25 radar bogor

Massa Menginap di DPR Protes KUHP, Yasonna: Tak Ada Gunanya

DPR RI resmi mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi Undang-Undang dalam Rapat Paripurna, Selasa (6/12)

JAKARTA-RADAR BOGOR, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H Laoly menilai tidak ada gunanya massa yang tidak menyetujui Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (UU KUHP) baru melakukan protes dengan menginap di DPR.

“Nggak usahlah, nggak ada gunanya,” kata Yasonna di lingkungan istana kepresidenan Jakarta, Selasa (6/12).

LBH Jakarta dan aliansi masyarakat sipil melakukan aksi “berkantor” di DPR dengan menginap di DPR pada 6 Desember 2022.

Baca Juga: RKUHP Disahkan DPR Hari Ini, Berikut Sejumlah Pasal Kontroversi

LBH Jakarta juga mengajak masyarakat untuk mengunggah foto dengan berpose menutup mulut menggunakan lakban atau telapak tangan.

Yasonna juga mempersilakan mereka mengajukan uji materi atau “judicial review” dan percaya dengan putusan hakim konstitusi.

“Masa sekelas mereka (Hakim Konstitusi) kita ragukan lagi? Ini perdebatannya dari ‘Institution For Criminal Justice Reform saja semacam LSM juga menyatakan ini sudah waktunya, bahwa ada perbedaan persepsi ya tidak mungkinlah kita semua bisa menyetujui 100 persen, dan kalau ada teman-teman yang merasa ada, bahkan mungkin mengatakan bertentangan dengan konstitusi silakan aja JR itu mekanisme konstitusional,” kata Yasonna lagi.

Yasonna meminta agar pihak yang tidak setuju melakukan langkah-langkah konstitusional yaitu uji materi.

Amnesty International Indonesia dalam rilis tertulisnya mengatakan, pengesahan KUHP baru oleh DPR RI yang antara lain membatasi kebebasan berkumpul, hingga melarang kritik terhadap presiden merupakan pukulan mundur bagi kemajuan Indonesia.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyebut KUHP baru yang kontroversial dan melampaui batas ini hanya akan lebih memperburuk ruang sipil yang sudah menyusut di Indonesia.

Pemberlakuan kembali ketentuan yang melarang penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden, pemerintahan yang sedang menjabat serta lembaga negara, menurut Usman, akan semakin menghambat kebebasan berpendapat sambil mengkriminalisasi perbedaan pendapat yang sah dan damai. Larangan demonstrasi publik tanpa izin jelas dapat membatasi hak untuk berkumpul secara damai.

KUHP baru, menurut Usman, mengembalikan pasal-pasal yang melarang penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden yang sesungguhnya telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada 2006 baik secara langsung maupun melalui sarana audiovisual atau digital, masing-masing dapat dihukum hingga 3,5 tahun dan 4,5 tahun penjara.

Di dalamnya juga termasuk pasal-pasal yang mengkriminalisasi penghinaan terhadap lembaga pemerintah dan negara yang sah, dan juga melarang demonstrasi publik tanpa izin yang dianggap mengganggu ketertiban umum. Ketentuan luas ini dapat disalahgunakan untuk menekan kritik yang sah dan pertemuan damai.

Baca Juga: Diwarnai Interupsi, DPR Resmi Sahkan RKUHP jadi Undang-Undang

Undang-undang mempertahankan penjara sebagai hukuman untuk pencemaran nama baik dan penodaan agama, sementara tetap mempertahankan ketentuan makar yang selanjutnya dapat membatasi hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi serta kebebasan beragama atau berkeyakinan.

Hubungan seks di luar nikah diancam hukuman pidana satu tahun penjara dan kohabitasi di luar nikah selama enam bulan penjara. Ini juga berpotensi mengkriminalisasi promosi kontrasepsi sambil mempertahankan aborsi sebagai tindakan kriminal.

Selain itu, ketentuan baru tentang genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam KUHP yang menghilangkan prinsip retroaktif bertentangan dengan hukum internasional hak asasi manusia, dan berpotensi menutup akses korban pelanggaran HAM berat masa lalu terhadap keadilan, kebenaran, dan pemulihan yang komprehensif. (jawapos)