25 radar bogor

Daya Saing Industri Mamin Dibenamkan NTM

JAKARTA- RADAR BOGOR, Hambatan nontarif alias nontariff measures (NTM) pada industri makanan dan minuman (mamin) perlu ditinjau pemerintah. NTM dinilai masih tinggi sehingga memengaruhi daya saing industri pengolahan mamin di Indonesia. Juga berpotensi mengerek harga produk di level konsumen.

Baca juga : Putri Marino dan Reza Rahadian Emosional Berperan dalam Layangan Putus Bersyukur Ending Cerita Bisa Diubah

Kepala Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta menyebutkan, NTM produk mamin diperkirakan setara dengan biaya 49 persen. “Dalam survei International Trade Centre, importir juga mengeluhkan maraknya pungutan liar dalam prosedur impor akibat adanya macam-macam hambatan nontarif,” ujar Felippa Jumat (26/11).

Felippa mengingatkan, berbagai NTM akan melemahkan daya saing. Sebab, timbul berbagai biaya tambahan dan dibutuhkan waktu yang lebih lama untuk menjalankan proses yang ada.

Dia mencontohkan, hambatan nontarif mensyaratkan dipenuhinya beragam ketentuan seperti mengenai label, pengemasan, atau sertifikasi. Serta inspeksi pra pengiriman di pelabuhan asal yang memakan banyak waktu hingga mengakibatkan keterlambatan impor.

Dwelling time atau masa penimbunan peti kemas di pelabuhan Indonesia yang sekitar lima hari jauh di atas 1,5 hari di Singapura dan dua hari di Malaysia. Keterlambatan waktu ini memakan biaya serta ini merugikan importir dan industri,” jelas Felippa.

Berdasar data CIPS, industri pengolahan mamin merupakan kontributor ekspor Indonesia terbesar kedua setelah pertambangan. Kontribusinya mencapai 30–40 persen dari total hasil produksi.

Selain itu, industri pengolahan mamin mempekerjakan sekitar 20 persen dari pekerja sektor manufaktur. “Usaha mikro dan kecil pengolahan makanan menyediakan 75 persen dari lapangan pekerjaan industri ini,” ungkapnya.

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman (Gapmmi) Adhi S. Lukman menyatakan, meski stok bahan baku aman, pengusaha mamin terus mengantisipasi kondisi rantai pasok global yang belum stabil setelah isu kelangkaan kapal dan kontainer.

“Masalah kelancaran rantai distribusi dan biaya-biaya ini memang harus menjadi perhatian. Sebab, meski selama ini demand terjaga baik, beberapa pengusaha masih harus ’puasa’ menaikkan harga,” tuturnya.

Menurut Adhi, biaya-biaya telah naik, mulai logistik hingga bahan baku. Secara overall, biaya terkerek sekitar 33 persen jika dibandingkan dengan tahun lalu. “Tentu ini berpengaruh terhadap harga pokok kita. Kita sudah dua tahun terakhir menahan untuk tidak naikkan harga. Pada 2022, berpotensi akan ada penyesuaian harga di level konsumen akibat biaya logistik dan bahan baku. Kita juga sedang bersiap menerapkan tarif baru PPN 11 persen,” paparnya.(jpg)