25 radar bogor

Endang S Thohari Susun Formulasi Kebijakan Subsektor Hortikultura Untuk Tingkatkan Ekspor

Endang S Thohari Susun Formulasi Kebijakan Subsektor Hortikultura Untuk Tingkatkan Ekspor
Endang S Thohari Susun Formulasi Kebijakan Subsektor Hortikultura Untuk Tingkatkan Ekspor

RADAR BOGOR, Menyusun formulasi kebijakan subsektor hortikultura, untuk meningkatkan ekspor dan pemenuhan kebutuhan dalam negeri, Anggota Komisi IV DPR RI Fraksi Gerindra, Hj Endang S Thohari mewakili komisi IV melakukan Focus Group Discussion (FGD) bersama Dirjen Hortikultura di Four Season, Jakarta, Jumat (3/12/2021).

Baca Juga : Endang S Thohari, Salurkan Bantuan Mesin Pertanian Cultivator untuk Kelompok Tani di Kabupaten Cianjur

Mewakili semua anggota Komisi 4 DPR RI, Hj Endang dalam paparannya menyampaikan, meski ditengah perlambatan di masa pandemi, subsektor Hortikultura mencatat pertumbuhan ekonomi tertinggi di tahun 2020.

Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, data Konsumen Perkotaan membelanjakan 15 persen dari pendapatan untuk konsumsi buah dan sayuran.

Sedangkan konsumen perdesaan membelanjakan 24 persen. Menjadikan sebuah peluang ekonomi besar dalam sistem agribisnis hortikultura.

Fakta di lapangan, banyak petani hortikultura saat tiba masa panen, namun tidak mampu menjual karena tidak memiliki akses pasar. Selain itu, harga menjadi jatuh. Sehingga terjual sangat murah atau tidak berharga.

Padahal, semua sepakat, bahwa produk hortikultura merupakan produk yang berpotensi eskpor, dan berdaya saing tinggi apabila dikelola dengan baik.

“Dalam rangka pemenuhan kebutuhan dalam negeri unutuk beberapa komoditas hortikultura seperti bawang putih, importasi menjadi hal yang tidak dapat dihindari,” kata Hj. Endang.

Hj Endang juga menyampaikan fakta-fakta, bahwa ekspor produk hortikultura terbesar adalah buah nanas. Disusul oleh Kubis dan Manggis. Adapun propinsi Lampung merupakan propinsi asal ekspor terbesar.

Produk sayuran daun di dalam negeri, kata Hj Endang, sepanjang tahun 2020 cukup melimpah dan cenderung over suplai. Sehingga harga di tingkat petani menurun.

Bantuan subsidi transportasi yang diberikan oleh Pemerintah tidak berhasil mengangkat harga di tingkat petani. Bahkan di beberapa daerah, sayuran dibiarkan membusuk di kebun, karena lesunya pasar di dalam negeri, akibat daya beli masyarakat yang menurun.

Hj Endang menyimpulkan, ada tujuh masalah dalam hal ini. Yaitu pengembangan kawasan hortikultura, pengenaan bea keluar yang terlalu tinggi, ketentuan impor produk hortikultura dalam undang-undang, jaminan Keamanan Hortikultura Impor, permasalahan RIPH dan ketersediaan data yang valid.

Dalam upaya meningkatkan ekspor produk pertanian, Pemerintah melakukan terobosan-terobosan melalui program Gerakan Tiga Kali Ekspor (Gratieks). Khusus untuk komoditi Hortikultura dilakuan melalui upara program GEDOR HORTI, atau
Gerakan Mendorong Ekspor Produk Hortikultura.

Namun yang menjadi persoalan, lanjut Hj Endang, kegiatan yang didukung oleh Badan Karantina selama ini hanyalah launching kegiatan ekspor, yang dinilai hanya menghabiskan anggaran saja.

“Tugas Badan Karantina, memastikan agar produk pertanian yanga masuk dan keluar dari Indonesia tidak membawa OPT Karantina yang berbahaya. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang No 21 Tahun 2019 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan
Tumbuhan,” jelas Hj Endang.

Sementara itu, dalam kaitannya kebijakan pangan guna memenuhi kebutuhan pangan di masyarakat, Pemerintah seharusnya mempunyai grand design terkait dengan
pengadaan pangan nasional.

Selain itu, harus memiliki regulasi yang bisa mengatur bagaimana pangan di produksi secara cukup dan efisien serta memiliki nilai tambah.

“Bukan hanya sekedar menghitung berapa jumlah impor yang harus didatangkan tiap tahun. Sehingga menimbulkan kesan Pemerintah kurang serius mengurusi kebijakan pangan/pertanian, khususnya sub sektor hortikultura,” tegasnya.

Hj Endang juga menekankan, agar Badan Karantina Pertanian jangan terjebak oleh kepentingan bisnis para importir. Sehingga tidak bekerja sesuai dengan amanat UU No 21 Tahun 2019 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan.

Pasalnya, sebagai pengimpor produk hortikultura yang cukup besar, kata Hj Endang, seharusnya Indonesia memiliki standar persayaratan teknis yang dapat dijadikan alat bargaining posisition bagi negara pengekspornya.

Hal ini sangat penting, selain melindungi kepentingan sumberdaya hayatinya yang sangat besar, sekaligus melindungi konsumennya.

Pemerintah dalam menyusun program dan kebijakan ekspor produk pertanian (khususnya hortikultura), juga dinilai belum banyak melibatkan stakeholder, seperti petani dan pelaku usahanya.

Tidak konsisten dalam pelaksanaan aturan dan ketidakjelasan dalam pelaksanaan aturan tentu saja kontraproduktif terhadap target-target yang sudah dicanangkan oleh Kementerian Pertanian.

“Tentu saja hal ini dapat menyebabkan persaingan usaha menjadi tidak sehat, yang akan merugikan petani sebagai produsen dan masyarakat sebagai konsumen. Selain itu, harus ada sinergitas antara petani, pengusaha, dan Pemerintah sebagai regulator agar petani dapat memanfaatkan peluang pasar hortikultura; dan para stakeholder agar mengawal dan memberikan masukan kepada Pemerintah terhadap ketentuan dalam peraturan pemerintah,” tandas Hj Endang. (*)