25 radar bogor

Ekspedisi Gerakan Anak Negeri Tana Toraja Edisi Kajang (2) :  Satu Pohon Rp45 Juta

Ekspedisi
CEO Radar Bogor Group, Hazairin Sitepu mengenakan passapu (tutup kepala/ikat kepala) sebelum bertemu Amma Toa.

Oleh Hazairin Sitepu

AMMA Toa setiap saat mengenakan pakaian serba hitam. Dia lebih banyak berada dalam rumahnya. Memegang teguh prinsip dan hukum adat. Tidak banyak orang yang bisa bertemu tokoh sentral dan pemimpin tertinggi adat Kajang ini.

Baca Juga : Ekspedisi Gerakan Anak Negeri Edisi Tana Toraja (1) : Semua Rumah Menghadap Kiblat

Cerita tentang kharisma Amma Toa memang sudah lama saya dengar. Ketika masih di kampus IKIP Negeri Ujungpandang antara tahun 1984-1999, saya punya beberapa teman dari Bulukumba. Juga teman-teman dari suku Kajang.

Saya dalam perjalanan dari gerbang (baca edisi 1) sempat berfikir,  seperti apa figur Amma Toa itu. Bagaimana  kehidupan tokoh berusia 80 tahun itu. Apakah ketika bertemu nanti dia dalam keadaan terbaring di tempat tidurnya? Berselimut sarung hitam?

“Ini rumah Amma Toa. Silakan naik,” kata Labbiriyah Ri Kajang Andi Rahmat Sahib. Andi Rahmat adalah juga Camat Kajang. Dia dan beberapa pejabat adat memang memandu saya dan rombongan selama berada di Tana Toa.

Saya pun melangkahkan kaki ke anak tangga rumah. Lalu masuk ke ruang tamu yang luas. Kelihatan sepi. Saya diarahkan menuju pojok Selatan ruang tamu. Agak gelap memang sehingga tidak melihat dengan jelas apa saja yang ada dalam ruangan itu.

Pelan-pelan terus menuju ke pojok ruangan. Ternyata di pojok Selatan ruang tamu itu duduk seorang lelaki berpakaian serba hitam. Juga berikat kepala hitam. “Ini Amma,” kata Andi Rahmat.  Setengah kaget. Saya pun tertegun.

Saya memperhatikan Amma Toa yang sedang duduk persis di pojok ruangan itu. Dengan seksama. Agak tidak percaya.  Dalam pikiran saya, begitu tiba di ruang tamu, duduk sebentar menunggu Amma Toa yang sedang berada dalam kamarnya. Nanti setelah diberitahu bahwa tamu sudah datang, barulah Amma keluar.

Ternyata Amma Toa sudah menunggu kedatangan saya dan rombongan di ruang tamu rumahnya itu. “Mae ki Nak. Mani-mani ki mae. Kunnu ki accidong Nak,” kata Amma Toa dalam bahasa Konjo. Artinya, “Ayo dekat ke sini Nak. Silakan duduk.”  Saya pun duduk di samping Amma Toa. Berdampingan dengan pemimpin tertinggi adat Kajang itu.

Paling pojok, Amma duduk bersila menghadap ke Utara. Saya menghadap agak ke Barat. Saya mencoba memperhatikan wajahnya. Memperhatikan perawakannya. Memperhatikan matanya.  Karena agak gelap atau mata saya yang tidak terang,  tidak bisa melihat secara utuh.

Ada semacam bantal dan guling berwarna hitam di sebelah kiri bagian belakang Amma. Lalu ada semacam guci kecil dari besi di sebelah kanan Amma. Saya melihat ada seperti sirih-pinang, badik (keris) kecil dalam guci itu.

Apakah di pojok itu juga tempat tidur Amma? Ataukah hanya tempat istirahat sambil menunggu tamu?  Itu hanya tempat ketika Amma menunggu tamu. Amma memiliki kamar pribadi di bagian belakang. Ada dua kamar di situ: satu untuk Amma dan satunya lagi buat anggota keluarga.

Rumah Amma Toa terbagi dua bagian besar. Ruang tamu dan dapur di bagian depan dan kamar di bagian belakang. Ruang depan terbuka bagi siapa saja yang datang. Bisa melihat seisi ruangan.  Sedangkan kamar, Amma menyebutnya sebagai ruangan rahasia.

Amma lalu memulai berbicara. “Terima kasih, Nak. Selamat datang di kawasan adat Tana Toa,”  kata Amma membuka pembicaraan. Sangat bersemangat. Suaranya lantang. Tokoh ini sangat menguasai hal paling kercil sekali pun dari penerapan hukum adat di Kajang.

Amma lalu menjelaskan mengapa adat Kajang menempatkan dapur menyatu dengan ruang  tamu. Mengapa pula dapur berada paling depan dari ruang tamu. “Dapur itu lambang kemakmuran. Makanan, minuman, datangnya dari dapur,” Amma menjelaskan.

Dapur di ruang tamu paling depan, kata Amma, karena yang memasak di Kajang itu perempuan.  Bila seorang anak perempuan sudah bisa memasak, berarti anak itu sudah dewasa. Dia sudah bisa berkeluarga.

Cukup panjang Amma menjelaskan soal dapur. Menurut Amma, bila ada seorang pemuda yang datang bertamu ketika seorang gadis sedang memasak, maka pemuda itu dapat melihat. “Mukanya, warna kulitnya. Dia bisa melihat dengan jelas,” kata Amma.

Sama seperti di Baduy, adat Tana Toa tidak mengenal pacaran. Perkawinan terjadi setelah dijodohkan. Bila kedapatan berpacaran, maka dihukum. Tidak pandang bulu.

Cukup berat hukuman denda berpacaran di Tana Toa. “Siapa laki-laki dan perempuaan yang bukan muhrim kedapatan berduaan, maka dihukum membayar dendan dua belas real.” kira-kira begitu dalil hukum adatnya.

Kurs atau nilai tukar real di Kajang sudah ditentukan. Tidak mengikuti nilai pasar, atau perkembangan nilai kurs valutan asing. Satu Real setara dengan Rp1.000.000.  Jadi siapa pun kedapatan berpacaran, wajib membayar denda sebesar Rp12 juta. “Ini adat,” kata Amma.

Hukuman denda tidak hanya berlaku bagi yang berpacaran. Tetapi menebang pohon, mengambil rotan, menangkap udang di wilayah adat Tana Toa, juga dihukum.

Hukuman denda bagi penebang satu pohon adalah 45 real ditambah satu ekor kerbau. Artinya, seseorang menebang satu pohon di wilayah adat Tana Toa tanpa seizin Amma, maka ia dikenai hukum membayar denda sebesar Rp45juta tambah satu ekor kerbau.

Hukuman denda terberat adalah ‘kecelakaan’ akibat berpacaran. Seseorang laki-laki yang menghamili seorang perempuan di luar nikah, maka dihukum 120 real. Ia wajib membayar denda Rp120 juta.

Jika dalam penerapan hukum formal (hukum negara) kita mengenal polisi, jaksa dan hakim. Juga advokat atau penasehat hukum, dalam hukum adat Kajang tidak mengenal itu. Semua keputusan di tangan Amma Toa setelah mendapat pertimbangan pejabat adat tertentu.

Adat Kajang menempatkan kejujuran pada posisi paling tinggi. Menurut Amma Toa, kejujuran dapat menghindari manusia dari berbuat kejahatan. Barang siapa tidak berlaku jujur,  maka dia sedang berbuat keburukan.

Kedua, kesopanan. Ini mencakup banyak sekali aspek. Termasuk soal bereduaan dengan yang bukan muhrim itu. Hal yang paling kecil dari kesopanan, menurut Amma Toa, adalah permisi ketika berjalan di depan orang.

Dua hal itu yang mendasari semua penerapan hukum adat di Kajang. Sangat simpel. Dan Amma Toa adalah pengadil tertinggi dari penerapan hukum adat di Tana Toa..

Saya merasa sangat terhormat bisa bertemu Amma Toa. Bisa duduk berdampingan. Bisa mendapat begitu banyak ilmu dan pengetahuan. Merasa sangat terhormat karena Amma Toa sudah menunggu di pojok ruang tamu rumahnya sebelum saya tiba.  (*)

Editor : Yosep