25 radar bogor

Madu Jenazah

Oleh: Dahlan Iskan

SAYA tidak kecewa. Telepon dan WA saya memang tidak direspons oleh Bupati Bojonegoro Anna Mu’awanah. Saya justru bersyukur. Itu berarti bupati lagi menahan diri.

Demikian juga ketika telepon saya tidak lagi direspons Wakil Bupati Budi Irawanto Sabtu lalu. Saya juga bersyukur. Tampaknya sang wakil juga lagi menahan diri.

Saya sama sekali tidak kecewa. Toh saya bukan lagi wartawan dalam pengertian ini: akan dimarah-marahi redaktur kalau tidak berhasil menembus sumber berita.

Saya juga bukan lagi wartawan yang mencari kebanggaan dengan menjadi satu-satunya yang berhasil mewawancarai sumber berita yang sulit dikejar.

Dan lagi, ehm, saya tidak disediakan anggaran untuk mengejar narasumber itu.

Bukan. Bukan itu.

Saya sendiri senang kalau bupati dan wakilnya bisa menahan diri. Yang salah satu bentuknya: tidak melayani wawancara media. Apalagi kalau sang bupati dan wakilnya menyadari kelemahan mereka di depan media: mudah terpancing, tidak mampu memilih diksi yang tepat, dan terlihat egois. Lantas yang keluar di media hanya akan menambah panasnya keadaan.

Yang penting saya sudah menghubungi mereka berdua. Bahwa tidak direspons itu sudah menggugurkan ”kewajiban” saya untuk mendapatkan keterangan dari dua belah pihak.

Apakah berarti ketegangan di Bojonegoro segera reda? Dan akan menuju damai selamanya?

Kelihatannya tidak. Atau belum. Polisi terus memanggil saksi. Dua wartawan sudah diperiksa. “Saya juga sudah dipanggil,” ujar Sasmito, wartawan SuaraBojonegoro.com. Ia menjadi wartawan ketiga yang dipanggil sebagai saksi.

Mereka itu termasuk anggota grup WA ”Jurnalis”. Yang didirikan di tahun 2016, di masa bupati lama. Anggota grup itu 200 orang. Termasuk bupati dan wakil bupati Bojonegoro yang bertengkar itu. Pun bupati sebelumnya, Suyoto, juga masih menjadi anggota. Demikian juga wabup lama, yang tak lain paman wabup yang sekarang.

Di grup WA itulah bupati dan wakil itu berantem. Pemilihan diksi di situ ada yang dianggap mencemarkan nama baik.

Saya sendiri malu melihat copy pembicaraan di WA itu. Pertengkarannya tidak bermutu. Pun para pembaca Disway. Begitu banyak kecaman dari pembaca untuk tingkat logika kalimat yang parah di WA itu.

Sejak kapan mereka bertengkar?

Korslet pertama terjadi tiga bulan setelah pelantikan. Habis Magrib. Malam itu, Sekda Bojonegoro datang ke rumah dinas Wabup -kalau pun ditulis Wabub mestinya juga tidak salah, kalau itu dianggap singkatan dari wakil bupati beneran.

Sekda malam itu membawa segebok berkas. Minta tanda tangan.

“Berkas apa ini?”

“Mutasi jabatan,” jawab Sekda yang sekarang sudah bukan Sekda lagi.

Wawan menolak tanda tangan. Alasannya: bupati baru tidak boleh mengadakan mutasi sebelum enam bulan. Yang lebih penting: ia sama sekali tidak diajak bicara soal mutasi itu.

Setelah itu masih banyak hal terjadi. Tidak usah saya ceritakan di sini. Yang terakhir saja. Ketika istri Wawan meninggal dunia -lebih 100 hari lalu. Bupati melarang jenazah sang istri disemayamkan di rumah dinas.

Wawan pun memutuskan jenazah istri disemayamkan di rumah pribadi. Tapi rumah itu sudah lama tidak dihuni. “Setelah dicek tidak mungkin untuk persemayaman. Kotor sekali,” ujar sepupu Wawan.

Sang sepupulah yang lantas menelepon bupati malam itu juga. Jenazah sudah dalam perjalanan dari Malang. Sang keponakan minta penjelasan mengapa rumah dinas tidak boleh dipakai. Apa dasar hukumnya.

Akhirnya boleh. Tapi sudah panas. Malam itu bupati baik hati: datang melayat. Bupati masuk ruang tengah bersama pelayat wanita. Wawan di ruang depan melayani pelayat pria.

Keduanya tidak ketemu.

Sayang sekali, malam itu tidak terjadi diplomasi mayat.

Padahal banyak pertengkaran bisa selesai dengan alasan melayat. Malam itu mestinya bupati bisa bertemu wakilnya. Lalu salaman. Mengucapkan duka cita.

Wakil bupati mestinya menerima ucapan duka itu. Lalu terjadi basa-basi sebentar. Yang penting sudah ada alasan untuk wawuhan. Setelah itu bisa dilanjutkan dengan babak baru yang lebih baik.

Diplomasi mayat sering terjadi di tingkat negara. Menlu Tiongkok bisa bertemu Menlu Indonesia ketika sama-sama melayat ke Tokyo. Yakni saat Kaisar Hirohito meninggal dunia di tahun 1989. Itulah untuk pertama kali dua Menlu bisa bertemu setelah hubungan diplomatik Tiongkok-Indonesia putus selama 24 tahun. Yakni sejak terjadi G30S/PKI di tahun 1965.

Setelah jenazah Kaisar Hirohito dimakamkan, kedua menlu membicarakan pencairan hubungan diplomatik. Keesokan harinya terjadilah sejarah itu: dua menlu menandatangani perjanjian rujuk. Presiden Soeharto menyaksikan acara itu. Saya, salah satu wartawan yang ikut dalam pesawat kepresidenan, mengabadikan peristiwa itu.

Sayang diplomasi jenazah tidak terjadi di Bojonegoro. Mungkin tidak ada sutradaranya. Jangan-jangan lebih banyak kompor di Bojonegoro daripada air dingin Bengawan Solo yang melewatinya.

Wawan, nama panggilan wakil bupati itu, bertekad tidak akan mencabut pengaduan polisinya. Pun seandainya partainya, PDI-Perjuangan, memintanya.

Wawan sudah aktif di partai itu sejak masih SMA: SMPP Bojonegoro. Kala itu ia jadi salah satu penggerak posko Gotong Royong di Bojonegoro. Di depan rumahnya sendiri -rumah bapaknya- ia bangun pos warna merah itu. Padahal bapaknya itu bendahara Golkar. Hanya saja sang ayah aslinya memang anggota PNI -Partai Nasional Indonesia yang didirikan oleh Bung Karno.

Karir politik Wawan dibangun dari posko Gotong Royong itu. Lalu jadi caleg: terpilih.

Wawan lantas menjadi ketua DPC PDI-Perjuangan Bojonegoro. Sampai tiga periode. Juga menjadi anggota DPRD Bojonegoro tiga periode.

Wawan pernah menjadi ketua balap motor off road. Saya lihat di Instagramnya: lagi mejeng bersama penyanyi rock Nicky Astria -ketika dua-duanya masih culun.

Begitu terpilih jadi wakil bupati, tiba saatnya harus diselenggarakan Konfercab PDI-Perjuangan. Rupanya Wawan tidak dikehendaki lagi menjadi ketua partai. “Ada kekuatan ajaib yang tidak menghendaki saya dipilih lagi,” ujar Wawan suatu waktu.

Tapi anak-anak cabang masih menghendakinya. Riuh. Jadi berita di media lokal.

Konfercab itu diadakan juga. Tapi di Surabaya. Di sebuah hotel di Jalan Embong Malang. Dimunculkanlah seorang anggota DPR dari PDI-Perjuangan sebagai calon ketua baru. Ia bukan orang Bojonegoro tapi dapil-nya Tuban-Bojonegoro. Ribut. Sampai ada kursi yang pindah tempat. Jadi berita besar di media lokal.

Sekian waktu kemudian Konfercab diulangi lagi. Juga di Surabaya. Kali ini di kantor DPD PDI-Perjuangan Jatim. Sang anggota DPR terpilih. Wawan tersisih. Jadi pengurus biasa pun tidak.

Dari situ saya menduga masa depan politik Wawan di partai itu akan habis. Kecuali Wawan mau mencabut pengaduannya.

Wawan menegaskan tidak mau mencabutnya. Maka, dugaan saya, Wawan segera dipecat dari keanggotaan partai. Wawan akan dianggap merugikan nama baik partai: Wakil bupati kok mengadukan bupatinya ke polisi.

Wawan kelihatannya tidak peduli dengan kemungkinan pemecatan itu. Toh jabatan wakil bupati berbeda dengan anggota DPR/DPRD -yang begitu dipecat harus diadakan penggantian antar waktu (PAW).

Mungkin saja DPRD Bojonegoro lah yang akan ”memecat” Wawan dari posisi wakil bupati, -kalau ada aturan untuk itu.

Wawan jagoan off road di kala muda. Kini ia uji nyali lagi di arena politik. (Dahlan Iskan)