25 radar bogor

Pelabuhan Tapol

Dari kiri, Imam Khalil, Jamal Thio, penulis, paling kanan Supri Sitepu dengan latar belakang kantor terminal Pelabuhan Merah Putih

Oleh Hazairin Sitepu

SAYA baru tiba di Pelabuhan Merah Putih ketika hari sudah sangat petang. Lantunan suara mengaji terdengar merdu dari Masjid Jami’ , salah satu masjid tertua di Namlea. Masjid ini tampak jauh lebih besar dibanding 20 tahun yang lalu. Dua menaranya menjulang ke angkasa.

Kota Namlea Minggu petang hari itu mendung. Tetapi hujan tetap rintik-rintik. Saya, semula, hanya pergi ke pasar untuk belanja ketupat santan, sangkola (singkong parut kukus yang bentuknya mirip bra runcing), sayur bunga pepaya dan ikan cakalang panggang.

Saya sudah puluhan tahun makan ‘makanan kota’. Sesekali memang makan makanan Sunda (nasi liwet, lalapan, sambal oncom). Saya tinggal di Bogor. Kali ini ingin makan makanan tradisional Ambon. Mumpung sedang berada di Namlea, ibukota kabupaten Pulau Buru, itu.

Ini gara-gara Supri. Ponakan saya, yang menjadi pengusaha sejak usia sangat muda. Bakat berbisnisnya turun dari almarhum ayahnya: Zainal Abidin. “Kita singgah di pelabuhan. Keadaannya sudah berubah. Biar sekalian om liat sebelum balik ke Bogor,” kata Supri.

Pergilah kami ke Pelabuhan Merah Putih itu. Selain Supri, ikut pula Jamal Thio (adik sepupu) dan Imam Khalil (ponakan dari Ternate). Jaraknya dekat dari pasar. Juga jalan menuju Pelabuhan Merah Putih sepi mobil. Hanya tiga menit sudah tiba di halaman parkir pelabuhan.

Memang belum banyak mobil di kota Namlea. Mungkin saja lebih banyak mobil di Kelurahan Curug Mekar, Kota Bogor, dibanding jumlah mobil di ibukota Kabupaten Buru itu.

Begitu masuk pintu gerbang pelabuhan, ingatan saya tiba-tiba melayang ke tahun 1977. Ketika itu pagi hari di tanggal 20 Desember. Waktu itu saya masih sangat remaja. Pagi hari itu saya memang sengaja datang ke pelabuhan untuk mencari tumpangan ke Ilath, desa yang jaraknya kurang-lebih 25 km dari Namlea, ke arah selatan.

Saya melihat ratusan orang berjejer rapi di atas dermaga. Lalu ada kapal besar sedang tambat di depan ratusan orang yang berjejer itu. Banyak tentara berjaga-jaga di dalam dan di luar pelabuhan. Banyak wartawan sibuk memotret sana-sini. Saya dan banyak orang lain dilarang mendekat ke ratusan orang yang sedang berjejer itu. Mungkin saja maksudnya agar orang-orang yang ratusan itu tidak terganggu.

Itulah hari pembebasan gelombang pertama tahanan politik (Tapol) G30S PKI setelah diasingkan dan ditahan di Pulau Buru sejak 1969. Mereka ditahan tanpa melalui proses pengadilan.

Selama 1969 sampai dengan 1977 itu 12 ribu tapol tinggal di 22 barak tahanan di Pulau Buru. Termasuk Pramudya Ananta Toer. Pram baru bebas pada 21 Desember 1979.

Ketika didatangkan dari Jawa, belasan ribu Tapol yang dituduh terlibat G30S PKI itu, dengan menggunakan kapal ABRI, turun di Dusun Batuboy. Namlea waktu itu berbentuk desa dan Batuboy adalah salah satu dusunnya. Batuboy saat ini telah menjadi desa.

Ketika dibebaskan, Tapol Pulau Buru itu dipulangkan melalui dermaga Pelabuhan Namlea. Dan pembebasan tahanan politik G30S PKI ini , waktu itu, mendapat perhatian dunia internasional.

Pelabuhan Namlea yang sangat bersejarah itu, sejak 9 Juli 2022 berganti nama menjadi Pelabuhan Merah Putih. Diresmikan Gubernur Maluku Murad Ismail.

Pelabuhan Merah Putih melayani kapal-kapal feri dengan tujuan beberapa pelabuhan di Seram Barat, Sanana—Maluku Utara. Sementara kapal-kapal Pelni dan kapal-kapal berukuran besar lainnya tambatnya di dermaga pelabuhan besar, sebelah Barat kota Namlea.

Pelabuhan Namlea, pada tahun 1950-1960-an, selalu ramai dengan kapal-kapal kayu yang tidak hanya melayani rute antarpulau di Maluku, tetapi juga luar Maluku. Pelabuhan ini sampai-sampai disebut Batavia-nya Pulau Buru. Ia memang merupakan jantung ekonomi Pulau Buru.

Saya petang itu bernostalgia secara tidak sengaja di pelabuhan Tapol itu. Pelabuhan yang mestinya menjadi monumen sejarah bagi generasi akan datang. Bukan sekadar pelabuhan feri. (*)