25 radar bogor

Ketua Fraksi PKS DPRD Kabupaten Bogor Ungkap Bedanya Kenaikan Harga BBM Jaman SBY dan Jokowi

Sejumlah kendaraan mengisi bahan bakar di SPBU Jalan Raya, Bojonggede, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Minggu (4/9/2022). Pemerintah resmi naikan harga bahan bakar minyak (BBM) mulai dari Pertalite, Solar, dan Pertamax. Harga terbaru BBM bersubsidi dan non-subsidi itu mulai berlaku pada Sabtu (3/9/2022) pukul 14.30, serta gunakan aplikasi My Pertamina untuk mengawasi penggunaan BBM subsidi. foto : Hendi Novian / Radar Bogor

CIBINONG-RADAR BOGOR, Ketua Fraksi PKS DPRD Kabupaten Bogor, Fikri Hudi Oktiarwan mengatakan, kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) saat ini berbeda pada saat di jaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Meski sama-sama dalam kondisi krisis ekonomi internasional, namun kenaikan BBM di masa Presiden Joko Widodo ini dalam kondisi Windfall atau kenaikan penerimaan negara.

“Presiden dalam pidato nota pengantar APBN 16 Agustus kemarin dengan sangat percaya diri menyampaikan di tengah-tengah negara lain mengalami resesi, kita tetap pertumbuhannya di atas 5 persen, ada penambahan pendapatan sampai 500 triliun, karena ada kenaikan dari produk-produk lain,” ujar Fikri Hudi Oktiarwan.

Baca juga: Harga BBM Naik Tak Pengaruhi Wisatawan Puncak, PHRI : Okupansi Hotel Stabil!

Menurutnya, Indonesia dewasa ini memang bukan sebagai Net Eksportir untuk komoditi minyak, namun untuk produk lain seperti batu bara, gas, CPO (Crude Palm Oil), Indonesia adalah salah satu negara eksportir terbesar yang mendapat keuntungan besar dari sana.

Itulah kata Fikri, yang dipertanyakan oleh Fraksi PKS di DPR RI. Kenapa pemerintah enggan mengambil kebijakan politik dengan mengalokasikan sebagian keuntungan yang diterima dari komoditi lain untuk subsidi BBM sehingga tidak perlu ada kenaikan harga. Apalagi kondisi semua lini yang masih recovery pasca krisis pandemi Covid-19.

“Ada sesuatu kebijakan pemerintah pusat yang kontradiktif, di satu sisi mengumumkan ekonomi kita tumbuh di atas 5 persen, perdagangan kita mendapatkan surplus, tapi di sisi lain pemerintah tidak mau mengalokasikan untuk menambah subsidi BBM,” ucapnya keheranan.

Sehingga, lanjut Fikri, di tengah pertumbuhan ekonomi yang tengah surplus ini, hanya dinikmati oleh golongan ekonomi yang kuat seperti pemilik pabrik, tambang batu bara, kebun CPO, namun masyarakat kecil seperti buruh yang pendapatannya mungkin tidak naik, namun harus tercekik harga kebutuhan yang justru naik.

“Itu lah yang berbeda dengan situasi di jaman SBY, artinya pemerintah pusat sebenarnya punya kemampuan untuk menaikan subsidi BBM, pertanyaannya kenapa tidak mau, kemudian lebih memilih mengalokasikan surplus ini untuk menambal kereta cepat, menambal kebutuhan pembangunan IKN, ini yang kita pertanyakan, sekarang lebih penting mana situasinya,” tegasnya.

Hal itu juga yang mendasari PKS menolak kenaikan harga BBM saat ini. Padahal, hanya tinggal masalah kemauan politik, pemerintah mengalokasikan untuk menambal kekurangan subsidi BBM.

“Kalau tidak salah kurangnya hanya sekitar 50-60 triliun untuk sampai akhir tahun 2022 ini, terhadap kebutuhan BBM subsidi, sementara windfall kalau tidak salah sampai 500 triliun, artinya ambil 10 persen dari sana, tambal dulu untuk subsidi BBM sampai akhir tahun, syukur-syukur akhir tahun harga minyak turun,” tandas Fikri.(cok)

Editor: Rany