25 radar bogor

Ketua DPD RI Sebut Presidential Threshold Perlemah Sistem Demokrasi

Presidential Threshold
Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti. DPD bakal menggugat soal Presidential Threshold ke MK.
DPD RI
Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti. (DPD RI for JawaPos.com)

JAKARTA – RADAR BOGOR, Sistem presidential threshold di Indonesia diberlakukan untuk memperkuat sistem presidensil dan demokrasi. Namun, Ketua DPD RI LaNyalla Mattalitti menilai bahwa kondisi yang terjadi di justru sebaliknya.

“Kalau didalilkan untuk memperkuat sistem presidensil agar presiden terpilih punya dukungan kuat di parlemen, justru secara teori dan praktik malah membuat mekanisme check and balance menjadi lemah,” kata LaNyalla dalam keterangannya, Minggu (21/11).

LaNyalla mengatakan, partai politik besar dan gabungan partai politik menjadi pendukung presiden terpilih dalam sistem ini. Sehingga, yang terjadi adalah bagi-bagi kekuasaan dan partai politik melalui fraksi di DPR menjadi legitimator kebijakan pemerintah.

“Termasuk secepat kilat menyetujui apapun kebijakan pemerintah. Juga pengesahan perppu atau calon-calon pejabat negara yang dikehendaki pemerintah,” ungkap LaNyalla.

Jika ditimbang dari sisi manfaat dan mudarat-nya, LaNyalla menilai Presidential Threshold penuh dengan mudarat. Pasalnya, ambang batas pencalonan presiden menyumbang polarisasi tajam di masyarakat, akibat minimnya jumlah calon, terutama dalam dua kali Pilpres, di mana hanya ada dua pasang calon yang head to head.

“Bagaimana kita melihat pembelahan yang terjadi di masyarakat. Antar kelompok berseteru dan selalu melakukan Anti-Thesa atas output pesan yang dihasilkan baik dalam bentuk kalimat verbal, maupun simbol dan aksi,” tegasnya.

Puncaknya, lanjut LaNyalla, anak bangsa secara tidak sadar membenturkan Pancasila dengan Islam. Hanya karena semangat melakukan apapun yang bersifat antitesis untuk menjelaskan identitas dan posisi. Padahal tidak satupun tesis yang bisa menjelaskan pertentangan antara Pancasila dengan Islam.

Hal tersebut, kata LaNyalla berimplikasi pada kegaduhan nasional. Sesama anak bangsa saling melakukan persekusi. Saling melaporkan ke ranah hukum. Seolah tidak ada lagi ruang dialog dan tukar pikiran. Belum lagi tradisi bar-bar seperti sweeping bendera, sweeping forum diskusi dan lain-lain, yang sama sekali tidak mencerminkan kehidupan di negara demokrasi.

“Inilah dampak buruk penerapan Ambang Batas Pencalonan Presiden, atau dalam kasus tertentu juga terjadi di ajang pemilihan kepala daerah. Di mana rakyat dihadapkan hanya kepada dua pilihan,” ujarnya.

LaNyalla tak memungkiri jika berkongsi dalam politik adalah wajar. Namun menjadi jahat, ketika kongsi itu dilakukan dengan mendesain agar hanya ada dua pasang kandidat Capres-Cawapres, yang berlawanan dan memecah bangsa, atau sebaliknya seolah-olah berlawanan, tapi sudah didesain siapa yang bakal menang.

“Jika polarisasi rakyat dan kegaduhan terjadi dalam skala nasional serta masif, siapa yang diuntungkan? Jelas para Oligarki yang sibuk menumpuk kekayaan dengan menguras sumber daya di negeri ini,” ujar LaNyalla.

Senator Jawa Timur itu juga menegaskan, ambang batas pencalonan tidak sesuai keinganan masyarakat. Pasalnya, presidential threshold mengerdilkan potensi bangsa di mana sejatinya negeri ini tidak kekurangan calon pemimpin. Tetapi, kemunculannya digembosi aturan main tersebut.

“Rakyat menjadi berkurang pilihannya karena semakin sedikit kandidat yang bertarung. Tentu saja hal itu semakin mengecilkan peluang munculnya pemimpin terbaik. Padahal entitas civil society yang ikut melahirkan bangsa dan negara ini seharusnya juga diakomodasi,” pungkasnya. (Jpg)