25 radar bogor

Menyoal Literasi di Masa Pandemi, Memahami “Bahasa Cinta” dalam Keluarga

Oleh : Irma Wahyuni

Literasi dalam berbagai literatur dimaknai sebagai daya pengetahuan dan keterampilan seseorang dalam berbahasa, yang juga berkaitan dengan kemampuan membaca, menulis, berhitung, mengomunikasikan pesan, mengolah informasi, dan memiliki pandangan yang kritis terhadap suatu fenomena atau dalam pemecahan masalah dalam kehidupan.

Setidaknya ada enam jenis literasi dasar yang pernah digagas Kemdikbud dalam program gerakan literasi nasional, yakni; literasi baca tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi finansial, dan literasi budaya.

Begitu kompleksnya komponen-komponen literasi tersebut turut menyadarkan bahwa ia tidak terbentuk begitu saja, melainkan melalui sebuah proses belajar.

Dan tentu saja proses belajar yang manusiawi untuk membangun penguatan budaya intelektual, mematangkan kecakapan emosional-spiritual, dan menumbuhkan kesadaran jiwa sosial adalah melalui belajar di sebuah lembaga pendidikan formal.

Namun, geliat aktifitas pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan formal di negeri ini seakan melemah sejak pandemi COVID-19 terjadi, meskipun tidak semuanya terdampak secara signifikan.

Proses pembelajaran yang diadaptasi ke dalam moda daring/virtual di masa pandemi “memaksa” para pendidik dan peserta didik untuk meningkatkan literasi digital, kecakapan dalam menggunakan dan berinteraksi melalui berbagai media.

Bagi masyarakat madani, mungkin hal tersebut tidak terlalu menjadi persoalan.

Akan tetapi bagi masyarakat pedesaan dengan jaringan internet yang belum memadai, hal ini menjadi “ancaman baru” bagi perkembangan literasi.

Minimnya atau hilangnya kontrol guru dalam kegiatan belajar mengajar daring juga bisa menjadi penyebab degradasi motivasi belajar bagi para peserta didik, terutama di tingkat Sekolah Dasar dan Menengah.

Oleh karena itu, peran orang tua/keluarga di masa pandemi sangat berarti bagi perkembangan literasi anak.

Di saat peran guru dirasakan tidak optimal lagi saat anak menjalani proses belajar di rumah melalui media daring, peran keluarga (terutama ibu dan ayah) menjadi sangat krusial dalam mendampingi anak belajar dan menanamkan nilai-nilai moral, budaya, dan spiritual kepada mereka.

Bagaimana pun, dalam proses belajar mereka membutuhkan stimulus dan respon yang perannya krusial dalam kemampuan belajar, terutama dalam perkembangan bahasa (Skinner, 1987).

Dan sebaik-baik bahasa dalam keluarga adalah bahasa cinta dan kasih sayang.
Kurangnya kasih sayang merupakan salah satu penyebab utama depresi pada anak , yang sangat berkaitan dengan kasus-kasus perceraian (Biddulph, 2008).

Hampir tidak ada perceraian yang tidak disebabkan oleh rasa marah atau kecewa.

Dan, tidak ada rasa marah atau kecewa yang tidak disebabkan oleh perasaan yang terluka.

Rasa bathin yang terluka acap kali merupakan implementasi dari kesalahan atau ketidak mampuan dalam menginterpretasi makna dalam komunikasi dengan lawan bicara.

Uniknya, menurut beberapa sumber dan literatur, lawan bicara yang paling sensitif adalah pasangan hidup seseorang.

Artinya, orang bisa sangat fleksibel saat bergaul dengan teman-temannya, namun menjadi sangat ‘perasa’ terhadap pasangannya.

Oleh karena itu, literasi bahasa dan kesadaran sosiopragmatik sangat diperlukan dalam merawat komunikasi dengan keluarga, terutama di masa pandemi.

Masa pandemi memungkinkan orang untuk lebih banyak bekerja di rumah sehingga lebih sering bertemu dengan keluarga dan pasangannya.

Pada awalnya, mungkin hal tersebut terasa menyenangkan karena frekuensi bertemu dan berkomunikasi menjadi lebih intensif dari pada sebelumnya.

Akan tetapi, beberapa catatan pengalaman psikologi menyebutkan bahwa seringnya bertemu dapat menyebabkan kurangnya sensitifitas dan bahkan berkurangnya rasa rindu.

Oleh karena itu, ia bisa memicu kecenderungan untuk merasa bosan dan memicu pertengkaran karena sering menyaksikan kebiasaan-kebiasaan atau mungkin hal-hal yang tidak menyenangkan dari pasangan.

Oleh karena itu, komunikasi dua arah dengan prinsip saling berbagi peran dan saling menghargai harus dirawat untuk menciptakan harmoni.

Kesadaran akan peran masing-masing dalam keluarga dapat menimbulkan suasana hati yang tulus, bahagia, dan tidak mudah tersinggung.

Meskipun demikian, bukan berarti sebagai manusia tidak boleh merasa tersinggung, karena dalam konteks tertentu, rasa tersinggung juga bisa menjadi suatu hal yang layak divalidasi.

Dalam kajian wacana, dikenal terminologi “discourse limit” (Wodak & Meyer, 2009), yakni batasan-batasan diskursif yang dapat berfungsi sebagai rambu-rambu bagi penutur bahasa untuk mengetahui tentang apa saja yang boleh diucapkan, dan apa saja yang tidak boleh diucapkan.

Konsep ini juga berkaitan dengan literasi budaya dan politeness strategy (konsep kesantunan berbahasa).

Dalam konteks komunikasi dengan keluarga, misalnya, saat sedang menonton TV berdua dengan suaminya, seorang perempuan tiba-tiba memuji seorang pria di Televisi, “Mas, lihat deh, orang itu ganteng banget ya!”.

Seorang pria dewasa dan normal tentu saja tidak suka jika mendengar pasangannya memuji pria lain seperti itu. Kalimat pujian dalam konteks situasi tersebut bisa menimbulkan multi-interpretasi secara semantis maupun pragmatis.

Dalam konteks semantis ia bermakna pujian terhadap ketampanan seorang pria lain, dan hal itu menimbulkan kecemburuan suami.

Namun secara pragmatis ia bisa bermakna sebagai ‘tuntutan’ secara tidak langsung dari seorang perempuan kepada suaminya agar menjadi tampan seperti pria yang ia lihat di TV.

Atau, secara pragmatis kalimat itu bisa saja dimaknai sebagai kesengajaan untuk menyakiti suami dengan membandingkan ketampanannya dengan pria yang ia lihat di televisi untuk menegaskan bahwa ia sudah tidak menyukai suaminya lagi.

Interpretasi terakhir merupakan kemungkinan interpretasi terburuk yang bisa saja terjadi dalam komunikasi.

Situasi tersebut merupakan suatu contoh pelanggaran atau ketidak fahaman seseorang tentang “discourse limit” dalam berbahasa, khususnya dalam konteks ruang lingkup keluarga.

Seandainya setiap orang memahami “discourse limit” dalam tatanan diskursif komunikasi pada berbagai lokus dan konteks, mungkin akan minim sekali kebencian, dan permusuhan terjadi di dunia ini.

Adapun kesadaran sosiopragmatik secara linguistik dimaknai sebagai kecakapan dan kedewasaan dalam penggunaan dan pemilihan bahasa yang tepat sesuai dengan konteks dan konvensi sosial yang mengatur komunikasi.

Kegagalan dalam menggunakan fitur sosiopragmatis yang tepat dapat mengakibatkan gangguan komunikasi yang serius dengan lawan bicara.

Kesadaran sosiopragmatik sangat diperlukan bukan hanya dalam tatanan formal dan normatif, tetapi yang lebih utama adalah dalam institusi terkecil namun kompleks bernama keluarga, karena dari sanalah bahasa ‘cinta’ setiap manusia dibangun.

Bahasa suami kepada istri atau sebaliknya ketika di rumah, tentu saja berbeda dengan cara ia berkomunikasi di dunia kerjanya.

Bahasa orang tua kepada anak-anaknya ketika interaksi di rumah pun berbeda dengan bahasa yang ia gunakan dengan rekan-rekannya di luar rumah.

Contoh lainnya, seorang dosen yang sedang berdialektika dengan para mahasiswanya tentu saja  tidak akan sama dengan situasi komunikasi yang dibangun ketika ia harus memberikan penyuluhan dalam program pemberantasan buta aksara terhadap para anak jalanan atau para manula yang baca tulis saja tidak bisa.

Kecakapan sosiopragmatis juga dapat berupa kemampuan untuk mempertimbangkan dan mengetahui efek yang mungkin ditimbulkan dari ujaran yang akan diucapkan.

Orang dengan kecakapan sosiopragmatis yang baik akan merasa segan untuk menanyakan kepada seseorang, sekalipun temannya sendiri semisal perihal status temannya apakah sudah tinggal di rumah sendiri, masih numpang di rumah mertua, atau masih tinggal di kontrakan.

Ia akan menyadari bahwa percakapan seperti itu mungkin hanya cocok ditanyakan oleh pihak Bank yang sedang mensurvey kondisi calon nasabahnya yg akan mengajukan pinjaman dana, atau oleh tim kreatif sebuah acara donasi tempat tinggal semacam “Bedah Rumah” atau sejenisnya.

Luar biasanya efek yang ditimbulkan dari kata-kata, Seorang seniman dan sastrawan Australia, Gemma Troy mengatakan “Remember, your words can plant gardens or burn whole forests down”.

Irma Wahyuni

Dosen Bahasa Inggris di STKIP Muhammadiyah Bogor, Peneliti Bahasa, dan Mahasiswa Doktoral bidang Linguistik di Universitas Pendidikan Indonesia.