pertama karena nggak ketemu yang ringan, jadi adresatnya berbeda”

“Buku ini bagus bagi pemerhati maupun yang melakukan riset, bahwa mencari bahan di DPR susah. Tak semua bisa dibocorkan. Sebagian yang dipublikasikan dirangkum dalam buku ini, sehingga masyarakat mengetahui bagaimana proses (pembentukan UU Nomor 24/2019),” terangnya.

Pelaku ekonomi kreatif bila tak puas, bisa mengajukan kritik kepada DPR. Sebab, UU Nomor 24/2019 merupakan yang pertama kali di Indonesia. Dibandingkan undang-undang lain seringkali alami revisi.

Fikri juga mempertanyakan belum adanya dinas ekonomi kreatif di provinsi maupun kota/kabupaten di Indonesia. “(Pariwisata) lancar karena ada badan yang menaunginya. Tapi dinas ekonomi kreatif tak ada. Ditaruh di mana-mana. Ada di bappeda, dinas perindustrian atau dinas UMKM. Ekonomi kreatif bisa small and medium enterprise, itu betul. Tetapi mana ekonomi kreatif? Kita harus membedakan, dan kenapa dibanggakan Presiden Joko Widodo sebelum Covid-19 muncul.”

“Diharapkan ekspektasinya ngangkat, karena 17 sub sekktor ekonomi kreatif semuanya nyata di masyarakat. Tanpa ada intervensi program pemerintah, sudah survive selama masa pandemi,” ucap politisi Partai Demokrat ini.

Fikri berharap bukunya dapat menjembatani cara berpikir analitik dengan berpikir kreatif dalam bentuk regulasi. Sehingga tak ada produk-produk ekraf yang belum ada sertifikasi. “Kami ingin memfasilitasi, bukan membatasi kreativitas. Kalau dibatasi namanya dikotak-kotakkan, nggak muncul ide gila,” tegasnya.

Sementara Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf), Sandiaga Salahudin Uno mengucapkan selamat dan sukses atas terbitnya Kebangkitan Ekraf Dari Regulasi. Ia juga berterima kasih kepada Perpusnas RI karena telah memfasilitasi launching buku tersebut.

“Buku ini akan jadi penguat ekosistem ekonomi kreatif dalam menciptakan peluang usaha. Menciptakan lapangan kerja dengan target 4,4 juta pekerja pada 2024 mendatang,” ujar Sandi.

Sandi menjabarkan, ada 17 subsektor ekonomi kreatif dengan total 24 juta pelaku usaha. Di mana 42 persen bergerak di sektor kuliner, kemudian 18 persen di fashion, 15 persen di sektor kriya, dan 14 subsektor lainnya tersebar. Mulai dari subsektor aplikasi, permainan, televisi dan radio, musik, televisi, animasi, arsitektur, penerbitan, periklanan, dan sebagainya.

“Jika berbicara mengenai ekosistem per tahun lalu, maka produk ekonomi kreatif yang didaftarkan untuk memperoleh hak atas kekayaan intelektual (HAKI), akan dapat keleluasan untuk jadi objek pembiayaan.”

“Sebagai contoh karya cipta lagu yang memperoleh HAKI, akan mendapatkan royalti bila dinyanyikan secara komersil,” jelasnya.

“Selamat atas diluncurkan buku ini yang merupakan penyemangat dan meletakkan fundamental yang tepat untuk sektor yang diharapkan menjadi ekonomi masa depan Indonesia,” ucap Sandi.

Adapun Kepala Perpusnas RI, Muhammad Syarif Bando menyebut buku berjudul Kebangkitan Ekraf Dari Regulasi karya Abdul Fikri Faqih dinilai sangat fundamental karena memperkaya hasanah bangsa. Akan jadi nilai tambah bagi produk ekonomi kreatif, agar terjamin dengan adanya regulasi UU Nomor 24/2019.

“Dapat manfaat selain nilai tambah, juga hak paten. Peran perpustajkaan di dalam UMKM adalah menginspirasi dan membantu menemukan inovasi kreativitas, dari jutaan buku yang ada,” ujarnya.

Kepala Perpusnas menambahkan, hal ini jadi bagian yang tak terpisahkan. Sebab, upaya Perpusnas RI dalam pemulihan ekonomi pasca pandemi Covid-19 tidak banyak yang mengalirkan bagaimana dimulai dari daya imajinasi. Langsung masuk ke program dan hitung berapa biaya yang dibutuhkan.

“Tapi sumber daya manusia (SDM) yang menciptakan ekonomi kreatif belum siap, karena tidak dipandu oleh buku. Sejak transformasi perpustakaan berbasis inklusi sosial, dua juta penerima manfaat yang kami capai. Pada tahun lalu, 750 ribu, dari target hanya 35 ribu orang,” tukasnya. (*/rur)

Editor : Ruri Ariatullah