25 radar bogor

Fadli Zon Minta Hakim PN Jakpus yang Putuskan Tunda Pemilu 2024 Diperiksa dan Disanksi

Fadli Zon
Ketua BKSAP DPR Fadli Zon mendesak Sidang Parlemen Asia (Asian Parliamentary Assembly-APA) tetapkan Israel sebagai pelaku genosida dan kejahatan perang.

JAKARTA-RADAR BOGOR, Putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat atas perkara nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst, yang memerintahkan agar Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunda Pemilu 2024, terus menuai polemik.

Anggota DPR RI Fadli Zon menilai, persoalan tersebut harus disikapi serius, baik oleh Mahkamah Agung (MA) maupun Komisi Yudisial (KY).

Menurut Fadli Zon, dalam putusannya, majelis hakim menyatakan KPU (sebagai pihak tergugat) telah melakukan perbuatan melawan hukum.

“Pasalnya, KPU menyatakan Partai Prima (sebagai pihak penggugat) tidak memenuhi syarat dalam tahapan verifikasi administrasi partai politik calon peserta pemilu,” tutur Fadli Zon.

Untuk menghindari spekulasi politik, lanjut Fadli Zon, MA dan KY sebaiknya segera memeriksa majelis hakim yang terlibat dan memberi mereka sanksi. Ada beberapa alasan kenapa pemeriksaan harus dilakukan, dan kenapa mereka pantas diberi sanksi.

Pertama, kata dia, ada indikasi ketidakprofesionalan yang sangat mencolok. Gugatan yang dilayangkan dan kemudian dimenangkan oleh Partai Prima terhadap KPU adalah gugatan perdata.

“Tiga orang hakim itu mestinya mengetahui bahwa, pengadilan perdata hanya terbatas mengadili masalah perdata. Sanksi yang dijatuhkan juga sifatnya perdata, paling hanya bersifat ganti rugi,” jelasnya.

Nah, putusan majelis hakim PN Jakarta Pusat yang memerintahkan KPU untuk menunda pemilu hingga tahun 2025, jelas berada di luar kewenangan pengadilan perdata.

Putusan itu bukan hanya bisa dianggap telah melawan hukum tata negara dan hukum administrasi negara yang berlaku, tapi juga bisa dianggap melawan konstitusi, khususnya Pasal 22E yang menyatakan bahwa, “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.”

Kalau ada sengketa terkait dengan proses Pemilu, maka sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku, lembaga yang berwenang untuk memutuskannya adalah Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), bukan pengadilan perdata.

“Sementara, kalau ada sengketa terkait dengan hasil pemilu, maka yang berwenang memutuskannya hanyalah Mahkamah Konstitusi,” tukasnya.

Jadi, hakim-hakim yang terlibat dalam putusan perkara nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst itu terindikasi kuat tidak profesional dalam menjalankan tugasnya.

“Saya setuju dengan pendapat bahwa, sejak awal seharusnya majelis hakim menolak gugatan Partai Prima, atau menyatakan “niet ontvankelijke verklaard” (N.O.), bahwa gugatan tersebut tidak dapat diterima karena mengandung cacat formil. Sebab, Pengadilan Negeri memang tak bewenang mengadili perkara tersebut,” pungkasnya.

Kedua, motif putusan itu patut dipertanyakan. Sanksi perdata umumnya cukup dilakukan dengan ganti rugi pihak tergugat kepada pihak penggugat.

Paling jauh, PN Jakarta Pusat mestinya hanya memerintahkan KPU untuk mengulang kembali proses verifikasi terhadap Partai Prima, dan bukannya memerintahkan penundaan Pemilu secara keseluruhan.

Meskipun tuntutan menunda proses Pemilu masuk dalam materi gugatan, mestinya majelis hakim mengetahui bahwa tuntutan tersebut berada di luar ranah dan kewenangan mereka.

“Sehingga harus diselidiki apa motif mereka membuat putusan hukum soal penundaan pemilu tersebut. Putusan itu bukan hanya telah mengacaukan jangkauan hukum perdata, tapi juga bisa mengacaukan hukum tata negara,” tuturnya.

Yang jelas, putusan semacam itu telah menodai integritas majelis hakim PN Jakarta Pusat.

Dan ketiga, kasus putusan PN Jakarta Pusat ini tidak boleh dibiarkan, meskipun KPU telah mengajukan proses banding. Sebab, hampir semua orang, baik partai politik, akademisi, ahli hukum, termasuk pemerintah sendiri, telah menyatakan putusan hakim PN Jakarta Pusat memang bermasalah.

Jadi, kasus ini memang harus diperiksa. Jangan sampai kepercayaan kita terhadap hukum dan lembaga peradilan jadi kian tergerus.

Para hakim yang terlibat dalam putusan tersebut harus diperiksa dan jika terindikasi ada ketidakprofesionalan atau masalah integritas, mereka semua harus diberi sanksi. (net)

Editor : Yosep