25 radar bogor

Kepercayaan Koran

Kepercayaan Koran
Kepercayaan Koran

Oleh : Dahlan Iskan

SAYA tidak bisa marah. Apalagi menolaknya: hasil penelitian itu. Bahwa kepercayaan masyarakat kepada koran ternyata tidak lebih tinggi dibanding kepada medsos.

Dari 1.020 responden, 32 persen mengatakan tidak percaya pada koran. Angka itu kurang lebih sama terhadap medsos. Atau terhadap televisi.

Berita baiknya: 30 persen masyarakat tidak percaya pada media. Apa saja. Berarti masyarakat sudah lebih independen.

Kabar buruknya: kepercayaan pada media online meningkat. Kepercayaan pada surat kabar menurun.

Itu kabar buruk bagi saya saja. Bukan bagi Anda.

Tahun lalu saya ngotot mendirikan media cetak: Harian Disway. Di Surabaya. Asumsi saya: jurnalisme media cetak akan lebih baik dari jurnalisme online. Dengan demikian media cetak bisa lebih dipercaya.

Hasil penelitian itu seperti menohok saya. Itulah penelitian yang dilakukan Dewan Pers bekerja sama dengan Universitas Prof Dr Moestopo (Beragama) Jakarta. Yang pokok-pokok hasilnya dibeberkan Hendry Ch Bangun dari Dewan Pers.

Kemarin, Serikat Penerbit Pers (SPS) berulang tahun ke-75. Ditandai dengan Zoominar. Bukan saya lagi ketua umumnya. Saya hanya jadi salah satu pembicara.

Saya terkaget-kaget ketika Bangun menampilkan angka-angka penelitian itu.

Yang juga menarik adalah: mengapa mereka tidak percaya pada koran. Hampir 40 persen mengatakan beritanya tidak bisa dipercaya. Koran itu juga dinilai partisan. Dan wartawannya kurang kompeten.

Berita baiknya: itu pula yang menjadi alasan mengapa responden tidak percaya pada berita medsos dan TV.

“Kepercayaan pada online meningkat sedikit menjadi 42 persen. Kepercayaan kepada koran menurun menjadi 37 persen,” ujar Bangun yang baru saja pensiun dari harian Kompas. Bangun pernah menjabat pemimpin redaksi di sana.

Jurnalisme koran ternyata dianggap tidak lebih baik dari online dan TV. Bahkan koran dianggap sama saja: sering menampilkan berita hanya dari satu sumber berita.

Selama ini saya berasumsi hanya media online yang menulis berita dari satu sumber. Wartawan tahu: itu tidak baik. Tapi wartawan juga maklum: kan online. Yang penting harus cepat upload. Sumber berita satunya bisa saja di-upload beberapa detik kemudian.

Ternyata berita koran juga sudah dianggap seperti itu. Cilaka! “Penyakit online” ternyata dianggap sudah menular luas ke media cetak.

Kalau hasil riset mengatakan seperti itu mau apa lagi: koran benar-benar kehabisan harapan.

Orang seperti saya berharap, lama-lama orang akan memilih: media apa yang bisa dipercaya. Lalu pilihan jatuh ke media cetak.

Ternyata salah!

Ternyata persepsi masyarakat sudah menyamakan reputasi jurnalisme koran dengan online. Sama rendahnya.

Kalau kenyataannya seperti itu maka bukan hanya koran yang akan mati. Juga jurnalisme itu sendiri.

“Apakah koran masih bisa hidup?” tanya salah seorang peserta Zoominar.

Dulu, saya menjawab dengan gagah: masih bisa hidup. Sampai kapan pun.

Kemarin saya menjawab: tidak bisa hidup lagi. Kalau toh ada yang masih bisa hidup –seperti di daerah-daerah– itu sekadar hidup. Bukan hidup yang bisa membiayai lahirnya jurnalisme yang ideal.

Saya sebenarnya berharap media cetak akan menjadi penyelamat jurnalisme yang baik. Bahkan sampai saya sebut ”jurnalisme media cetak akan menjadi kasta tertinggi dalam jurnalisme”.

Dari paparan hasil riset kemarin, omongan saya itu menjadi omong kosong. Kecuali, ada usaha yang serius untuk menyelamatkan jurnalisme. Usaha penyelamatan itu pasti tidak bisa dilahirkan oleh media partisan –termasuk partisan perusahaan umum.

Hasil penelitian itu melahirkan kesan pada diri saya:  kepercayaan kepada koran sudah hancur. Padahal bisnis jurnalisme adalah bisnis kepercayaan.

“Apakah tidak bisa diselamatkan?” tanya peserta lainnya.

“Bisa, tapi lama” kata saya. Itu harus dimulai dari usaha membangun kembali kepercayaan kepada koran. Belum tentu memulihkan barang rusak seperti itu bisa berhasil dalam lima tahun.

Salah satu jalan keluar diberikan juga oleh Januar Ruswita, ketua Harian SPS Pusat: koran beralih ke platform digital, tapi semangatnya harus tetap semangat koran.

Tapi ketika ditanya operasionalnya seperti apa, memang belum ditemukan. Sebab, sampai sekarang pun, media cetak yang sudah masuk digital juga belum ada yang sukses.

Hasil riset itu juga menyebut 60 persen responden hanya mau mengikuti media yang gratis. Hanya 10 persen yang mau bayar. Selebihnya tidak tegas.

Disway sendiri pernah melakukan penelitian kecil-kecilan: apakah masih mau membaca Disway kalau harus berbayar.

Hasilnya, Anda sudah tahu: Disway tetap tidak berbayar. (Dahlan Iskan)