25 radar bogor

Guru Besar IPB University Sebut Ada Kelaparan Tersembunyi di Indonesia, Ini Penyebabnya

Ilustrasi Stunting
Ilustrasi.

BOGOR-RADAR BOGOR, Guru Besar Ilmu Gizi Fakultas Ekologi Manusia IPB University Drajat Martianto mengungkapkan fakta mengejutan. Menurutya, saat ini terjadi penurunan ketahanan pangan sehingga ada kelaparan tersembunyi di Indonesia.

Baca Juga : Gawat! Dampak BBM, Harga Pangan dan Pokok Mulai Naik

”Posisi Indonesia di Global Food Security Index (GFSI) mengalami penurunan setelah pandemi Covid-19,” kata Drajat Martianto yang dikukuhkan sebagai guru besar tetap IPB University.

Menurut dia, Indonesia saat ini menghadapi triple burden of malnutrition atau tiga masalah gizi sekaligus. Yakni gizi kurang (stunting dan wasting), obesitas, dan kurang gizi mikro (KGM) atau yang sering disebut sebagai kelaparan tersembunyi.

”Tantangan terbesar bangsa Indonesia saat ini, bukan lagi kurang energi dan protein, tetapi kelaparan tersembunyi atau hidden hunger yaitu defisiensi zat gizi mikro, khususnya defisiensi zat besi, iodium, asam folat, seng, vitamin A, dan zat gizi mikro lainnya,” papar Drajat Martianto.

Martianto menjelaskan, penelitian menunjukkan hanya satu persen rakyat Indonesia yang tidak mampu mengakses pangan makro yang mengandung karbohidrat.

Namun persoalannya, hampir 50 persen penduduk Indonesia yang kekurangan sayuran, buah-buahan, pangan hewani, dan kacang-kacangan.

”Kualitas konsumsi pangan kita belum baik. Penelitian menunjukkan 1 dari 2 penduduk Indonesia tidak mampu membeli pangan hewani, buah, dan sayuran, yang mengandung zat gizi mikro. Mereka ini mengalami kelaparan tersembunyi,” tutur Drajat Martianto.

Doktor lulusan University of Phillippines itu menyatakan, disebut kelaparan tersembunyi karena sering kali tanda-tandanya tidak tampak, tapi sesungguhnya dampaknya sangat besar.

”Zat gizi mikro telah terbukti sebagai unsur gizi penting untuk peningkatan produktivitas kerja, kecerdasan, dan imunitas,” ujar Drajat Martianto.

Secara nasional, Indonesia mengalami kerugian lebih dari 50 triliun rupiah dari rendahnya produktivitas kerja akibat Anemia Gizi Besi (AGB). Angka itu belum termasuk biaya layanan kesehatan akibat defisiensi gizi mikro yang parah dan masalah-masalah gizi yang lain.

”Penganekaragaman pangan, suplementasi, dan fortifikasi pangan disertai dengan higiene dan sanitasi lingkungan merupakan solusi untuk mengatasi masalah kurang zat gizi mikro. Fortifikasi atau penambahan zat gizi tertentu pada pangan telah terbukti efektif dalam menurunkan kelaparan tersembunyi, sekaligus sangat cost-effective,” terang Drajat Martianto.

Baca Juga : Pemerintah Perkuat Stok Beras Nasional dan Pastikan Semua Bahan Pangan Tersedia Hingga Akhir Tahun 2022

Menurut dia, biaya fortifikasi pangan untuk menanggulangi kurang iodium, vitamin A dan zat besi di berbagai negara umumnya kurang dari 0,5 persen harga produknya, tanpa biaya tambahan untuk pendistribusian hingga sampai ke konsumen.

”Mengingat perannya terhadap produktivitas kerja dan pendapatan, program fortifikasi pangan juga dilihat sebagai bagian dari program pengentasan kemiskinan,” ucap Drajat Martianto. (jpg)

Editor : Yosep