25 radar bogor

Dampak dan Penyebab Over Kapasitas Lapas di Indonesia

Wakil Ketua Komisi III DPR, Pangeran Khairul Saleh

LEMBAGA Pemasyarakatan merupakan Unit Pelaksana Teknis di bawah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut Lapas adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan (Undang–Undang RI Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan pasal 1 angka 3).

Narapidana dan anak didik pemasyarakatan yang telah menjalani proses hukum di pengadilan dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap maka selanjutnya harus menjalani pidana serta pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan.

Adapun tujuan dari pemasyakatan itu sendiri adalah membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat.

Di Indonesia terdapat banyak lapas yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Sebagian besar dari lapas-lapas tersebut telah terjadi over kapasitas. Bahkan over kapasitas yang terjadi mencapai lebih dari 100%. Tentu kondisi tersebut bisa berdampak negatif serta berpengaruh pada proses menjalankan pidana dan pembinaan dari seorang narapidana di lapas.

Baru-baru ini kita dikejutkan dengan terjadinya musibah kebakaran yang menimpa Lapas Kelas I Tangerang yang mengakibatkan kurang lebih 41 orang narapidana meninggal dunia. Menteri Hukum dan HAM RI, Yasonna H. Laoly dalam konferensi pers nya pada tanggal 08 September 2021 menjelaskan bahwa salah satu penyebab banyaknya korban yang meninggal dunia adalah karena over kapasitas yang terjadi hampir diseluruh lapas di Indonesia dengan kejahatan narkotika yang mendominasi lebih dari 50% isi lapas termasuk Lapas Kelas I Tangerang.

Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan per tanggal 09 September 2021 jumlah tahanan dan narapidana di Indonesia berjumlah 266.663 orang dengan kapasitas seharusnya berjumlah 132.107 orang, dengan kata lain telah terjadi over kapasitas sebanyak 134.556 orang atau sekitar 201%.

Kondisi tersebut tentunya sangat memprihatinkan karena telah terjadi kelebihan kapasitas sebanyak 2 kali lipat dari yang seharusnya. Dampaknya proses pemidanaan dan pembinaan narapidana di Lapas tidak berjalan efektif, maka perlu ada solusi serta Langkah yang tepat dan strategis untuk mengatasi permasalahan tersebut.

Selanjutnya, kasus tahanan dan narapidana yang berada di lapas sebagian besar merupakan tindak pidana narkoba. Jumlahnya bahkan lebih dari 50% dari total tahanan dan narapidana yang berada di dalam lapas. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pemasyakatan jumlah narapidana tindak pidana narkoba berjumlah 136.030 orang.

Salah satu penyebab tingginya kasus tindak pidana narkoba di dalam lapas adalah banyaknya kasus penyalahguna narkoba yang berakhir pidana. Hal ini disebabkan oleh sistem peradilan pidana di Indonesia yang sangat bergantung pada penggunaan pidana penjara sebagai hukuman utama. Padahal banyak hukuman alternatif lain yang bisa menjadi pertimbangan. Permasalahan yang terjadi di Indonesia selama ini, penanganan terhadap penyalahgunaan narkoba termasuk pengguna lebih menekankan pada aspek pemidanaan dan bukan dari aspek kesehatan.

Keberadaan narapidana pengguna narkoba di dalam lapas bisa berdampak negatif terhadap narapidana itu sendiri. Seorang pengguna sejatinya perlu dilakukan pendekatan dari segi kesehatan untuk menghilangkan ketergantungan terhadap narkoba itu sendiri dan bukan dilakukan pemidanaan.

Pemidanaan justru malah bisa meningkatkan resiko peningkatan status dari pengguna menjadi pengedar atau bahkan bandar. Hal ini dikarenakan di dalam lapas tentunya tidak hanya terdapat pengguna saja tetapi juga pengedar dan bandar narkoba. Sehingga tidak efektif jika seorang pengguna narkoba di tempatkan di dalam lapas. Untuk itu, sebaiknya untuk pengguna narkoba dilakukan alternatif hukuman lain.

Pemerintah dalam hal ini para penegak hukum yang menangani masalah penyalahgunaan narkoba harus lebih baik dalam menangani kasus penyalahgunaan narkoba. Indonesia harus benar-benar menerapkan dekriminalisasi pengguna narkoba yaitu mengacu pada penghapusan atau pengambilan jalur non-hukum pidana bagi kasus penggunaan narkoba.

Konsep dekriminalisasi pengguna narkoba dilaksanakan dalam konsep kesehatan masyarakat. Ini merupakan kunci utama dari pergeseran pandangan kriminalisasi (pidana) pengguna narkoba ke dekriminalisasi. Pidana tidak lagi mampu menjawab persoalan yang sesungguhnya dihadapi dalam masalah narkoba yaitu masalah kesehatan masyarakat.

Dekriminalisasi pengguna narkoba akan memberikan dampak yang sangat signifikan pada over kapasitas lapas. Secara langsung akan mengurangi beban lapas, termasuk anggaran dan ketersediaan fasilitas serta sumber daya manusia.

Dekriminalisasi juga akan memberi fokus program rehabilitasi bagi pengguna narkoba tanpa ada kriminalisasi. Maka, pengguna narkoba tidak perlu lagi dihadapkan dengan kondisi tempat tahanan dan lapas yang sangat tidak ramah dengan kesehatan para pengguna narkoba.

Pemerintah Indonesia menetapkan pengaturan narkoba dalam Undang-Undang (UU) Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Permasalahan narkoba, selain dianggap dapat merusak masa depan bangsa, juga tidak dapat dipisahkan dengan permasalahan kesehatan.

Dalam ketentuan UU Nomor 35 Tahun 2009 dimana pengguna narkoba dapat dikategorikan sebagai pecandu yaitu orang yang menggunakan atau yang menyalahgunakan narkoba dan dalam keadaan ketergantungan pada narkoba, baik secara fisik maupuan psikis dan berhak untuk mendapatkan atau mengakses rehabilitasi medis dan rehabilitas sosial.

Hak atas pemulihan kesehatan pengguna narkoba dari kecanduannya itu senada dengan ketentuan WHO yang mengategorisasikan adiksi (kecanduan) sebagai suatu penyakit kronis kambuhan yang dapat dipulihkan. Dalam penerapannya, terdapat beberapa pasal dalam UU Narkoba yang sering digunakan penuntut umum, baik dalam dakwaan maupun tuntutan mulai dari pasal 111, 112, 114 dan 127 UU Narkoba.

Kecenderungan penggunaan pasal ini membawa pengaruh signifikan terhadap penempatan seorang pengguna narkoba di lembaga rehabilitasi, baik medis maupun sosial. Dapat atau tidaknya menjalani proses rehabilitasi pada tahap penyidikan dan penuntutan akan tergantung kepada proses asesmen yang dilakukan.

Proses asesmen dilakukan oleh Tim Asesmen Terpadu yang terdiri dari Tim Hukum dan Tim Dokter. Melalui Tim Asesmen Terpadu akan ditentukan apakah seorang tersangka atau terdakwa penyalahguna narkoba sebagai pengedar atau pecandu narkoba dan melalui Tim Medis akan diuji kandungan serta tingkat keparahan pengguna narkoba. Apabila berdasarkan pemeriksaan Tim Asesmen Terpadu diputuskan dapat menjalani rehabilitasi medis, maka tersangka atau terdakwa penyalahguna narkoba akan diserahkan ke lembaga rehabilitasi.

Koordinasi antara penyidik atau penuntut umum dengan lembaga rehabilitasi medis dapat dilihat dari awal penyerahan, pelaksanaan, hingga penyerahan kembali kepada penyidik atau penuntut umum. Khusus untuk rehabilitasi yang dilaksanakan dengan rawat jalan, kewenangan menghadirkan tersangka atau terdakwa yang direhabilitasi ada pada lembaga yang menyerahkan (penyidik atau penuntut umum).

Program rehabilitasi baik rehabilitasi medis maupun rehabilitasi sosial bagi pengguna narkoba sudah terdapat aturannya di dalam Undang-undang. Namun penerapannya dalam proses hukum di Indonesia tidak sepenuhnya berjalan dengan baik. Banyak pecandu atau pengguna narkoba yang berakhir pidana di dalam lapas sehingga mengakibatkan over kapasitas lapas.

Para penegak hukum yang menangani kasus penyalahgunaan narkoba dalam hal ini BNN harus lebih proaktif untuk menanggulangi penyalahgunaan narkoba dengan melakukan asesmen terhadap tersangka atau terdakwa penyalahguna narkoba selama proses persidangan untuk menentukan apakah tersangka atau terdakwa tersebut termasuk kedalam pengguna narkoba yang harusnya dilakukan rehabilitasi atau pengedar dan bandar yang harus di pidana di dalam lapas.

BNN harus lebih banyak menyediakan tim asesor sendiri dibawah BNN dan membuat balai rehabilitasi BNN yang lebih banyak yang tersebar di berbagai daerah di seluruh Indonesia sehingga ada wadah atau tempat untuk rehabilitasi bagi pengguna narkoba.

Lapas merupakan akhir dari proses peradilan pidana. Penanganan over kapasitas di dalam Lapas perlu dilakukan dari awal proses peradilan. Asesmen bagi penyalahguna narkoba harus benar-benar dilakukan sehingga proses pemidanaan tepat pada sasaran. Penanganan yang tepat bagi pecandu dan pengguna narkoba adalah dengan rehabilitasi medis maupun rehabilitasi sosial dan bukan ditahan di dalam lapas. Jika hal tersebut bisa dilakukan dengan baik, maka masalah over kapasitas di dalam lapas bisa berkurang.

Permasalahan over kapasitas di lapas tentunya bukan kesalahan dari lapas itu sendiri. Keterbatasan jumlah lapas di Indonesia saat ini tidak sebanding dengan narapidana yang masuk ke dalam lapas. Lapas menjadi tempat akhir bagi seorang terpidana untuk menjalani pidana . Sehingga rasanya tidak elok jika masyarakat pada umumnya hanya menyalahkan Lapas karena permasalahan over kapasitas. Penanganan over kapasitas menjadi tanggung jawab seluruh elemen penegak hukum tidak hanya Kementerian Hukum dan HAM saja.

Kepolisian, Kejaksaan dan lembaga penegak hukum lain terkait harus ikut andil dalam penanganan over kapasitas di lapas. Pembangunan lapas baru bukan menjadi solusi terbaik untuk menangani permasalahan over kapasitas. Yang harus dilakukan adalah salah satunya dengan mengurangi jumlah narapidana yang masuk ke dalam lapas.

Hal ini bukan berarti mengendorkan penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan. Tetapi membuat suatu regulasi atau aturan yang memungkinkan bagi pelaku kejahatan dihukum dengan alternatif hukuman lain selain pidana sehingga mengurangi jumlah terpidana yang masuk ke dalam lapas. Hal tersebut pada akhirnya akan berdampak pada penurunan over kapasitas di lapas. Semoga permasalahan over kapasitas di Indonesia ini bisa segera teratasi dengan solusi terbaik. (*)

Penulis : Wakil Ketua Komisi III DPR, Pangeran Khairul Saleh