25 radar bogor

Jago Wayan

IA berhenti dari tentara. Pangkatnya mayor. Uangnya sudah banyak. Ia merasa tidak enak: jadi tentara merangkap jadi pengusaha sukses.

Baca Juga : Pendidikan Kering

Namanya: Wayan Supadno. Ia orang asli Yogyakarta. Ketika masih bayi ikut nenek bertransmigrasi ke ujung timur pulau Jawa. Ke Grajakan. Ke pinggir hutan di selatan Banyuwangi. Ayahnya ikut juga dalam rombongan neneknya itu.

Di situlah Wayan sekolah. Lalu masuk D3 Unair. Sambil bekerja: memberi kursus bimbingan tes. Juga jadi cleaning service untuk rumah tempatnya menumpang: agar tidak perlu bayar kos.

Sebagai keluarga transmigran orang tuanya tidak mungkin membiayai Wayan kuliah. Apalagi sang ayah belakangan ikut jejak orang tuanya: bertransmigrasi ke Sulawesi Tengah.

Selesai kuliah, Wayan melamar ke perusahaan farmasi asing. Jadi detailer. Pekerjaan utamanya mendatangi dokter. Agar mau memasukkan obat dari perusahaannya ke resep sang dokter.

Wayan ditempatkan di Banjarmasin. Awalnya begitu sulit ketemu dokter. Selalu saja ditolak. Lalu ia menemukan cara. Ia cari tahu kapan anak dokter itu ulang tahun. Lalu cari tahu: apa hobi si anak. Hari itu Wayan pun menyerahkan hadiah ulang tahun ke rumah dokter: mobil. Mobil mainan.

Prestasi Wayan dihargai. Ia dipindah ke wilayah yang lebih besar: Sulawesi Selatan. Sukses lagi. Giliran Wayan yang minta pindah: ke Bali. Wilayahnya termasuk NTB. Permintaannya dipenuhi.

Di Bali, Wayan terpikir bisa dekat dengan, ehm, gadis yang diincarnya –sejak masih di SMP di selatan Banyuwangi. Ia ingat pernah kirim surat cinta ke gadis SMP itu: ditolak. Surat dikembalikan. Beserta amplopnya. Masih utuh. Amplop itu belum dibuka.

Cinta remaja itu ia bawa ke Banjarmasin. Ke Makassar. Ke Bali. Dari Bali, Wayan melamar lagi. Kini diterima. Itulah istrinya sekarang. Yang memberinya tiga anak: yang bungsu lagi sekolah di Prancis.

Di Bali itu pikiran lama Wayan muncul kembali: ingin jadi tentara. Ia melihat pengumuman pendaftaran jadi perwira. Sewaktu mahasiswa pun Wayan ikut resimen mahasiswa.

Setelah pendidikan militer di Magelang Wayan ditempatkan di Pematang Siantar. Ia jadi pelatih tentara. Pangkat pertamanya letnan dua.

Bagaimana bisa tugas pertama langsung jadi pelatih? “Mungkin karena saya paling disiplin,” katanya. Wayan mendapat pelajaran disiplin saat bekerja di perusahaan obat Inggris. Lalu menjadi darah dagingnya.

Di Pematang Siantar itu ia melihat begitu banyak cangkang sawit berserakan. Tiap hari ia juga melihat truk pengangkut batu bara. Suatu saat ia hentikan truk itu. Ia minta 5 kg batu bara. Ia merebus air di dua tungku. Satu pakai bahan bakar batu bara, satunya lagi pakai cangkang kelapa sawit. “Hasilnya kurang lebih sama,” katanya.

Pikiran bisnisnya pun jalan. Ia harus menemui pimpinan pabrik kertas di Porsea. Jangan lagi bakar boiler dengan batu bara. Harus dengan cangkang. Lebih murah. Lebih ramah lingkungan.

Pabrik kertas itu dipimpin orang India. Si India menolak ide Wayan. Tapi Wayan sudah biasa ditolak: surat cintanya. Juga usahanya bertemu dokter di saat jadi detailer.

Akhirnya berhasil juga. Wayan mendapat kontrak pasok cangkang sawit 3.000 ton setahun. Selama 5 tahun. Jadilah Wayan pengusaha. Tugasnya sebagai pelatih tentara jalan terus. “Saya sampai punya tabungan Rp 7 miliar,” katanya.

Wayan ingat orang tuanya. Yang hidup sebagai transmigran di Sulteng. Ia ingin pindahkan ayahnya ke Riau: agar bisa bertani sawit. Ia tahu ada transmigran yang dapat 2 hektare lahan sawit di Riau. Ia cari siapa yang tidak kerasan di lahan sawit itu. Ia beli lahannya. Ia serahkan ke ayahnya. Jadilah ayahnya pengelola 2 hektare kebun sawit.

Wayan sendiri ternyata pindah tugas ke Riau. Ia menjadi wakil kepala rumah sakit tentara di Pekanbaru. Pangkatnya sudah kapten. Ia pun bisa sambil menjadi pengusaha kebun sawit. Tabungannya dari jualan cangkang sawit di Pematang Siantar ia belikan lahan di Riau. Ia datangkan 16 anak muda miskin dari Banyuwangi. Satu orang diminta mengelola 2 hektare kebun sawit. Berhasil. Mereka juga beternak sapi di kebun sawit. Sekalian sebagai sumber bahan baku pembuatan pupuk alami.

Rumah sakit tentaranya maju. Usaha pribadinya juga maju. Ia jadi bos. Pangkatnya naik menjadi mayor. Umurnya menginjak 45 tahun. Ia memutuskan untuk pensiun dini sebagai mayor. Ia ingin sepenuhnya konsentrasi di bisnis.

Saat itu lagi ada tawaran menggiurkan: membangun ratusan rumah dan ruko. Ia pun bekerja sama dengan pengusaha itu. Rumah dibangun. Pakai uang tabungannya. Ditambah uang muka dari pengusaha itu. Juga dari pinjaman bank.

Si pengusaha lari. Ke Singapura. Rumah-rumah sudah setengah jadi. Tidak ada yang membeli. “Saya langsung bangkrut. Habis. Ludes,” katanya.

Wayan tinggal punya rumah di Jonggol. Dekat Bogor. Ia meninggalkan Riau dengan tangan kosong. Ia merenungi nasibnya. “Ini salah saya sendiri,” katanya. Ia tidak mau menyalahkan siapa pun. Tidak juga menyalahkan pengusaha yang lari tadi.

Di Jonggol ia berpikir: mau kerja apa. Dari kebun sawit di Riau ia belajar membuat pupuk. Ia mencoba membuat pupuk biologi. Ia coba di lahan mangkrak di Jonggol. Ia bertani di situ. Dengan pupuk buatannya sendiri. Lahan itu sekaligus arena demo untuk pupuk buatannya. Ia jualan pupuk.

Mulailah Wayan dapat uang kembali. Lalu berpikir membuka lagi kebun sawit. Tidak di Riau. Sudah penuh. Lahan sudah mahal.

Ia melirik Pangkalan Bun di Kalteng. Ia berkebun sawit dengan mengandalkan pupuk buatannya sendiri. Ia tahu hitungan. Petani kecil itu tidak efisien: biaya beli pupuk bisa Rp 1.800/kg CPO. Perkebunan besar hanya perlu Rp 1.300/kg CPO. “Saya hanya Rp 950/kg CPO,” katanya.

Di Pangkalan Bun, kini ia sudah punya 500 hektare sawit. Ia juga punya peternakan sapi. Seekor sapi, katanya, bisa menghasilkan pupuk 10 kali lipat dari berat badannya. Tiap tahun. Itu baru dari tahinya. Sebanyak itu pula dari air kencingnya.

Dari pupuk itu dua anaknya bisa kuliah sampai S2. Lalu si bungsu sekolah sampai Prancis. Wayan punya keinginan baru: membina 50 anak muda miskin untuk berkebun sawit. Di Pangkalan Bun. Ia lagi mencari anak miskin yang mau mengubah nasib. Seperti 16 anak muda yang kini bisa hidup sejahtera di Riau. Syaratnya harus mau dan siap kerja keras. Ia akan menyediakan 2 hektare tanah untuk diubah menjadi kebun sawit.

Waktu jadi tentara ia amat disiplin. Waktu jadi petani ia sangat serius. “Waktu di tentara saya punya prinsip, komandan saya harus senang. Artinya pekerjaan saya harus beres melebihi yang dipikirkan komandan,” katanya.

Wayan, yang sama sekali tidak punya darah Bali, selalu ingat masa kecilnya di desa. Di Grajakan. Tiap hari ia lihat adu jago. Ia punya kesimpulan: jago (ayam jantan) yang memenangkan pertarungan adalah yang sering diadu. Sampai tidak punya bulu di kepala dan lehernya. Sampai kulit lehernya tebal. Saking seringnya dipatuk lawan. Jago yang lebih tinggi dan besar pun bisa kalah dengan jago kecil yang sering diadu.

“Hidup itu kalau mau sukses juga harus sering menghadapi ujian,” kata Wayan.

Banyak orang mencela hobi adu jago. Wayan justru belajar dari perkelahian itu. (Dahlan Iskan)

Editor : Yosep