25 radar bogor

UU Perlindungan Pekerja Migran Dikritik Kesatuan Pelaut Indonesia

UU Perlindungan Pekerja Migran Dikritik Kesatuan Pelaut Indonesia
UU Perlindungan Pekerja Migran Dikritik Kesatuan Pelaut Indonesia

RADAR BOGOR, Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI) mengkritisi UU No:18 tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.

UU itu dinilai tidak secara jelas mengakomodir perlindungan bagi pelaut RI yang bekerja di luar negeri.

SMK PGRI Sukamakmur Buktikan Sebagai Sekolah Unggulan

“Kami rasakan UU tersebut belum menyentuh substansi dalam memberikan perlindungan bagi Pelaut RI yang bekerja di luar negeri,” ujar President KPI, Prof.Dr.Mathias Tambing dalam keterangannya, Sabtu (25/09).

Menurutnya, Pelaut merupakan salah satu pekerjaan yang memiliki tanggung jawab besar dan berisiko tinggi seperti, kecelakaan kapal dan tenggelam. Untuk mencegah resiko, diperlukan kualifikasi pekerja sebagai pelaut yang lebih ketat dan pemberian perlindungan hukum bagi pelaut yang diatur secara komprehensif.

Mathias menyebut salah satu pasal di UU No:18 tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, hanya disebutkan bahwa Pelaut yang bekerja di luar negeri merupakan pekerja migran, tetapi tidak ada penjabaran lebih lanjut.

“Padahal Pelaut memiliki peran penting dan strategis sebagai penggerak kelancaran perpindahan orang dan barang, menjamin komoditas di dunia berjalan dengan aman, lancar dan selamat sampai tujuan,” ucap Mathias.

Mathias mengemukakan, akibat ketentuan Perundang-undangan nasional yang hingga kini dinilainya belum seimbang dan menimbulkan ketidakpastian hukum, berdampak pada perlindungan pelaut Indonesia masih rendah dan belum sesuai standar internasional.

“Hal ini dibuktikan dengan berbagai permasalahan yang telah dialami pelaut antara lain, penipuan job fiktif, upah tidak dibayar, dokumen palsu hingga perbudakan diatas kapal,” ungkapnya.

Berdasarkan data Kementerian Perhubungan (Kemenhub) total pelaut Indonesia berjumlah 1,2 juta orang per Februari 2021. Para pelaut ini bekerja di kapal perikanan maupun niaga. Bahkan, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi memperkirakan potensi penerimaan negara dari pelaut Indonesia di luar negeri mencapai sekitar Rp.151,2 triliun setiap tahun.

Mathias mengatakan, perlindungan terhadap hak-hak pelaut telah diatur dalam Maritime Labour Convention (MLC) 2006. Namun, kata dia, pada umumnya permasalahan timbul ketika para pihak terkait seperti perusahaan pemilik kapal, perusahaan asuransi, negara bendera, dan negara pelabuhan, saling melempar tanggung jawab dalam penyelesaian kasus penelantaran pelaut.

“Oleh sebab itu, UU No:18 tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia perlu diperkuat agar bisa mengakomodir perlindungan bagi Pelaut. Mari kita bedah bersama beleid itu dan bila perlu di uji materi ke MK bagaimana efektifitasnya tentang UU tersebut,” papar Mathias.

Disisi lain, ujarnya, secara aturan internasional, yang berkaitan dengan aspek implementasi instrumen IMO terkait keselamatan kapal, khususnya dalam hal persyaratan jumlah kru minimum di kapal yang kerap menjadi perhatian dalam penyelesaian kasus penelantaran ABK.

“Oleh karena itu, dibutuhkan pendekatan praktis untuk implementasi MLC 2006 sehingga dapat dicapai penyelesaian kasus penelantaran ABK yang efektif,” ucap Mathias. (Jawapos)