25 radar bogor

Hal-Hal Penting yang Dilarang Dalam Pernikahan Adat dan Budaya Jawa, dan Dalam Pandangan Kitab Injil

Oleh: Dr. Lasino MTh, MPd

Dosen Tetap STT IKAT Jakarta

INDONESIA adalah negara kepulauan yang luas yang terdiri dari lebih dari 17.000 pulau, memiliki lebih dari 1.340 suku, menurut sensus BPS 2010.

Suku Jawa adalah suku bangsa terbesar di Indonesia, terhitung 41% dari total penduduk dan merupakan wilayah dengan penduduk terpadat.

Jawa terbagi menjadi 5 provinsi dan ada satu kota dengan karakter masyarakat yang memiliki ikatan budaya yang kuat adalah Surakarta atau lebih dikenal dengan sebutan Solo.

Terletak di Provinsi Jawa Tengah dan kota lainnya adalah Yogyakarta yang terletak di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Konon selama berabad-abad, budaya dan kepercayaan yang telah turun temurun sejak dahulu kala perlu dilestarikan dan diapresiasi, terutama dalam peristiwa kehidupan yang diprediksi akan melibatkan nasib buruk dan nasib baik.

Dalam budaya pernikahan, ada tanda bahwa masih banyak yang percaya dan mempertimbangkan ketika mereka memutuskan menikah dan menjadi pasangan hidup.

Masyarakat memahami bahwa ada konsekuensi larangan dalam budaya, khususnya budaya Jawa.

Penulis memaparkan hal-hal sebagai berikut mengenai larangan pernikahan menurut adat serta budaya Jawa.

Larangan Pernikahan menurut adat Jawa

Pertama: Jangan menggelar hajatan apalagi pesta pernikahan di bulan Suro (Muharram).

Siapapun dia, jika dia orang Jawa dan akan mengadakan hajatan, terutama pesta pernikahan, maka satu hal yang harus diperhatikan adalah setiap orang Jawa, siapapun dan pemeluk agama apapun, kelompok masyarakat ini harus menghindari perayaan apapun di bulan itu.

Suro atau yang lebih dikenal dengan Muharram. Bulan yang dianggap keramat bagi sebagian besar masyarakat Jawa ini dipercaya membawa sial atau malapetaka bagi mereka yang tidak mengindahkan larangan-larangan yang telah ada dalam masyarakat Jawa secara turun-temurun.

Konon Nyai Roro Kidul, penguasa Laut Jawa sedang mengadakan hajatan di bulan Suro, maka orang biasa dilarang atau tidak bisa mengadakan pesta/hajatan, atau mereka akan mendapat malapetaka karena mengabaikannya larangan tersebut.

Kedua: jangan menikah jika perhitungan “weton” tidak cocok

Salah satu cara untuk menentukan jodoh adalah berdasarkan perhitungan kecocokan weton.

Dalam budaya Jawa, perhitungan “weton” atau tanggal dan hari sangatlah penting, jangan sampai salah perhitungan, karena bisa merusak kehidupan pernikahan, misalnya jika tidak sesuai dengan weton salah satu calon pasangan.

Sebaliknya jika pasangan tersebut dijodohkan menurut perhitungan weton maka keduanya akan rukun dan akan menjalani kehidupan bersama yang baik.

Jika menurut weton, pasangan tidak cocok dan memaksakan diri untuk menikah, diyakini bencana dan ketidakharmonisan akan datang dalam kehidupan pernikahan mereka.

Tentang weton ini, penulis akan melanjutkan uraiannya pada bab selanjutnya berdasarkan perhitungan dan ramalan pernikahan. 1 dan 1; 1 dan 1 dan 1, 1 dan 3.

Ketiga: Jangan menikah di posisi 1 dan 1; 1 dan 1 dan 1, 1 dan 3

Ada hal-hal yang dilarang jika anak pertama akan menikah dengan anak pertama (siji lan siji).

Jika mereka bersikeras untuk menikah, maka itu akan membawa nasib buruk bagi pasangan masa depan. Diyakini bahwa mereka akan menghadapi bencana atau malapetaka.

Biasanya, bagi keluarga yang menganut kepercayaan dan memegang teguh adat dan budaya Jawa, pilihan itu patut dipertimbangkan.

Logikanya, beban anak pertama akan berat jika orang tuanya terlalu tua atau meninggal, maka anak pertama akan bertanggung jawab atas saudara-saudaranya termasuk seluruh keluarganya.

Lalu ada larangan Siji Jejer Telu (1 dan 1 dan 1), itu menunjuk pada pasangan anak pertama dengan anak pertama dan ditambah salah satu orang tua juga anak pertama.

Jika keadaan perhitungan seperti itu maka lebih baik dihindari. Kalau tidak maka akan mendatangkan sial dan malapetaka terus sehingga pernikahan terancam tidak langgeng.

Juga ada larangan menikah antara siji lan telu (1 dan 3), artinya jika calon pasangan itu anak pertama dengan anak ketiga. Jika tetap dilaksanakan maka sebagian masyarakat yang memegang adat Jawa meyakini bahwa rumahtangga nantinya akan banyak cobaan dan masalah yang akan dihadapi. Mungkin dianggap karakter antara anak pertama dan anak ketiga itu sangat jauh sehingga menimbulkan banyak problem hidup.

Keempat: Jangan melanggar adat pernikahan karena posisi rumah yang salah

Ada hal menarik yang perlu diperhatikan soal posisi rumah pasangan. Jika hal ini tida diperhatikan, akan ada kekurangan dan kebahagiaan dalam pernikahan mereka bahkan orang tua mereka akan segera meninggal.

Perkawinan tidak dapat dilangsungkan jika rumah pasangan saling berhadapan. Jika mereka bersikeras untuk melangsungkan pernikahan, maka salah satu dari mereka harus mengalah dengan renovasi rumah dan menuju rumah agar tidak saling berhadapan.

Atau salah satu dari pasangan, harus “dibuang dari keluarga” dan diambil oleh keluarga lain yang dekat dengan rumahnya tetapi tidak saling berhadapan.

Tidak boleh dilaksanakan pernikahan jika rumah calon pasangan itu saling berhadapan/berseberangan. Jika mau dipaksakan untuk melangsungkan pernikahan maka harus ada salah satu yang mengalah dengan merenovasi rumah kearah yang tidak berhadapan.

Atau salah satu calon pasangan itu “dibuang dari keluarga” dan diangkat oleh keluarga yang rumahnya tidak berhadapan.

Perkawinan tidak diperbolehkan dilaksanakan apabila rumahnya bersebelahan dengan rumah mertua. Dalam larangan adat Jawa hal ini harus diperhatikan.

Jika ini tidak diperhatikan, konsekuensinya bagi orang tua akan meninggal dalam waktu singkat. Pernikahan tidak boleh dilaksanakan jika rumah calon pasangan itu hanya berjarak lima langkah.

Larangan ini cukup menarik. Artinya disitu menunjuk pada rumah disekitar, yang notabene adalah tetangga dekat. Bukankah lebih dekat maka akan bisa memahami lebih baik keadaan atau karakter calon pasangan??? Tetapi bagi yang memegang teguh adat Jawa maka hal tersebut menjadi pantangan.

Jika dilanggar bisa mengakibatkan rumahtangga tidak bahagia, tidak rukun dan ada saja kekuarngannnya.

Kelima: Larangan adat yang berhubungan dengan hari serta tanggal lahir

Selain tidak boleh melaksanakan pernikahan di bulan Suro (Muharram), ada juga berdasar pada perhitungan untuk menentukan jam, hari, bulan; tetapi ada juga yang dihitung berdasar pada tanggal lahir.

Penentuan tanggal pernikahan bagi orang Jawa, sangatlah penting. Jika salah dalam memilih tanggal pernikahan maka akan mendatangkan kesialan.

Tetapi jika memilih tanggal pernikahannya tepat, maka rumahtangga akan berjalan lancar dan selalu mendapatkan keberuntungan.

Selain hari, tanggal dan bulan tertentu, dalam adat Jawa juga meyakini bahwa jika pernikahan dilaksanakan pada tanggal kelahiran calon mempelai pria, maka pernikahan tersebut akan membawa keberuntungan bagi kedua mempelai dan menjauhkan dari malapetaka.

Keenam: Larangan adat yang berkaitan dengan kado pernikahan

Pada waktu pernikahan, biasanya para tamu undangan biasanya memberikan kado kepada kedua mempelai sebagai ungkapan doa dan ucapan selamat. Mungkin untuk waktu sekarang sudah bergeser lebih pada segi manfaat dan praktisnya sehingga tidak berwujud kado.

Menurut mitos Jawa, hendaknya kado pertama yang dibuka, itu yang akan dipakai pertama kali dalam mengawali atau menapaki hidup berkeluarga. Bila hal tersebut dilakukan maka keluarga akan mendapatkan keberuntungan.

Bagaimana pandangan kitab Injil dan kekristenan tentang hal tersebut?

Kitab Injil menyampaikan bahwa pada dasarnya semua hari itu baik adanya (Kejadian 1:3, 31 dan Galatia 4:9-11). Tidak ada hari yang satu lebih baik dari hari yang lain.

Semuanya dalam kendali Tuhan. Kelanggengan pernikahan dan perjalanan kehidupan rumahtangga- menjadi baik dan bahagia, bukan karena perhitungan weton, hari,anak ke berapa dan pesta nikahnya seperti apa tetapi lebih pada ketaatan pada Firman Tuhan serta menempatkan Injil itu sebagai pedoman hidup berumah tangga.

Menempatkan Kitab Suci itu diatas adat istiadat, sebagai bentuk menjunjung tinggi kedaulatan Allah dalam memimpin hidup kita (Matius 15:1-20).

Lebih daripada itu, bahtera rumahtangga harus dilandasi dengan doa, saling mengasihi, saling mempercayai, panjang sabar dan penuh dengan perjuangan (1 Korintus 13:4-7; Galatia 5:22-23).

Kiranya Sang pemilik kehidupan, menjadi sumber kebahagiaan dan kesejahteraan. (*)

Referensi:

Alkitab, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta,2010

Miftahul Huda, Dr, Mag, Bernegosiasi dalam tradisi perkawinan Jawa,Andi Offset, Jogyakarta

Http://www.hipwee.com, wedding, 2022

Http://www.popobela.com, Relationship, 2021