25 radar bogor

RTLH Bukan Untuk Pansos

RTLH Bukan Untuk Pansos
RTLH Bukan Untuk Pansos

Rumah menjadi persoalan mendasar bagi kesejahteraan masyarakat setelah sandang dan pangan, sehingga rumah yang layak huni bisa menjadi indikator bagi pencapaian tingkat kesejahteraan masyarakat.

Di kota Bogor masalah Rumah Tidak layak Huni (RTLH) menjadi prioritas utama untuk segera di atasi, terbukti dalam RPJMD sepanjang tahun 2019-2024 , Pemerintah kota Bogor menargetkan sebanyak 20.000 unit Rumah tidak layak Huni untuk diperbaiki.

Sepanjang tahun 2021 saja Sebanyak 7.660 unit Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) di Kota Bogor telah diperbaiki, ini membuktikan keseriusan pemerintah kota Bogor dalam pengentasan Rumah Tidak Layak Huni (RTLH).

Perbaikan yang dilakukan terhadap seluruh RTLH bersifat peningkatan kualitas atau renovasi. Renovasi dilakukan untuk membuat rumah yang diperbaiki bisa memenuhi standar rumah sehat.

Dana tersebut bersumber dari APBN melalui DAK Bidang Perumahan, APBD Provinsi Jawa Barat melalui program Bantuan Gubernur Jabar untuk Rutilahu (Rumah Tidak Layah Huni), serta APBD Kota Bogor dan CSR beberapa perusahaan.

Tapi entah mengapa dalam realisasinya masih banyak persoalan yang sering terjadi, serta keluhan masyarakat yang tidak pernah dievaluasi di internal pemkot kota Bogor semisal program RTLH yang bersumber dari APBD, anggaran yang cair tidak memenuhi standar untuk perbaikan, skema program yang tidak memperhatikan kualitas Rumah.

Padahal berbagai aturan sudah banyak yang menjelaskan terkait dengan keberlangsungan program Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) terlebih program tersebut dilaksanakan oleh Dinas Perumahan dan Pemukiman kota Bogor yang di nilai paham betul terkait dengan pembangunan.

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia No. 07/PRT/M/2018 menyebutkan Rumah Tidak Layak Huni yang selanjutnya disingkat RTLH adalah rumah yang tidak memenuhi persyaratan keselamatan bangunan, kecukupan minimum luas bangunan, dan kesehatan penghuni.

Rumah Tidak Layak Huni juga didefinisikan sebagai rumah yang aspek fisik dan mentalnya tidak memenuhi syarat. Untuk menunjang fungsi rumah sebagai tempat tinggal yang baik maka harus dipenuhi syarat fisik yaitu aman sebagai tempat berlindung dan secara mental memenuhi rasa kenyamana. (Adi dalam Tri, 2014: “Implementasi Sistem Pendukung Keputusan Penerima Bantuan Rumah Tidak Layak Huni Berbasis Web”)

Rumah Tidak Layak Huni yang selanjutnya disebut Rutilahu adalah tempat tinggal yang tidak memenuhi syarat kesehatan, keamanan, dan sosial. (Sumber: Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia No. 20 Tahun 2017 Tentang Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak Huni dan Sarana Prasarana Lingkungan)

RTLH adalah rumah dengan ciri dan karakteristik yang tidak sesuai dengan persyaratan dan standar sebagaimana tercantum dalam UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman dan PP No. 14 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman. Kualitas konstruksi bangunan dengan memenuhi SNI.

Dari penjelasan tersebut dan setelah menyaksikan realisasinya secara langsung bisa kita buat kesimpulan bahwa program Rumah Tidak Layak Huni yang bersumber dari APBD kota Bogor jauh dari kata layak.

Pada 2021 realisasi RTLH dengan kerusakan Rumah kategori berat masih ditemukan mendapat anggaran yang jauh dari kata cukup. Semisal dengan anggaran 4 juta penerima bantuan sering kali harus memutar otak untuk memperbaiki rumahnya agar bisa masuk dalam kategori layak. Ada yang memaksakan untuk berhutang untuk tambahan ada pula yang menyerah dengan keadaan. Walaupum program ini berbasis swadaya, dalam situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan sering kali masyarakat harus dipaksa beryukur dengan keadaan.

Alhasil rumah yang niatnya untuk menjadi rumah sehat menjadi bom waktu yang dalam waktu cepat akan kembali ke kualitas asalnya, ini harus menjadi fokus utama semua pihak agar realisasi anggaran untuk penerima bantuan sesuai standar dan kebutuhan mengacu pada kebutuhan rumah layak huni.

Skema Program RTLH APBD semestinya harus mengaca pada program-program lainnya, ada pemberdayaan kepada masyarakat ada juga yang secara detail bicara masalah teknis kontruksi, sehingga program yang diharapkan untuk pengentasan menjadi nyata dan bermanfaat bagi masyarakat.

Akibat kegagalan tersebut, banyak masyarakat yang sering kali dan berkali kali mengajukan setiap tahunnya untuk mendapatkan bantuan sejenis, ini kan membuktikan bahwa apa yang sudah direalisasikan tidak berguna.

Dalam kenyataannya untuk keperluan laporan rumah dipaksa untuk terlihat menarik sisi depan tapi dalamnya sering kali ditemukan jauh dari kata layak.

Oleh karena itu Pemkot kota Bogor harus serius untuk mengurusi program tersebut, program RTLH menjadi harapan dan primadona masyarakat Kota Bogor untuk hidup sehat bukan untuk pansos atau jadi komoditas politik tahunan.

Fahrizal (obm)
Koordinator Forum Pemerhati Perumahan Rakyat (FPPR)