25 radar bogor

Darurat Baca Buku Lebih Krusial Di Banding Darurat Buku


JAKARTA-RADAR BOGOR, Penguasaan literasi yang mumpuni akan membantu manusia secara personal dan komunal menghadapi dunia yang kian mengglobal. Di sisi lain, pemerintah terus berupaya untuk membangun kegemaran membaca dan literasi. Literasi merupakan aspek fundamental karena menjadi prasyarat terwujudnya masyarakat berpengetahuan dan berkarakter.

Peningkatan literasi mencakup peningkatan budaya kegemaran membaca. “Namun, tantangan terbesar dalam menumbuhkan kegemaran membaca adalah disparitas ketersediaan bahan bacaan dan tingkatan kegemaran membaca,” ungkap Deputi Bidang Pengembangan Sumber Daya Perpustakaan Perpusnas Deni Kurniadi pada Webinar Duta Baca Indonesia “Indonesia Darurat Buku”, pada Rabu, (25/05/2022).

Miliki Berbagai Inovasi Baru, Perpusnas Beri Pelayanan Prima Bagi Pecinta Literasi

Deni mencatat pada 2022, karya cetak karya rekam (KCKR) yang terhimpun Perpusnas mencapai 2.939.008 eksemplar. Jika mengacu rasio yang ditetapkan UNESCO dimana 1 : 3 buku baru tiap tahun, kondisi yang terjadi malah sebaliknya, 1 buku ditunggui oleh 90 orang.

Beberapa fakta yang dipaparkan Perpusnas diamini oleh Duta Baca Indonesia (DBI) Gol A Gong. Pada kegiatan Safari Literasi DBI, ia merangkum dua hal penting yang ditemui di lapangan. Kondisi disparitas ketersediaan buku yang memang masih terjadi. Memang di beberapa daerah banyak buku yang diterbitkan, namun hal itu dilakukan secara tergesa-gesa. Tidak melalui perencanaan dan penulisan yang terstruktur.

“Meski ini sebenarnya bisa menjadi modal untuk mengatasi kesenjangan buku terhadap penduduk,” terang Gol A Gong.

Di beberapa wilayah di provinsi Bali, secara nyata penduduk tidak tertarik dengan aktivitas menulis. mereka lebih tertarik mengedepankan pariwisata. Padahal, mereka bisa saja menulis soal ulasan destinasi atau pun lokasi penginapan.
Kondisi yang berbeda dijumpai ketika bertandang ke provinsi Nusa Tenggara Barat dimana perpustakaan keliling sudah kehabisan bahan bacaan sehingga anak-anak menjadi bosan. Di tambah koleksi bacaan juga kurang variatif.

Peringati HUT ke-42, Perpusnas Wujudkan Ekosistem Digital Nasional Melalui Transformasi Perpustakaan

Kondisi mengejutkan justru ketika menjejak di provinsi Nusa Tenggara Timur. Masyarakat disana amat antusias mengikuti kelas menulis bahkan sampai dinihari. Minat baca juga tinggi meski kondisi perpustakaan perlu banyak perbaikan.

“Darurat buku bisa diatasi jika kita punya kepedulian bersama dari sisi hulu. Semua harus bergerak,” pesan Gol A Gong.

Mengomentari ketimpangan rasio buku, Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) Arys Hilman mengakui kondisi buku yang dicetak mengalami penurunan tiap tahunnya. Jika sebelumnya satu judul mampu dicetak hingga 5.000 eksemplar, di masa pandemi justru menurun justru eksemplar yang dicetak.

“Di negara dengan literasi tinggi, seperti Finlandia, ketika di masa pandemi justru terjadi peningkatan penjualan buku mencapai 12 persen. Di Amerika Serikat juga mencapai kenaikan penjualan buku 8,2 persen, dan di Inggris 5,5 persen. Artinya, kita harus melihat indeks literasi bukan soal kegemaran membaca,” terang Arys Hilman.

Mengukur indeks literasi paling tidak mencakup empat hal, yakni kecakapan membaca, akses terhadap bahan bacaan, kebiasaan/pembiasan pembudayaan kegemaran membaca, serta nalar kritis dan manfaat terhadap dirinya.
“Darurat buku memang penting, tapi lebih darurat lagi adalah darurat baca buku,” tambah Arys.

Menurut Arys, seharusnya ISBN tidak harus menjadi dewa bagi penerbitan buku. Arys mencontohkan, di Amerika Serikat 42% buku yang terbit tidak dilengkapi ISBN. Bahkan, kanal Google play book dan Amazon pun tidak mensyaratkan.

ISBN harus diposisikan sebagaimana mestinya. Kalau hanya penyusunan laporan pemerintah, laporan Kuliah Kerja Nyata (KKN), prosiding seminar tidak harus ber-ISBN. Karena hal tersebut tidak mewakili jumlah buku

Masyarakat Indonesia memang perlu tambahan jumlah buku. Tapi jangan terjebak disitu. Yang dibutuhkan bukan judul buku, melainkan pada eksemplarnya.

“Sebaiknya. jangan terjebak pada kuantitas dengan ISBN yang banyak,” tambah Arys.
Jika mengacu pada jumlah judul, nasibnya kayak ISBN. Buku yang beredar tidak ada karena diterbitkan sesuai kepentingan. Misal, dicetaknya hanya 5 eksemplar yang dipakai untuk kebutuhan kenaikan pangkat. Akibatnya ilmu tidak sampai. Literasi pun tidak tercapai.

Sementara itu, Direktur Balai Pustaka Achmad Fachrodji mengatakan yang pertama dilakukan adalah meningkatkan kesenangan membaca. Fachrodji mengakui darurat buku harus diperbaiki dengan memperbaiki ekosistem perbukuan nasional. (*/rur)