25 radar bogor

Belanda Minta Maaf atas 250 Tahun Perbudakan di Masa Lalu

”Hari ini atas nama pemerintah Belanda, saya meminta maaf atas tindakan negara Belanda di masa lalu.” Kalimat itu mengawali permintaan maaf secara resmi pemerintah Belanda karena keterlibatan mereka dalam perbudakan di beberapa negara selama 250 tahun.

BELANDA-RADARBOGOR, ”Hari ini atas nama pemerintah Belanda, saya meminta maaf atas tindakan negara Belanda di masa lalu.” Kalimat itu mengawali permintaan maaf secara resmi pemerintah Belanda karena keterlibatan mereka dalam perbudakan di beberapa negara selama 250 tahun.

Permintaan maaf tersebut dibacakan Perdana Menteri Belanda Mark Rutte pada Senin (19/12) dalam bahasa Belanda.

Kemudian, mengulanginya dalam bahasa Inggris, Papiamento, dan Sranan Tongo. Dua terakhir adalah bahasa yang digunakan di Kepulauan Karibia dan Suriname.

Permintaan maaf itu datang hampir 150 tahun setelah berakhirnya perbudakan di koloni-koloni luar negeri Belanda. Di antaranya, di Suriname, Indonesia, dan pulau-pulau Karibia seperti Curacao serta Aruba. Rutte menegaskan bahwa warga Belanda yang hidup sekarang hanya bisa mengakui dan mengutuk perbudakan tersebut sebagai kejahatan kemanusiaan.

Sebelum membuat pernyataan permintaan maaf tersebut, para menteri Belanda sudah bertandang ke tujuh negara bekas koloni mereka di Amerika Selatan dan Karibia. ”Negara Belanda memikul tanggung jawab atas penderitaan besar yang menimpa orang-orang yang diperbudak dan keturunan mereka,” ujar Rutte dalam pidato yang dibacakan di Badan Arsip Nasional di Den Haag seperti dikutip Agence France-Presse.

Tanggal permintaan maaf itu sempat menjadi perdebatan. Negara-negara bekas koloni Belanda ingin permintaan maaf dikeluarkan pada 1 Juli 2023 untuk menandai peringatan 150 tahun Belanda menghapus perbudakan di bekas jajahannya. Kurangnya konsultasi yang dilakukan Belanda pada negara-negara bekas jajahannya dianggap sebagai sikap kolonial. Terkait hal itu, Rutte menegaskan bahwa memilih momen merupakan hal sulit. ”Tidak ada satu waktu yang tepat untuk semua orang, tidak satu kata yang tepat untuk semua orang, tidak satu tempat yang tepat untuk semua orang,” ujarnya.

Permintaan maaf itu datang hampir 150 tahun setelah berakhirnya perbudakan di koloni-koloni luar negeri Belanda. Di antaranya, di Suriname, Indonesia, dan pulau-pulau Karibia seperti Curacao serta Aruba. Rutte menegaskan bahwa warga Belanda yang hidup sekarang hanya bisa mengakui dan mengutuk perbudakan tersebut sebagai kejahatan kemanusiaan.

Sebelum membuat pernyataan permintaan maaf tersebut, para menteri Belanda sudah bertandang ke tujuh negara bekas koloni mereka di Amerika Selatan dan Karibia. ”Negara Belanda memikul tanggung jawab atas penderitaan besar yang menimpa orang-orang yang diperbudak dan keturunan mereka,” ujar Rutte dalam pidato yang dibacakan di Badan Arsip Nasional di Den Haag seperti dikutip Agence France-Presse.

Tanggal permintaan maaf itu sempat menjadi perdebatan. Negara-negara bekas koloni Belanda ingin permintaan maaf dikeluarkan pada 1 Juli 2023 untuk menandai peringatan 150 tahun Belanda menghapus perbudakan di bekas jajahannya. Kurangnya konsultasi yang dilakukan Belanda pada negara-negara bekas jajahannya dianggap sebagai sikap kolonial. Terkait hal itu, Rutte menegaskan bahwa memilih momen merupakan hal sulit. ”Tidak ada satu waktu yang tepat untuk semua orang, tidak satu kata yang tepat untuk semua orang, tidak satu tempat yang tepat untuk semua orang,” ujarnya.

Perdana Menteri Aruba Evelyn Wever-Croes menerima permintaan maaf tersebut. Namun, dia menegaskan, itu hanyalah langkah pertama. Banyak negara bekas koloni lainnya yang menyesalkan kurangnya dialog dan tindakan konkret yang dilakukan pemerintah Belanda sebagai bentuk penyesalan atas tindakan mereka di masa lalu.

Silveria Jacobs, PM Sint Maarten, menyebut pidato Rutte sebagai permintaan maaf yang dipaksakan. Dia meminta agar ada dialog setelah itu. ”Kami tidak pada tahap menerima atau menolak pernyataan atau permintaan maaf tersebut,” ujarnya via radio publik NOS.

Kepala Federasi Afro-Suriname Iwan Wijngaarde juga menegaskan bahwa dirinya tidak melihat banyak aksi yang dilakukan Belanda dan itu memalukan. ”Yang benar-benar hilang dari pidato (Rutte) itu adalah tanggung jawab dan akuntabilitas,” ujar Presiden Komisi Reparasi Nasional Suriname Armand Zunder. Dia menambahkan bahwa seharusnya ada anggaran miliaran dolar sebagai bagian dari permintaan maaf tersebut.

Perdana Menteri Aruba Evelyn Wever-Croes menerima permintaan maaf tersebut. Namun, dia menegaskan, itu hanyalah langkah pertama. Banyak negara bekas koloni lainnya yang menyesalkan kurangnya dialog dan tindakan konkret yang dilakukan pemerintah Belanda sebagai bentuk penyesalan atas tindakan mereka di masa lalu.

Silveria Jacobs, PM Sint Maarten, menyebut pidato Rutte sebagai permintaan maaf yang dipaksakan. Dia meminta agar ada dialog setelah itu. ”Kami tidak pada tahap menerima atau menolak pernyataan atau permintaan maaf tersebut,” ujarnya via radio publik NOS.

Kepala Federasi Afro-Suriname Iwan Wijngaarde juga menegaskan bahwa dirinya tidak melihat banyak aksi yang dilakukan Belanda dan itu memalukan. ”Yang benar-benar hilang dari pidato (Rutte) itu adalah tanggung jawab dan akuntabilitas,” ujar Presiden Komisi Reparasi Nasional Suriname Armand Zunder. Dia menambahkan bahwa seharusnya ada anggaran miliaran dolar sebagai bagian dari permintaan maaf tersebut.

Di lain pihak, pemerintah Belanda menyatakan bahwa ada beberapa acara yang akan digelar tahun depan sebagai bentuk peringatan. Mereka pun telah mengumumkan alokasi dana EUR 200 juta (Rp 3,3 triliun) sebagai inisiatif sosial. Menteri kabinet Belanda juga dikirim ke Suriname, Bonaire, Sint Maarten, Aruba, Curacao, Saba, dan St. Eustatius untuk membahas respons mereka.

Perbudakan secara resmi dihapuskan di Suriname dan tanah-tanah lain yang dikuasai Belanda pada 1 Juli 1863. Tapi, praktik tersebut baru benar-benar berakhir pada 1873 setelah masa transisi selama 10 tahun. Pada abad ke-16 dan 17, Belanda mengirim sekitar 600 ribu orang Afrika sebagai bagian dari perdagangan budak. Mayoritas dikirim ke Amerika Selatan dan Karibia.

Pada puncak era kolonialnya, Belanda memiliki koloni seperti Suriname, Pulau Curacao di Karibia, Afrika Selatan, dan Indonesia yang menjadi markas Perusahaan Hindia Timur Belanda pada abad ke-17.(JPG)

Editor:yosep/arul-pkl