25 radar bogor

Gagal Antisipasi Lonjakan Harga

Pegawai menata jerigen minyak goreng curah di PAsar Citeureup, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Senin (28/3/2022). Harga minyak goreng curah di pasar tradisional semakin jauh dari Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp 14.000 per liter atau Rp 15.500 per kilogram. Sebelumnya, HET dari pemerintah untuk minyak goreng curah yakni Rp 11.500 per liter, naik menjadi Rp 14.000 per liter. FOTO : Hendi Novian / Radar Bogor

Oleh: Mariyam Sundari (Yogyakarta)

RADAR BOGOR, Terus berulang setiap tahun, harga-harga pangan meningkat. Sebenarnya yang terjadi bukanlah mengantisipasi gejolak harga melainkan pembiaran.

Para pejabat negara yang berwenang bersembunyi di balik kalimat, “Ada faktor yang membuat harga tidak stabil selain pandemi, yaitu terjadi kelangkaan bahan dan faktor iklim serta cuaca saat ini (musim hujan) yang mengakibatkan gagal panen.”

Masyarakat sudah “kenyang” mendengar alasan tersebut. Betapa tidak, alasan itu selalu diberikan pada masyarakat tanpa ada langkah-langkah konkret demi mengantisipasinya. Kalaupun ada, alternatif itu tidak begitu serius diterapkan, hanya sekadar ancaman bagi mereka yang ketahuan melakukan penimbunan akan dikenai sanksi.

Bukti riil di lapangan justru menunjukkan bahwa masyarakat masih saja mendapati harga terus melonjak tanpa bisa ditolak. Tetapi, apa daya, demi memenuhi kebutuhan, mereka pun membeli berbagai bahan pokok meski dengan harganya tinggi. Gagalnya pemerintah melakukan antisipasi menunjukkan buruknya riayah penguasa terhadap rakyatnya.

Indikator daya beli masyarakat bertumbuh atau tidak yaitu dengan melihat ramai dan sepinya suatu pasar. Sebab, di pasar tempat semua kebutuhan pokok tersedia. Daya beli terhadap kebutuhan pokok menjadi cerminan bahwa masyarakat sedang lesu atau sebaliknya. Jika melihat situasi seperti saat ini, dapat dipastikan bahwa masyarakat dalam kondisi lesu karena daya beli menurun akibat lonjakan harga pangan.

Rakyat Butuh Kepastian

Amburadul, ini kata yang cocok untuk menunjukkan pengaturan penguasa terhadap persoalan pangan. Lonjakan harga tentu sangat membuat rakyat menderita karena menambah beban hidup mereka. Belum usai pandemi membuat ekonomi rakyat babak belur, kini ditambah lagi dengan lonjakan harga pangan.

Tampak sekali penguasa memang minim empati, bahkan “ghosting” (tiba-tiba menghilang) tidak bertanggung jawab atas kondisi demikian. Padahal, rakyat butuh kepastian untuk memenuhi kebutuhan bahan pokoknya sehingga seharusnya pemerintah memerhatikan harga kebutuhan pokok di pasar yang meliputi tingkat permintaan, ketersediaan stok, baik dari produksi domestik juga impor, dan kelancaran dalam distribusi hingga ke retail.

Namun, justru yang terjadi pemerintah hanya berkutat pada perkara teknis dalam kebijakan neoliberalnya. Alih-alih mengantisipasi lonjakan harga pangan dengan menggelar operasi pasar, operasi pasar yang menyasar konsumen dilakukan dengan menggandeng pihak ketiga yakni korporasi. Lagi-lagi menguntungkan korporasi meski seolah-olah sedang membantu menaikkan daya beli masyarakat.

Masyarakat harus menyadari masalah lonjakan harga bersumber dari lemahnya fungsi negara mengatur sektor pertanian pangan akibat paradigma kapitalisme neoliberal. Sistem rusak ini memandulkan peran negara. Pemerintah hanya sebatas regulator dan fasilitator, tidak sebagai pengurus urusan rakyat.

Islam Menjaga Stabilitas Harga

Mengapa dalam sistem kapitalisme neoliberal kestabilan harga pangan mustahil terwujud? Karena masifnya korporatisasi pada sektor pangan hingga akhirnya ketahanan dan kedaulatan pangan sulit diwujudkan. Berkuasanya korporasi dalam produksi menyebabkan mayoritas stok pangan berada pada swasta, tidak dalam kendali negara.

Berbeda halnya dalam Islam yang terbukti mampu mewujudkan jaminan ketahanan pangan bagi seluruh rakyat. Islam memiliki beberapa mekanisme jitu mengantisipasi gejolak harga. Pertama, menjaga ketersediaan stok pangan agar permintaan dan penawaran menjadi stabil. Islam berperan penting dalam mengatur sektor pertanian demi menjamin produksi pertanian di dalam negeri berjalan maksimal.

Di samping itu, Islam menggunakan teknologi yang mampu memprediksi cuaca serta iklim, melakukan mitigasi bencana alam yang dapat memengaruhi kebutuhan pangan masyarakat. Kedua, Islam menjaga rantai tata niaga dengan mencegah dan menghilangkan distorsi pasar, mengharamkan penimbunan, mengharamkan riba serta praktik tengkulak dan kartel.

Rasul Saw. Bersabda, “Siapa saja yang melakukan intervensi pada sesuatu harga-harga kaum muslimin untuk menaikkan harga atas mereka, maka adalah hak bagi Allah untuk mendudukkannya dengan tempat duduk dari api pada Hari Kiamat kelak.” (HR. Ahmad, Al-Hakim, Al-Baihaqi) Wallahualam. (*)