25 radar bogor

Kunker Anggota DPR Fraksi Gerindra, Endang S Thohari Kaji Permasalahan Sampah di Bali

Kunker Anggota DPR Fraksi Gerindra, Endang S Thohari Kaji Permasalahan Sampah di Bali
Kunker Anggota DPR Fraksi Gerindra, Endang S Thohari Kaji Permasalahan Sampah di Bali

RADAR BOGOR, Kunjungan Kerja Spesifik ke Bali, Kamis (27/1/2022), Anggota DPR RI Komisi IV Fraksi Partai Gerindra Dapil Jawa Barat III meliputi Kota Bogor dan Kabupaten Cianjur, Hj. Endang  S Thohari mengkaji permasalahan pencemaran sampah.

Sampah merupakan masalah pelik yang tengah diperbincangkan dan gencar diatasi oleh pemerintah maupun masyarakat yang peduli dengan lingkungan. Hal ini diakibatkan oleh dampak yang sangat besar dan signifikan terhadap kehidupan manusia yang akan terlihat setelah kesalahan dalam bagaimana menangani sampah tersebut.

Baca juga: UPT Pengelolaan Sampah Ciawi Kerahkan Tiga Armada Baru Di Kawasan Puncak

TPA Suwung di Denpasar merupakan TKP yang menjadi objek penanganan sampah di kota Denpasar, yang sebelumnya merupakan Kawasan Hutan Mangrove yang begitu subur.

Menurut Hj. Endang S Thohari, pengalihan lahan ini mengakibatkan krisis sumber daya laut yang menjadi tumpuan hidup nelayan di Pulau Serangan.

“Bagaimanakah menyelesaikan polemik ini?” kata Endang.

Berdasarkan data dari berbagai penelitian, Hj Endang mengatakan, jumlah pengiriman sampah Kota Denpasar ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir) mencapai 2000 m3 per harinya. Ini berarti sampah di Denpasar melampaui ambang batas.

Saat ini, katanya, TPA Suwung relatif terbatas dan tidak mampu lagi untuk menampung sampah. Terutama sampah anorganik yang susah hancur dan bertahan lama.

Volume sampah yang meningkat dan tidak memenuhi persyaratan ambang batas lingkungan hidup sudah tentu dapat menimbulkan pencemaran lingkungan air,udara maupun tanah.

Selain itu, juga dapat menimbulkan resiko karena berjangkitnya penyakit menular, menyebabkan pencemaran, terutama bau, kotoran dan sumber penyakit.

Jumlah timbunannya yang semakin lama semakin meningkat, dikhawatirkan dapat menimbulkan berbagai masalah sosial dan lingkungan, diantaranya :

  1. Dapat menjadi lahan yang subur bagi pembiakan jenis-jenis bakteri serta bibit penyakit lain.
  2. Dapat menimbulkan bau tidak sedap yang dapat tercium dari puluhan bahkan ratusan meter.
  3. Dapat mengurangi nilai estetika dan keindahan lingkungan.

“Observasi disinilah yang memberikan kesan yang menyenangkan. Keadaan  struktur sosial disini sangat terjalin, karena menjadi objek wisata alam untuk umum dan kerap kali digunakan untuk lokasi pemotretan yang secara tidak langsung akan menjadi timbal balik yang positif antara manusia dan lingkungan,” kata Hj Endang.

Belum lagi, kata Hj Endang, banyaknya ditemukan sampah–sampah yang menyangkut diantara akar-akar tanaman mangrove. Ini sangat berakibat buruk bagi perkembangan hutan mangrove.

Dan ini merupakan bukti bahwa masih adanya gejala-gejala pencemaran yang diakibatkan oleh sampah di hutan mangrove. Bahkan apabila d hutan mangrove yang menjadi obyek wisata saja sudah tercemar, bagaimana dengan hutan mangrove lainnya yang tidak menjadi obyek wisata dan dipandang sebelah mata oleh masyarakat maupun pemerintah.

“Bagaimana dengan nasib para nelayan kita jika ini terus berlanjut,” ujar Hj Endang.

Dapat dikatakan sampah adalah barang buangan, tapi dapat bermanfaat, namun juga dapat menimbulkan efek negatif bagi masyarakat karena dapat menimbulkan perasaan menjijikan dan merusak pandangan mata.

Hj Endang mengatakan, hal ini tidak dapat dipungkiri lagi. Keindahan lingkungan akan hilang, timbulnya dampak penyakit serta dapat menggangu kenyamanan dan kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup di sekitarnya adalah pengaruh negatif dari sampah.

Untuk menghindari meningkatnya anggaran biaya penyelenggaraan, selain itu keterlibatan aparat terkait dikhawatirkan akan membentuk budaya masyarakat yang bersifat tidak peduli. Pemerintah dan aparat terkait sebaiknya memposisikan kewenangannya sebagai fasilitator dan konduktor.

Setiap permasalahan persampahan sebaiknya dimunculkan oleh masyarakat atau organisasi sosial selaku produsen sampah. Hal ini diharapkan terciptanya sikap masyarakat selaku individu, keluarga dan organisasi.

“Walaupun upaya-upaya tersebut tidak bisa dilakukan secara instant, tetapi pihak TPA Suwung dan Dinas Kebersihan Kota Denpasar telah berusaha untuk mencari alternatif lain selama upaya-upaya tersebut belum terealisasi. Karena sistem pengelolaan sampah yang sedang berjalan hanya Open Dumping dan composing, maka pihak TPA mempunyai cara khusus untuk menyiasati banyaknya lalat yang berkembang biak di lokasi pembuangan sampah,” ucap Endang.

Mereka menciptakan ekosistem baru, sengaja menyebar benih jenis burung Kokoan yang merupakan pemangsa alami lalat-lalat tersebut. Untuk menjaga kelestarian ekosistem burung tersebut, maka pihak TPA membuat larangan khusus bagi para tangan-tangan jahil untuk berburu burung tersebut.

Selain cara tersebut, pihak TPA juga memiliki cara lain untuk mengantisipasi bau busuk yang ditimbulkan oleh sampah di lokasi pembuangan. Dalam jangka waktu tertentu secara berkala, pihak TPA akan nenyiramkan air laut ke timbunan sampah.

“Cara ini dilakukan karena air laut memiliki kadar garam yang sangat tinggi, dianggap mampu membunuh kuman- kuman yang ada dalam sampah sehingga mengurangi bau busuk yang ditimbulkan,” jelas Endang.

Disamping itu, banyaknya sampah yang hanyut di batas persimpangan air menambah pengaruh buruknya terhadap habitat mangrove di sekitar pesisir Bali selatan.

“Dengan adanya TPA, menambah kesemrawutan indahnya panorama alam yang nantinya diharapkan sebagai objek wisata alam. Namun apa daya, dengan bau yang menyengat hal itu sangat sulit untuk diwujudkan,” ujarnya.

Memang benar adanya pengaruh negatif yang ditimbulkan akibat pencemaran yang terjadi yang berawal dari TPA menjerumus ke rusaknya kawasan hutan mangrove dan keluhan keluhan para nelayan khususnya yang berada di kawasan tersebut. Dan untuk menangani masalah ini kita harus memulai dari sumbernya, yaitu metode baru pengolahan sampah di TPA.

Strategi pengelolaan sistem lama yang mengandalkan pada sistem pengangkutan, pembuangan dan pengolahan menjadi bahan urugan perlu diubah karena dirasakan sangat tidak ekonomis (cost center). Disamping memerlukan biaya operasional dan lahan bagi pembuangan akhir yang besar juga menimbulkan banyak dampak yang kurang menguntungkan bagi lingkungan masyarakat di sekitat TPA Suwung dan dapat menumbuhkan masyarakat yang kurang peduli terhadap lingkungannya.

Sistem pengelolaan sampah di TPA Suwung kurang dilaksanakan secara maksimal, dari ketiga cara hanya open dumping yang terealisasi, walaupun sanitary landfill dan pembakaran sempat dipraktekkan namun kedua cara tersebut mengalami kemacetan dan mempunyai dampak yang buruk terhadap lingkungan bila tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh.

“Dalam pengolahan sampah, TPA Suwung dapat saja memaksimalkan sistem/tata cara pengolahan sampah yang telah ada, yaitu : sanitary landfill, open dumping, dan incenerator agar rencana SARBAGITA dapat terealisasi. Hanya saja semua sistem tersebut harus ramah lingkungan dan tidak mengganggu masyarakat di sekitar TPA,” tegas Endang.

Berdasarkan hasil kajian dari berbagai pihak terkait TAHURA Kawasan DAM Estuari Suwung Denpasar dengan berbagai faktor penyebabnya, DPR RI Komis IV Fraksi Gerindra ingin mendengarkan beberapa penjelasan terkait:

  1. Terjadinya pencemaran, terganggunya pertumbuhan mangrove dibeberapa blok/lokasi disebabkan karena pencemaran oleh limbah yang dihasilkan dari berbagai kegiatan yang terjadi di dalam dan di luar kawasan. Kegiatan yang menghasilkan limbah secara langsung berasal dari kegiatan yang berlangsung di TPA (Tempat Pembuangan Akhir Sampah). Rencana awal pengelolaan sampah dengan sanitary landfill tetapi kenyataannya sampai sekarang dengan open dumping. Mohon diberikan penjelasan dan strategi penanganannya?
  2. Tidak jelasnya batas pemilikan antara kawasan Tahura dengan lahan milik penduduk setempat. Batas yang tidak jelas ini juga telah menyebabkan terjadinya perbedaan luas kawasan Tahura antara luas yang tergambar di peta dengan luas yang dipublikasikan. Hasil pengukuran di peta mendapatkan bahwa luas kawasan Tahura adalah 1373,5 Ha, sedangkan luas yang selama ini dipubliksikan oleh Dinas Kehutanan adalah 1392 Ha. Mohon diberikan penjelasannya?
  3. Terlalu mudahnya konversi hutan mangrove. mudahnya konversi hutan mangrove menjadi berbagai peruntukan lain yang lebih bernilai ekonomi karena keberadaan hutan mangrove dinilai “sangat murah” bagaimana hal ini bisa terjadi? Bagaimana model penanganannya supaya dapat hutan mangrove lestari dan berkelanjutan?