25 radar bogor

Demo Gugat

ADA seorang peneliti yang tidak mau ikut “gugat-menggugat”. Ia selalu mengikuti Disway. Termasuk edisi Mikra Gugat Kamis lalu.

Baca Juga : Bukan Gugat

Ia juga tidak mau hanya berwacana. Setelah merasa ”tidak dipakai” ia pilih langsung berbuat sendiri: mendirikan lembaga penelitian sendiri. Mandiri. Tidak terikat lembaga apa pun: Prof. Dr. Chairul Anwar Nidom.

Nama lembaga penelitian yang ia dirikan: Profesor Nidom Foundation (PNF). Lokasinya di kampung halamannya, Surabaya.

“Alhamdulillah sekarang sudah berumur lima tahun,” ujar Prof Nidom.

Peneliti muda banyak bergabung di PNF. Kini staf penelitinya sudah 19 orang. Ada yang sudah S2 dan S3. Sudah pula mampu bekerja sama dengan luar negeri: Swiss, Jepang, dan Amerika  Serikat.

“Memang belum banyak yang kami hasilkan, tapi Insya Allah dengan  semangat peneliti milenial akan bisa maju,” ujar Prof Nidom. Salah satu peneliti di PNF akhir bulan ini  ujian terbuka S3.

Hasil penelitiannya mengejutkan: Virus Covid bisa hidup dalam ikan zebra.

Ups… Itu penemuan yang sangat penting. Baru. Orisinal.

Ikan zebra adalah ikan air tawar yang suka dipelihara di akuarium. Biasa juga disebut ikan Zebra Danio. Itu ikan Asia Selatan atau ikan tropis. Masih bisa hidup di iklim subtropis.

Tapi, apa guna penelitian seperti itu? Bergunakah bagi masyarakat?

“Sangat penting. Kita bisa menyiapkan seed vaksin Covid 19 melalui pengembangan ikan zebra,” ujar Prof Nidom. “Lembaga kami akan mengembangkannya,” tegasnya.

Penemuan ini lebih relevan lagi untuk Indonesia. “Ini akan menjadi vaksin yang paling halal. Dari ikan air tawar,” ujar Prof Nidom.

Prof Nidom adalah dokter hewan lulusan Universitas Airlangga Surabaya. Doktornya di Tokyo dan Airlangga. Guru besarnya juga di Airlangga. Ia juga dosen di situ. Awalnya. Lalu terjadilah ketidakcocokan antara rektor Unair di masa nan lalu dengan Nidom.

Nidom pun mufaraqah.

Nama Nidom berkibar di masa wabah flu burung. Disertasi doktornya memang tentang flu burung. Ia adalah doktor pertama di bidang itu.

Mengapa dipilih ikan zebra?

“Sudah ada literatur penggunaan ikan zebra sebagai kelinci penelitian,” ujar Nidom. Yakni di Swiss. Di bidang pengobatan kanker.

Sel kanker dari pasien dimasukkan ke ikan zebra. Diteliti. Ikan itu diobati dengan berbagai pilihan obat kanker. Yang lama maupun temuan baru. Dilihat mana yang punya pengaruh.

Maka ketika pandemi Covid melanda Indonesia Prof Nidom terpikir ikan zebra. “Carinya sulit. Terutama yang memenuhi syarat untuk penelitian,” katanya. “Kami harus menunggu mereka kawin dulu dan beranak. Lebih tiga bulan,” tambahnya.

PNF lantas membuat tiga kelompok penelitian. Masing-masing kelompok 15 ikan zebra. Kelompok pertama: yang insangnya ditetesi virus Covid-19. Kelompok kedua: yang perutnya dimasuki virus lewat suntikan. Kelompok ketiga: yang airnya saja yang diberi virus.

Di kelompok terakhir pasti: airnya menjadi positif. Hasil PCR terhadap air seperti itu. Namun di kelompok satu maupun dua sama: airnya pun positif. Dan ikan-ikan di situ positif Covid.

Berarti, kata Nidom ikan zebra di aquarium juga bisa menularkan Covid. PNF belum melakukan penelitian ke ikan lainnya.

Ia pernah terpikir melakukan penelitian di ikan hiu. Yakni untuk penyembuhan HIV.

Waktu itu Nidom akan mencoba menularkan HIV ke hiu. Lalu akan dicoba disembuhkan lewat pengembangan sel dendritic. Seperti yang belakangan dilakukan Prof Dr Terawan lewat Vaksin Nusantaranya.

“Saya batalkan karena bisa terkena pidana,” ujar Nidom. “Kami terbentur UU satwa yang harus dilindungi,” katanya.

Seperti itu pun tidak bisa berjalan. Apalagi kalau harus menjadikan babi sebagai donor transplantasi jantung. Yang Anda masih ingat: berhasil dilakukan di Maryland, USA, beberapa bulan lalu. Pasiennya baru meninggal dua bulan setelah itu –sedang diteliti mengapa meninggal.

Juni kemarin transplantasi serupa berhasil dilakukan lagi. Sekaligus untuk dua orang. Kali ini di New York, USA. Di New York University. Yang melakukan: Dr Nader Moazami. Sampai tulisan ini dibuat belum ada tanda-tanda gagal.

Metodenya sama: jantung babi itu dimodifikasi. Yakni di peternakan khusus babi untuk penelitian. Gen tertentunya dibuang. Misalnya gen yang membuat jantung tumbuh membesar, melebihi rongga jantung di dada. Juga delapan modifikasi lainnya.

Nidom menyayangkan Prof Mikra di satu hal: mengapa tidak berani mengungkapkan soal penghayatan agama sebagai salah satu penyebab terhambatnya penelitian.

“Mestinya ungkapkan saja. Meskipun sensitif,” katanya.

Tapi itu memang benar-benar sensitif.

Lalu soal minimnya dana Riset. Nidom mengakui. Setuju. Tapi peneliti yang sungguh-sungguh tidak boleh menyerah.

Nidom pernah mengalami sendiri. Saya sampai merinding membaca tulisannya.

Suatu saat ia terbentur persoalan: tidak punya uang. Padahal harus membeli beberapa alat penelitian. Ia tidak menyerah. Ia luncurkan surat ke satu lembaga di Jepang. Ia menawarkan diri untuk mengajar di sana. Gajinya akan digunakan untuk membeli alat penelitian.

Permohonan Nidom dikabulkan. Ia pun mengajar di Jepang selama dua minggu. Agar menghemat, ia membawa mie instan dari Indonesia. Tiap hari ia makan mie instan. Setelah dua minggu Nidom pulang bisa membawa uang sekitar Rp 100 juta. Ia beli peralatan yang dibutuhkan. Ia puas. Penelitiannya bisa berjalan.

Membaca kisah itu mestinya para peneliti yang demo. Tapi Nidom demo dengan caranya sendiri. (Dahlan Iskan)

Editor : Yosep