25 radar bogor

SPK Indonesia Minta PPN Mengacu Pendapatan Sekolah

Jam Masuk Sekolah berubah imbas penutupan Jembatan Otista
Jam masuk sekolah di Kota Bogor berubah imbas penutupan Jembatan Otista.

RADAR BOGOR, Pajak pertambahan nilai (PPN) bakal dikenakan pemerintah pada sekolah-sekolah berbiaya mahal.

Selama ini sekolah mahal identik dengan sekolah internasional yang kini disebut dengan satuan pendidikan kerja sama (SPK).

Ketua Perkumpulan SPK Indonesia Haifa Segeir berharap PPN untuk lembaga pendidikan tidak memandang status sekolah. Baik SPK maupun sekolah nasional pada umumnya.

”Sebaiknya memakai patokan penerimaan atau pendapatan sekolah tersebut,” katanya tadi malam (14/9).

Haifa mengungkapkan, di Indonesia saat ini ada sekitar 600 unit sekolah berstatus SPK. Mulai tingkat PAUD sampai SMA sederajat. Dia tidak bisa menyimpulkan berapa patokan ideal penghasilan sekolah yang layak dikenai PPN.

Namun, pada prinsipnya, mau sekolah nasional maupun SPK, boleh dikenakan PPN selama mendapatkan penghasilan besar.

Sebab, menurut Haifa, banyak sekolah swasta yang besar dan penghasilannya jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan SPK. Sekolah swasta seperti itu memiliki banyak pemasukan.

Selain dari SPP atau uang sekolah siswa, sekolah tetap menerima dana bantuan operasional sekolah (BOS) dari pemerintah.

Sedangkan SPK tidak bisa menerima dana BOS. Biaya operasional pendidikan murni berasal dari orang tua siswa.

Selain itu, menurut Haifa, guru-guru di SPK tidak bisa mendapatkan tunjangan profesi guru (TPG) layaknya guru di sekolah negeri atau swasta nasional. Padahal, SPK bukan lembaga yang berorientasi laba atau keuntungan.

Di dalam pengurusan izinnya, SPK tetap harus berada di bawah naungan yayasan dan bersifat nirlaba. ”PPN untuk lembaga pendidikan nanti pasti dibebankan kepada masyarakat,” tuturnya.

Sementara itu, rencana pemerintah mengenakan PPN pada sembako masih menuai pro dan kontra. Ekonom Indef Berly Martawardaya mendorong pemerintah membuat perbandingan dengan negara tetangga.

”(Negara, Red) tetangga kita seragam. Sembako semua enggak masuk dalam barang kena pajak,” ucapnya.

Berly mengatakan, acuan tarif PPN yang diusulkan pemerintah kepada DPR ternyata berkaca pada negara Eropa. Semestinya basis yang dijadikan komparasi adalah negara-negara ASEAN maupun Asia Selatan.

Berly mencontohkan kondisi di Malaysia. Di negeri jiran itu, makanan yang belum diproses dan sayur-mayur masih masuk dalam kebutuhan pokok yang belum menjadi objek PPN. Thailand dan Filipina juga tidak mengenakan PPN pada produk sembako, jasa pendidikan, maupun jasa kesehatan.

Senada, peneliti Indef Rusli Abdullah menambahkan, potensi penerimaan PPN sembako terlampau kecil, yakni Rp 4,25 triliun.

Kalkulasi itu didapat dari perhitungan rata-rata pengeluaran per kapita masyarakat untuk konsumsi sembako yang kemudian dikalikan dengan jumlah populasi masyarakat.

”Ini terbilang kecil, jadi tolak PPN sembako,” tegasnya pada kesempatan yang sama.

Selain itu, alasan lainnya, yakni PPN sembako, kurang tepat karena dirancang di tengah krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19. Justru pengenaan PPN sembako bisa membawa tekanan bagi masyarakat.

”Ini membuat masyarakat tertekan dan takutnya ada inflasi,” tambah Rusli.

Wakil Ketua Umum Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) Ngadiran mengatakan, pihaknya mendukung keputusan pemerintah untuk memungut PPN dari sembako dengan kategori premium. Misalnya beras impor premium dan daging sapi wagyu.

”Kalau memang sembako premium akan dikenai PPN, silakan saja. Tapi jangan bahan-bahan pokok yang ada di pasar tradisional,” ujarnya.

Sementara itu, Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Nicholas Mandey menyatakan, pihaknya sudah memberikan masukan kepada pemerintah. Menurut dia, sembako dari hasil alam seperti pertanian, perkebunan, maupun hasil peternakan diharapkan bebas dari PPN.

”Kalau bahan yang diolah oleh pelaku usaha dan pabrikan itu silakan saja dikenai pajak,” ucapnya.

Roy menegaskan, pengenaan PPN sembako akan berpotensi menaikkan harga. Sehingga secara otomatis akan mengurangi daya beli masyarakat. (Jawapos)