25 radar bogor

Peraturan Menteri Tentang Kekerasan Seksual Mengabaikan Pancasila

Fahmy Alaydroes menyoroti soal pereturan menteri
Fahmy Alaydroes menyoroti soal pereturan menteri
Fahmy Alaydroes menyoroti soal pereturan menteri
Fahmy Alaydroes menyoroti soal pereturan menteri

MENDIKBUDRISTEK Nadiem Makarim mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) No 30 tahun 2021 tentang “Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi”.

Baca Juga : Mendikbudristek Tegaskan Vaksinasi Bukan Kriteria Pelaksanaan PTM

Peraturan menteri ini hadir ‘menyelinap’ diam-diam dan menyalip begitu saja di tengah pembahasan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU-TPKS) yang sedang dibahas di DPR.

Tentu saja maksud dari Peraturan menteri ini baik, untuk mencegah dan menangani tindakan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi.

Peraturan menteri ini mendefinisikan “kekerasan seksual”:  “setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan tinggi dengan aman dan optimal.”

Dengan definisi seperti itu, Peraturan menteri ini sama sekali tidak menjangkau atau menyentuh persoalan pelanggaran susila (asusila) yang sangat mungkin dan bahkan kerap terjadi di lingkungan perguruan tinggi, termasuk praktek perzinahan dan hubungan seksual sesama jenis (LGBT).

Peraturan menteri ini hanya berlaku apabila timbulnya korban akibat paksaan, atau melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui oleh korban (lihat Pasal 5 ayat 2 j :  “Membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui oleh korban”).

Dengan perkataan lain, bila terjadi hubungan seksual suka-sama suka, kapan saja, di mana saja, oleh siapa saja, dan dilakukan di luar ikatan pernikahan, bagi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, itu semua tindakan yang dianggap normal, meski agama dan Pancasila menilainya sebagai perbuatan yang a-moral!.

Bagaimana mungkin, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dapat membuat suatu Peraturan menteri yang mengabaikan nilai-nilai agama, nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945, dan sekaligus menabrak nilai-nilial luhur adat dan budaya kita sebagai bangsa yang beradab.

Tentu saja, Peraturan menteri ini menjadi sangat bermasalah dan menimbulkan kegelisahan, kekhawatiran dan kemarahan banyak pihak.

Sejumlah ormas Islam yang tergabung dalam Majelis Ormas Islam (MOI) yang terdiri dari; Persatuan Umat Islam (PUI), Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII), Syarikat islam (SI), Mathla’ul Anwar, Al Ittihadiyah, Al Washliyah, Persatuan Islam (PERSIS), Wahdah Islamiyah, Al Irsyad Al Islamiyah, Hidayatullah, Ikatan Dai Indonesia (IKADI), Badan Kerjasama Pondok Pesantren Indonesia (BKsPPI), dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI) telah memprotes Peraturan menteri tersebut.

Tambahan lagi, Undang-undang No 12 Tahun 2011 Tentang  Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, menegaskan bahwa Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum negara (pasal 2) dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan (pasal 3).

Oleh sebab itu, Permendikbud Ristek No 30/2021 ini harus segera direvisi dan dilengkapi. Dengan harapan, Peraturan ini kemudian dapat dijadikan instrumen untuk membangun iklim kehidupan sosial yang beradab, bermoral, menjunjung tinggi etika dan nilai agama dan Pancasila.

Bila mendikbud tidak mau merevisinya, bukan tidak mungkin Peraturan menteri ini akan ‘dicabut’ oleh masyarakat yang menjunjung tinggi agama dan Pancasila !. (*)

Fahmy Alaydroes

Anggota Komisi X DPR RI – Fraksi PKS