25 radar bogor

Kong Teguh: Paku Alam VIII, Mengabdi Tanpa Kenal Waktu

Sri Paduka Pakualam VIII. Sumber wikipedia
Sri Paduka Pakualam VIII. Sumber wikipedia

JAKARTA – RADAR BOGOR, Telah banyak literatur yang bercerita tentang sosok Sri Sultan Hamengkubuwono IX tapi sepertinya tidak banyak yang mengungkap tentang ‘partner’ perjuangannya, yaitu Sri Paduka Pakualam VIII. Wartawan senior Teguh Setiawan pun mencoba memulai dari sebuah satu ilustrasi kecil tentang masa mudanya Pakualam VIII. Beliau dikenal dengan nama Gusti Raden Mas Haryo Sularso Kunto Suratno.

Lahir sebagai anak dari keluarga bangsawan ia mendapatkan kesempatan menempuh pendidikan di Europeesche Lagere School (ELS) sekolah untuk anak-anak Eropa. Kemudian dilanjutkan, setelah lulus ia ditanya oleh gubernur Jenderal Belanda, waktu itu adalah Andries Cornelies atau lebih lengkapnya Andries Cornelies Dirk de Graeff yang menjabat pada saat itu.

“Pertanyaannya begini, ‘mau melanjutkan sekolah di mana?’, si Pakualam menjawab “wah saya mau sekolah di akademi militer Belanda. Tahun itu sekitar tahun 1920-an akhir, kira-kira ditahun itu sangat tidak mungkin pribumi dari kasta manapun bersekolah. Terus kemudian, Gubernur Jenderal itu sambil tersenyum agak kecut nih, menjawab atau mengatakan ‘Iya, setelah kamu lulus pasti jadi pemberontak,’nah peristiwa itu kemudian berlalu saja,” ujar peraih penghargaan Adinegoro tersebut kepada wartawan, Minggu 22 Agustus 2021.

Dari pernyataan sikap Pakualam yang ingin bersekolah di Akademi Militer Belanda, menurut Teguh dalam tradisi masyarakat Jawa dapat diartikan sebagai sikap perlawanan masif, perlawanan yang tidak kelihatan. Hal itu sebuah ilustrasi yang kemudian bisa melihat bagaimana pribadi Sri Pakualam VIII sudah mencerminkan perlawanan sejak usia yang masih sangat muda. Padahal itu usianya masih belum 20-an.

Pakualam kemudian melanjutkan sekolah ke Batavia, tepatnya Law School di Batavia. Hanya dua tahun, ia balik ke Jogja dan kemudian memilih pekerjaan yang agak sedikit unik. Karena sifatnya yang mau dekat dengan rakyat maka ia memilih di bidang agraria pada saat itu.

“Jadi kalau melihat peristiwa ini, tidak aneh kalau tahun 1975, Pakualam yang saat itu sebagai Wakil Gubernur mengeluarkan instruksi 898, yang memerintahkan agar tidak memberikan hak milik atas tanah kepada warga negara non-pribumi yang meliputi ‘Europeanen’ (orang Eropa/berkulit putih) dan ‘Vreemde Oosterlingen’ (Timur Asing termasuk Tionghoa, Arab, India maupun non-Eropa lainnya) di Jogjakarta,” kata pria yang akrab disapa Kong Teguh ini.

Jika mau melihat kembali di masa awal kemerdekaan Indonesia terutama pada tahun-tahun 45 sampai 50 bahkan seterusnya, sampai kemudian orde baru, maka kita bisa melihat di momen 2 hari setelah proklamasi, setelah Soekarno dan Hatta memproklamirkan kemerdekaan RI.

Pakualam VIII kemudian bersama dengan pasangan duetnya dalam berjuang yaitu Sri Sultan Hamengkubuwono IX mengirim telegram ke pemerintah Republik Indonesia yang baru berusia dua hari itu. Momen itulah yang secara jelas dapat menggambarkan bagaimana sikap ke-Indonesiaan duet Sultan Hamengkubuwono dan Pakualam.

Padahal harus dimengerti bahwa status Kasultanan dan status Pakualam saat itu adalah, yang dalam masa penjajahan Belanda, disebut sebagai negara berpemerintahan sendiri. Artinya Jogjakarta adalah negara dalam negara. Bahkan Jogjakarta tidak pernah masuk dalam catatan daerah yang berada dalam kekuasaan Belanda. Pada masa Jepang juga gitu, mereka memperlakukan Jogja dan Papua lama sebagai daerah berpemerintahan sendiri.

Namun Sri Paduka Pakualam VIII dengan kerendahan hatinya dibawah arahan Sri Sultan Hamengkubuwono IX menyatakan menjadi bagian dari Republik Indonesia. Itu tertera amanat tanggal 5 September 1945. Amanat Hamengkubuwono dan Pakualam dibuat secara terpisah ya, ada amanat Hamengkubuwono dan maklumat Pakualam.

“Maklumat Pakualam ditulis dengan sangat menarik kalau menurut saya, karena tanggalnya itu menggunakan penanggalan Jawa 28 puasa, di sini ada tulisan Ehe 1876. Itu kalau tidak salah pada hitungan menggunakan penanggalan Jawa. Pada maklumat itu Sri Pakualam, ditegaskan bahwa bagaimana Pakualam sebagai pemegang kekuasaan Negeri Pakualaman menyatakan diri menjadi bagian dari Republik Indonesia. Artinya, kemudian sebagai bagian dari Republik Indonesia dia bertanggung jawab atas negerinya dan menjalankan kewajibannya sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Dan itu benar-benar dijalankan hingga akhir hayatnya.”

Menurut Teguh, ada beberapa peristiwa menarik, yakni saat Jepang menyerah, lalu terjadi gegap gempita di mana-mana di seluruh kota Jogja. Orang turun ke jalan, membawa bambu runcing dan menurunkan bendera Jepang, lalu kemudian dilanjutkan dengan pelucutan senjata tentara Jepang.

“Anda bisa bayangkan persenjataan yang jumlahnya sedemikian besar berada di tangan rakyat. Tentu akan sangat berbahaya karena bisa muncul kemungkinan bahwa senjata tersebut bukan digunakan untuk mempertahankan kemerdekaan dari kedatangan Belanda, namun memicu kelompok-kelompok yang saling curiga untuk saling serang,” ujarnya.

Mengatasi situasi yang sangat sulit itu, Pakualam VIII muncul bersama Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Mereka mengundang kelompok-kelompok pemuda dan orang-orang yang terlibat dalam perebutan persenjataan Jepang. Itu ada terkumpul sekitar 50 orang.

Keduanya kemudian menggunakan kewenangannya sebagai Raja Jawa yang sangat dihormati dan dengan kerendahan hati menyampaikan kepada rakyatnya bahwa betapa bahayanya senjata itu jika ada di tangan rakyat kebanyakan. “Ya, tentu saja pembicaraan tidak berjalan mulus begitu saja, tetapi kemudian muncul kesepakatan yaitu dengan pembentukan laskar rakyat,” terangnya.

Laskar rakyat adalah orang-orang yang berperan dalam proses pelucutan senjata tentara Jepang hingga kemudian senjata dapat dikuasai. Dalam pertemuan tersebut Sultan dan Pakualam didampingi Muhammad Saleh yang berasal dari kubu Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID).

“Itulah saat, kalau menurut saya, pertama kalinya seorang Sri Pakualam dilibatkan dalam cikal bakal militer Indonesia bersama Hamengkubuwono yang kemudian membentuk Laskar Rakyat. Yang berikutnya adalah peran Pakualam yang sangat besar saat terjadi agresi militer Belanda. Pada saat itu, pemerintahan Indonesia beribukota di Jogjakarta,” jelasnya.

Lalu kenapa kemudian Jogjakarta yang dipilih sebagai pusat pemerintahan dan sebagai ibu kota? Ada banyak faktor, tapi menurut Teguh yang paling penting adalah faktor ketegasan dari Sri Sultan Hamengkubuwono dan Pakualam untuk mendukung Republik Indonesia.

Selain itu, Jogja adalah lokasi yang memiliki ekonomi yang kuat, karena Kasultanan dan Pakualaman pada saat itu memiliki berbagai fasilitas dan dana cukup seperti yang dibutuhkan untuk menangani pekerjaan pemerintah. Mereka berdua memiliki banyak properti yang dapat ditempati oleh para pemimpin negeri serta kesediaan logistik dan akomodasi, dan tentu saja selain itu, adalah langkah tegas mereka untuk senantiasa mendukung Republik Indonesia.

“Ibu kota kan pindah ke sana, kita dulu mungkin tidak pernah membayangkan ketika itu pemerintahan Indonesia baru saja terbentuk, menteri-menteri, presiden dan jenderal-jenderal itu yang gaji siapa? Yang menggaji mereka selama di Jogja, atau bahkan setelah kembali ke Jakarta adalah Sultan Hamengkubuwono dan Pakualam. Bagaimana kemudian para Jenderal seperti Jenderal Oerip Soemohardjo dikasih rumah, diberikan rumah dinas, terus Soedirman diberikan rumah dinas bahkan saat Soedirman harus bergerilya, keluarganya tetap diurus dengan sangat baik oleh Pakualam.
Puri Pakualaman atau Puro Pakualaman, yaitu istana Pakualaman itu, kalo dalam Istilahnya Muhammad Subarkah yang orang Jogja, dalam sejarahnya sudah bagaikan sudah jadi istana Republik.”

Presiden Soekarno dan keluarganya tinggal di situ, Megawati Soekarnoputri bahkan lahir disitu. Terus tentara-tentara semuanya dikasih akomodasi yang terbilang sangat nyaman oleh kedua Raja ini. Ketika kemudian tentara Republik Indonesia harus keluar dari Jogja yaitu setelah terjadi agresi militer kedua. Pada saat itu Jogja dikuasai Belanda. Pakualam-lah yang kemudian memberikan jalan agar para tentara dapat lari dari Jogjakarta dan melanjutkan perjuangan yang dipimpin langsung oleh Jenderal Soedirman.

Terus kemudian yang namanya orang bergerilya itu kan masuk kota kadang-kadang diam-diam. Si Pakualam selalu menyediakan nasi bungkel atau nasi bungkus yang kemudian dikenal dengan ‘nuk revolusi’. Nasi bungkus atau Nuk Revolusi ini diberikan kepada para pejuang yang lewat istana Pakualaman atau sekedar mampir duduk sebentar lalu lari lagi, dan itu tidak dilakukan berhari-hari namun juga berbulan-bulan. Intinya Pakualam tidak mau ada pejuang yang merasa lapar. Bukan main, seolah duit Pakualam nggak abis-abis gitu untuk membiayai semua itu.

Tidak itu saja, Sri Pakualam juga mengerahkan para dokter-dokter, perawat-perawat yang ada di jogjakarta dan di wilayah kekuasaannya untuk keluar memberikan pelayanan kesehatan secara gratis kepada pejuang dan rakyat biasa, semua biayanya dibayarkan oleh Pakualam dan Sultan Hamengkubuwono. Karena perannya yang luar biasa selama masa revolusi, maka kemudian Pakualam diangkat menjadi gubernur militer.

Hal itu terjadi saat Sri Sultan Hamengkubuwono kemudian ditarik menjadi menteri, menduduki salah satu pos kementrian di masa Pemerintahan Soekarno. Apa yang dilakukan oleh Sri Pakualam selama menjadi gubernur militer? Sri Pakualam VIII melakukan reorganisasi untuk memperkuat sistem pertahanan, padahal saat itu sedang terjadi konflik berkepanjangan dengan Belanda. Namun Pakualam bekerja dengan sangat cepat dan sangat strategis. Hal tersebut berlangsung sampai setelah agresi militer, menjelang konferensi meja bundar, yang kemudian di tahun 1949 terjadi PKMB, penyerahan kedaulatan jadilah Republik Indonesia negara yang berdaulat.

Setelah tahun 1950, perjuangannya tidak terhenti hanya saat Belanda menyerahkan kedaulatan dan Republik Indonesia menjadi negara berdaulat. Peran yang diambil Sri Pakualam VIII kemudian adalah di bidang politik, dialah yang kemudian mengorganisir, kemudian menjadi ketua pemilihan umum daerah, dia terjun langsung menjelaskan kepada masyarakat apa yang dimaksud dengan pemilihan umum dan bagaimana kemudian masyarakat mendukung pemilihan umum itu.

Disinilah kepiawaian itu sebenarnya sudah dia tempa sekitar tahun 1945 saat ia melakukan penataan pemerintahan. Misalnya di kadipaten Pakualaman pada sebelum-sebelumnya itu yang namanya kepala desa atau lurah itu kan di tunjuk langsung. Pakualam lah yang kemudian memperkenalkan sistem pemilihan, sebuah mekanisme demokrasi tingkat bawah telah diperkenalkan oleh Pakualam.

Ini bukan sesuatu yang aneh, bila kemudian ia bisa menjelaskan tentang pemilihan umum kepada rakyat. Apalagi pemilihan umum untuk yang pertama kali itukan sangat tidak mudah. Bahkan sampai kemudian banyak partai-partai yang saling sikut dan ditengah masyarakat yang tidak yang belum sepenuhnya mampu berpolitik secara demokratis.

Menurut Teguh, peran Pakualam sangatlah monumental dalam bidang politik. Dia sendiri kemudian sempat menjadi anggota MPRS, dan kemudian pada pemilu berikutnya dia masih melakukan peran yang sangat penting sebagai salah satu penjaga stabilitas politik bangsa.

“Kalau saya melihat Pakualam ini adalah sebuah sosok yang memiliki multiperan. Mengapa multiperan? Karena dia sekalipun berada berdampingan dengan Sri Sultan Hamengkubuwono tapi dia tidak pernah menonjolkan kiprahnya. Pakualam tidak merasa tidak tertindih oleh kiprah Sri Sultan Hamengkubuwono. Pakualam tetap pada kemampuan sebagai pemimpin, kemampuannya menghasilkan ide-ide brilian, dan dia senantiasa teguh menjalankan ide-idenya itu,” ujarnya.

Kiprahnya dibidang sosial budaya juga tak kalah seru, dia mendirikan yayasan Roro Jonggrang yang bergerak di bidang seni budaya utamanya menyelenggarakan sendratari kolosal setiap bulan purnama di panggung terbuka Candi Prambanan. Lalu kemudian dia juga berperan aktif menjadi ketua museum perjuangan di Yogyakarta, penggagas pendirian kebun Binatang Gembira Loka dan masih banyak lagi peran yang dimainkan serta gagasan-gagasan beliau lainnya.

Saat Sri Sultan Hamengkubuwono IX menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia mendampingi Presiden Soeharto, Pakualam VIII secara sepenuhnya berperan menjadi kepala daerah istimewa Yogyakarta. Itu dimainkan dengan sangat baik. Namun anehnya, beliau tidak pernah menempatkan diri sebagai kepala daerah beliau selalu menjaga agar sosok Sri Sultan sebagai Gubernur DIY tetap pada tempatnya. Karena ketokohannya dan kelihaiannya mengambil tempat tanpa harus mendominasi panggung kepemimpinanlah maka tidak sulit baginya untuk berbicara kepada rakyatnya.

“Sejujurnya saya baru membaca beberapa skripsi penelitian sejarah soal sosok Pakualam ini. Ada yang menyebutkan, beliau merupakan pribadi yang sangat sederhana, hobinya juga tidak aneh-aneh, antara lain berkuda, menembak dan panahan. Olah raga panahan dilakukannya untuk melatih kesabaran dan menjaga agar senantiasa dapat fokus.”

Pakualam bahkan merupakan penggagas berdirinya Persatuan Panahan Seluruh Indonesia (Perpani). Dia tidak larut dalam kehidupan-kehidupan elit dengan olahraga yang mahal, Pakualam tidak menjalankan olah raga yang hanya mencerminkan status sosialnya. Dia tetap tekun dan konsisten menyukai hobi masa kecilnya yaitu panahan. Menyadari manfaat dari olah raga panahan ini, maka ia mengharuskan anak dan cucunya belajar memanah sejak usia dini, bahkan abdi dalem Puri juga diajarinya memanah.

Beliau adalah sosok yang konsisten dan sportif dengan apa yang sudah menjadi keputusannya, bahkan ada peristiwa yang sangat menarik yaitu pada saat revolusi itu dia kumpulkan para abdi dalem (pembantu). Bila sebelumnya abdi dalem sepenuhnya mengabdi dan setia kepada sang raja, kepada istana, tetapi setelah Pakualaman dan Yogyakarta menyatakan setia kepada republik Indonesia menjadi bagian dari Indonesia, sebagai daerah istimewa, maka Pakualam mengatakan bahwa kesetiaan kita sekarang adalah kepada Republik Indonesia. Jadi, Pakualam telah mengajarkan situasi politik yang kemudian dinarasikan ke dalam Puri.

“Juga kepada semua orang, bagaimana posisi istana Pakualaman setelah menyatakan bagian dari Republik Indonesia. Saya rasa itu adalah sikap yang sangat menarik, didukung dengan cara berkomunikasinya yang elegan di hadapan istri, anak-anaknya, para sanak, abdi dalem dan masyarakatnya,” ujarnya lagi.

Banyak peristiwa yang senantiasa diingat oleh masyarakat Jogja menggambarkan betapa perhatiannya beliau pada orang yang sedang berkesusahan, antara lain saat beliau bersama dengan Sri Sultan Hamengkubuwono membagikan minyak tanah dan lilin. Peristiwa itu terjadi antara tahun 1945 sampai tahun 1950.

Tekanan ekonomi menghantam Kasultanan dan Pakualaman dengan keras. Nah, duet Sultan dan Pakualam menyadari sekali bahwa kondisi tersebut merupakan cara Belanda untuk menaklukkan rakyat Jogja, yaitu dengan mencekik secara ekonomi yang membuat rakyat menderita. Maka Sultan dan Pakualam turun membagikan minyak tanah menggunakan botol berisi satu liter yang kemudian digunakan sebagai penerangan. Mengingat waktu itu listrik juga sangat terbatas, Maka istana Pakualaman menyediakan listrik untuk rumah sakit dan klinik-klinik.

Nah sementara masyarakat lainnya menggunakan lampu minyak tanah. Pada saat itu minyak tanah sangat sulit didapat, kalaupun didapat pasti dengan harga yang sangat mahal. Pakualam ternyata tidak tinggal diam, beliau mencerminkan seorang pemimpin yang berusaha dengan keras memenuhi kebutuhan bagi masyarakatnya yang sedang dalam keadaan sangat sulit. “Jadi kalau menurut saya sebenarnya kalau kita bicara soal Sri Paduka Pakualam VIII ini, perannya untuk negeri ini yang kalau terhitung dari tahun 45 sampai sekarang ini maka nggak selesai satu hari. Karena kalau kita baca banyak teks sejarah atau skripsi yang ditulis oleh anak-anak mahasiswa atau penelitian-penelitian baru maka selalu muncul informasi menarik,” terangnya.

“Namun, saya nggak tau kenapa ya kemudian hingga saat ini pemerintah belum juga menjadikannya pahlawan nasional. Saya rasa sudah waktunya Pakualam VIII itu menerima gelar pahlawan nasional, dia adalah bagian integral dalam perjalanan perjuangan bangsa Indonesia. Bukan hanya antara tahun 45 sampai 49 tapi kemudian seterusnya. Jangan sampai kita yang tinggal melanjutkan kemerdekaan ini dianggap lupa diri dan tidak menghargai jasa dan pengorbanan beliau sehingga NKRI masih sanggup berdiri kokoh di bumi pertiwi,” pungkasnya. (*)