25 radar bogor

Ekspedisi Gerakan Anak Negeri Edisi Tana Toraja (1) : Semua Rumah Menghadap Kiblat

Ekspedisi Tana Toraja
: CEO Radar Bogor Grup, Hazairin Sitepu bersama putri sulung Amma Toa Jaja Ramlah (paling kanan), Nurhaedah (paling kiri) dan Salma (tengah).

Oleh, Hazairin Sitepu

BERTEMU Amma Toa, itu rencana saya sudah sejak lama. Dan Saya akhirnya bisa duduk di samping pemimpin adat tertinggi suku Kajang itu hampir dua jam. Saya seperti mendapatkan kuliah hukum adat  dari seorang profesor hukum.

Baca Juga : Ekspedisi Gerakan Anak Negeri Edisi Baduy (3) : Melewati Lima Jembatan Bambu

Perjalanan dari Tanah Beru ke Tana Toa kira-kira satu setengah jam. Supaya bisa lama dengan Amma Toa, saya harus berangkat lebih awal. Karena itu segala urusan di Tanah Beru dipercepat. Termasuk urusan dengan kontraktor kapal phinisi terbesar.

Saya memang dua hari berada di Bulukumba setelah sebelumnya di Tana Toraja. Bulukumba berada  153 kilometer arah Timur kota Makassar, ibukota Sulawesi Selatan.  Di kabupaten ini ada Tanjung Bira dengan pasir putihnya  yang indah. Ada industri kapal phinisi terbesar di dunia di Tanah Beru. Dan ada Kajang, suku yang memegang teguh hukum adat.

Tiba di depan gerbang Barat Tana Toa kira-kira pukul 12:00. Saya dan rombongan disambut dengan upacara adat. Ada pula tari-tarian. Semua penyambut mengenakan busana berwarna hitam. Mulai dari celana, sarung, baju, ikat kepala, serba hitam, tanpa mengenakan alas kaki.

Setelah upacara penyambutaan, semua rombongan mengganti pakaian dengan warna hitam supaya bisa masuk ke wilayah Tana Toa. Itu syarat mutlak bagi setiap tamu yang hendak masuk wilayah adat itu. Aapa lagi saya dan rombongan hendak bertemu Amma Toa, pemimpin adat tertinggi suku Kajang.

Saya dan rombongan Ekspedisi Gerakan Anak Negeri kebetulan sejak pagi di hotel sudah bercelana dan berbaju hitam. Jadi kami tinggal mengenakan ikat kepala hitam saja yang memang sudah disediakan di rumah depan gerbang. Sepatu di kaki kami, lalu dilepas.

Sedangkan rombongan perempuan, yang sudah berpakaian hitam, tinggal menambah sarung hitam. Sarung hitam itu kemudian diselimutkan melapisi celana dan baju. Lalu,  melepaskan alas kaki.

Siapa pun yang memasuki wilayah adat Tana Toa memang wajib melepas alas kaki. Termasuk anak Amma Toa sekali pun.

Dalam hal alas kaki, tidak ada perbedaan perlakuan antara suku Kajang yang tinggal di Tana Toa dengan tamu yang datang dari luar wilayaha adat itu. Apa pun pangkat dan jabatannya.

Berbeda dengan di Baduy. Semua penduduk wilayah adat itu memang dilarang mengenakan alas kaki: sepatu atau pun  sandal. Siapa pun orang Baduy yang melanggar, dijatuhi dihukum berat: diusir dari wilayah Baduy. Tetapi hukum itu tidak mengikat tamu dari luar Baduy.  Tamu bebas mengenakan alas kaki, sepatu atau pun sandal.

Setelah semua urusan busana dan alas kaki selesai, saya dan rombongan lalu masuk ke dalam wilayah adat. Melalui gerbang Barat.

“Salamaki Antama Ri Lalang Embaya. Rambang Seppanna I Amma,” itu kalimat yang tertulis di atas gerbang. Artinya, “Selamat datang di kawasan adat Amma  Toa.” Lalu ada tulisan Lontara di bawa kalimat bahasa Konjo itu.

Masyarakat adat suku Kajang memang berbahasa Konjo. Bahasa ini berbeda dari bahasa Bugis, Mandar, Toraja, Duri, tetapi dekat ke bahasa Makassar. Dialeknya mirip bahasa Makassar.  Sulawesi Selatan memang memiliki banyak suku yang bahasanya berbeda-beda.

Tiga tokoh Kajang memandu saya dan rombongan masuk ke wilayah adat Tana Toa. Karaeng Kajang yang juga bergelar Labbiriya Ri Kajang Andi Rahmat Sahib , Galla Pantama Syarifuddin  dan Jaja Ramlah,  putri sulung Amma Toa.

Kurang-lebih satu kilometer dari gerbang. Melalui jalan bebatuan yang lebarnya kira-kira dua setengah meter. Rasanya seperti berjalan di atas batu karang yang jaraknya 3km. Agak cadas memang batu-batu di atas jalan menuju rumah Amma Toa itu.

Saya sering berjalan di atas batu-batu yang cadasnya seperti itu, bahkan lebih cadas,  ketika waktu kecil di kampung. Ketika hendak memancing atau mencari siput di kala air surut.

Melewati satu sungai kecil. Tampak ada dua tempat mandi di tepi sungai itu. Satu buat perempuan dan satunya lagi buat laki-laki.  Tempat mandi perempuan berada dekat dari jalan yang saya lalui, sementara tempat mandi laki-laki agak ke hulu. Keduanya terbuat dari batu-batu yang disusun rapi Tidak ada satu gambar pun foto atau pun video yang dapat dibuat di dalam wilayah Amma Toa itu.  Karena handphone, kamera, dilarang masuk ke wilayah adat itu. Kalau pun harus bawa, semua dalam kondisi off. Tetapi saya  melihat ada pekuburan orang Kajang di sebelah kanan jalan.

Kira-kira 30 menit berjalan kaki dari gerbang saya dan rombongan tiba di depan rumah Amma Toa. Rumah pemimpin tertinggi adat suku Kajang.  Rumah panggung yang menghadap ke Barat. Rumah yang di ruang tamunya ada dapur.

Rumah Amma Toa cukup besar. Terbagi dua bagian: ruang tamu dan kamar. Dapur menyatu dengan ruang tamu. Letaknya paling depan sebelah kiri (dari luar) pintu. Kamar berada di sebelah belakang.  Rumah ini bertiang kayu, berdinding kayu, beratap rumbia. Loteng dan penyangga atap terbuat dari kayu dan bambu.

Rumah-rumah adat di Bali pun dapurnya berada di bagian depan. Saya pernah datang ke Penglipuran di Bali, desa terbersih di dunia. Saya masuk ke dua rumah di situ. Begitu melewati gerbang rumah, bertemu satu bangunan kecil. Itulah dapur. Setelah itu baru bangunan rumah induk.

Rumah-rumah masyarakat adat di Baduy, dapurnya juga menyatu dengan ruang tamu atau ruang keluarga.

Semua rumah masyarakat adat Kajang di Tana Toa menghadap ke Barat. Amma Toa bilang “Menghadap kiblat di Makkah.” Ini berbeda dengan rumah-rumah adat di Baduy, semuanya menghadap ke Utara dan Selatan.

Mengapa rumah-rumah adat Kajang di Tana Toa menempatkan dapur di bagian depan, menyatu dengan ruang tamu? Apa kata Amma Toa? Bagaimana penerapan hukum adat di Kajang? Saya ceritakan di bagian kedua tulisan ini. (*)

Editor : Yosep