25 radar bogor

Ekspedisi Gerakan Anak Negeri Tana Toraja (3) : Menelusuri Desa Bebas Asap Rokok Pertama di Indonesia

Gerakan Anak Negeri
CEO Radar Bogor Group Hazairin Sitepu berada di gerbang Desa Bone-Bone Kecamatan Barakka Kabupaten Enrekang.

EKSPEDISI Gerakan Anak Negeri di setiap perjalanan, menemukan berbagai inspirasi, perjuangan, di setiap lokasi yang disinggahi. Tak terkecuali saat di Kabupaten Enrekang.

Menelusuri desa bebas asap rokok yang pertama di Indonesia. Bukan sekadar slogan, seperti umumnya Kawasan Bebas Rokok. Ya, Desa Bone-Bone Kecamatan Barakka Kabupaten Enrekang, nyata memberlakukan aturan larangan merokok dalam satu desa.

Oleh : Nihrawati AS, Sulsel

Desa Bone-Bone adalah wilayah paling ujung Kecamatan Barakka. Terletak di kaki Gunung Latimojong, desa yang berjarak sekitar 350 km dari Kota Makassar Sulawesi Selatan ini, kerap menerima kunjungan dari berbagai negara.

Baca Juga : Ekspedisi Gerakan Anak Negeri Tana Toraja (1) : Menelusuri dan Menikmati Beras Langka dan Termahal di Dunia

Jauh-jauh mereka ke desa yang berjarak 18 km dari kantor kecamatan, bukan untuk menikmati keindahan alamnya yang luar biasa indah menyegarkan mata atau menikmati sejuknya udara.

Para tamu dari berbagai negara seperti Perancis, Jerman, Jepang, Inggris dan Australia ini datang untuk melakukan penelitian, belajar tentang keberhasilan desa tersebut menerapkan bebas asap rokok sejak 2009. Ini adalah desa pertama yang menerapkan desa bebas asap rokok di Indonesia.

Kepala Desa Bone-Bone. M Idris bahkan sudah diundang ke beberapa negara untuk memaparkan desa bebas asap rokok tersebut. “Saya sudah pernah diundang ke China, Hongkong, Malaysia,” tambah Idris yang sudah dua periode menjabat.

Untuk mencapai Desa Bone-Bone, melalui jalan yang sempit dengan jurang di beberapa titik. Butuh pemandu lokal untuk tiba di lokasi. Jauh dari hiruk pikuk dan kebisingan. Namun siapa sangka, desa yang berada di ketinggian 1.230 meter di atas permukaan laut (MDPL) ini memiliki peraturan yang resmi berlaku sejak 2009.

Idris adalah pelopor dari gerakan bebas asap rokok di daerah berpenduduk 738 orang itu. “Berlaku sejak 2009. Sebelumnya ada sosialisasi selama dua tahun yakni 2007-2008. Saat sosialisasi, hukumannya sebatas mengumumkan secara langsung ke masyarakat melalui speaker masjid bahwa dirinya kedapatan merokok,” jelas Idris.

Laki-laki berperawakan kurus ini memaparkan, setelah 2009 barulah hukuman tegas diberlakukan. berupa sanksi sosial. “Pelanggar harus memperbaiki jalan rusak, membersihkan masjid atau fasilitas umum lainnya yang ditentukan,” jelas pria yang bergelar sarjana ini.

Sanksi bagi pelanggar tidak pilih kasih. Siapapun akan ditindak jika melanggar. Tak terkecuali pejabat. Idris mengisahkan pada tahun 2011, Asisten I, Asisten III dan Kasatpol PP Pemkab Enrekang ketika itu harus membayar denda dan permohonan maaf kepada masyarakat karena melanggar aturan.

“Kami laporkan ke pejabat di kabupaten bahwa ada PNS yang melanggar. Akhirnya Asisten 1, Asisten III dan Kasatpol PP bayar denda total Rp3,5 juta. Denda sesuai golongan mereka,” imbuhnya.

Lalu kenapa sanksi sosial yang diberlakukan? Nyaris diterapkan hukuman bayar denda. Tetapi, demi tegaknya keadilan, maka sanksi sosial lebih tepat. “Kalau bayar denda uang, nanti yang kaya atau punya uang gampang melanggar, tinggal bayar,” terang Bapak dari 11 anak ini.

Bagi pendatang yang memasuki wilayah yang pernah meraih sebagai Desa Terbaik Nasional Tahun 2011 ini, jangan coba-coba untuk merokok. Sebab akan diminta untuk kembali ke gerbang desa membaca peraturan yang ada.

“Jika ada orang luar masuk ke desa ini mau merokok, biasanya disuruh balik dulu ke gerbang. Supaya baca peraturan yang ada. Atau kalau mau merokok, silakan keluar desa dulu menikmati asap rokoknya,” tegas Idris.

Idris sudah dua periode memimpin wilayah itu. Meski sempat diselingi dengan pengunduran dirinya kala daftar jadi calon anggota legislatif, namun semangat Idris untuk memajukan daerahnya terus digelorakan. “Itu sudah cita-cita saya sejak menjadi kepala dusun,” ujarnya.

Sejak tahun 2000, Idris sudah melontarkan gagasan agar desa tersebut bebas dari asap rokok. Berawal ketika melihat sikap masyarakat sejak anak-anak kecil sudah disosialisasikan untuk mengisap rokok. “Ketika ada hajatan, rokok jadi alat untuk berbincang-bincang. Rokok disodorkan untuk dinikmati. Padahal ada anak-anak. Kenapa bukan kue dan sejenisnya yang ditawarkan,” ujarnya gereget kala mengingat zaman dahulu.

Larangan merokok diberlakukan secara keseluruhan. Segala yang berhubungan dengan rokok ditiadakan, termasuk tidak ada pedagang yang menjual rokok. Gerbang masuk desa sudah dicantumkan larangan merokok, dibuat tugu dengan tulisan “MATIKAN ROKOK ANDA SEKARANG SEBELUM ROKOK MEMATIKAN ANDA DAN ORANG DI SEKITAR ANDA”.

Keberhasilan desa itu bebas dari asap nikotin, karena melibatkan semua pihak. Aturan itu digodog bersama para pemuka agama, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, para pendidik, tenaga kesehatan. Dalam penerapannya pun demikian. Pemuda bahkan anak-anak dilibatkan.

“Salah satu pengawasnya adalah anak-anak. Anak-anak itu tidak berbohong. orangtuanya sekalipun akan dilaporkan ketika merokok,” ujarnya.

Tantangan yang dihadapi Idris adalah bagi perantau asal Bone-Bone. Ketika pulang kampung, bagi perokok biasanya membawa serta rokoknya dan langsung merokok saat datang. “Nah, sedini mungkin diingatkan jika ada yang balik kampung supaya merokok tidak di kawasan desa,” ujar Idris.

Hasil nyata dari desa bebas asap rokok adalah meningkatnya kesehatan warga.“ Sejak perdes (peraturan desa) diberlakukan, pasien sakit batuk berkurang. Kalaupun ada batuk itu karena cuaca,” ujar Idris.

Baca Juga : Ekspedisi Gerakan Anak Negeri Tana Toraja (2) : Dari Olahan Susu Campur Nasi hingga Makan Ikan Mentah, Pacco dan Lawa Sashimi Ala Sulsel

Di desa itu, tidak hanya larangan merokok tetapi juga larangan menjual ayam broiler. Idris ingin menjaga kesehatan masyarakat dengan hanya memakan ayam kampung. “Itu juga buat meningkatkan perekonomian, karena ayam kampung lebih mahal harganya,” ujar mantan caleg ini.

Selain itu, para pedagang juga dilarang menjual makanan yang mengandung zat pewarna.
Peraturan lain yang mengikat, wajib menanam pohon bagi calon pengantin. “Calon pengantin tidak diberi surat pengantar jika tidak menanam satu pohon,” jelasnya.

CEO Radar Bogor Group Hazairin Sitepu sangat mengapresiasi kebijakan desa tersebut. “Semoga ini bisa menginspirasi desa-desa atau kelurahan yang ada di kota-kota lain. Pemprov Sulsel harusnya menjadikan Desa Bone-Bone sebagai Desa Internasional,” pungkasnya. (*)

Editor : Yosep