25 radar bogor

Tuai Polemik, Kemendikburistek Diskusikan Kembali Statuta UI

Dirjen Dikti, Nizam

RADAR BOGOR – Kemendikbudristek akhirnya buka suara soal polemik perubahan Peraturan Pemerintah (PP) 75/2021 tentang Statuta Universitas Indonesia (UI).

Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti) Kemendikburistek, Nizam menyatakan revisi PP tersebut sudah digagas internal UI sejak 2019 lalu.

PP yang diteken Presiden Joko Widodo awal Juli itu menuai polemik. Sebab di dalam PP tersebut dinyatakan Rektor serta pejabat teras UI lainnya tidak dilarang rangkap jabatan sebagai komisaris BUMN/BUMD atau perusahaan swasta.

Berbeda dengan PP 68/2013 tentang Statuta UI yang melarang rektor menjadi komisaris BUMN/BUMD atau perusahaan swasta.

Dengan perubahan PP tentang Statuta UI tersebut, Ari Kuncoro yang rangkap jabatan sebagai Rektor UI sekaligus Wakil Komisaris Utama/Independen BRI kini tidak melanggar aturan.

Nizam mengatakan UI adalah salah satu perguruan tinggi negeri (PTN) yang berstatus sebagai PTN Badan Hukum (PTNBH). Sesuai dengan UU 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi, PTNBH memiliki otonomi penuh untuk mengelola perguruan tinggi untuk urusan akademik maupun non akademik. ’’Termasuk dalam mengajukan perubahan statuta,’’ katanya kemarin (21/7).

Guru besar UGM Jogjakarta itu menjelaskan perubahan statuta UI diinisisi oleh internal UI sejak 2019 lalu. Kemudian perubahan statuta itu dibahas bersama dengan Kemendikbudristek sejak awal 2020. Nizam mengatakan pembahasan perubahan statuta itu dilakukan dengan Kemendikbudristek hingga 10 Mei 2021.

Pembahasan perubahan tersebut melibatkan Majelis Wali Amanat (MWA), rektorat, senat akademik, serta dewan guru besar. ’’Statuta pada dasarnya adalah aturan tata kelola yang diinginkan dan dirancang oleh perguruan tinggi,’’ jelas Nizam. Sehingga statuta merupakan pilihan yang merepresentasikan seluruh komponen di suatu perguruan tinggi.

Selain itu Nizam mengatakan statuta sebuah perguruan tinggi itu bisa direvisi. Apabila ada pihak-pihak memiliki masukan lebih lanjut terkait statuta UI saat ini, dapat mengajukan revisi atau perubahan kepada organ-organ resmi di dalam UI. Prosedur ini digulirkan di seluruh PTN yang otonom. Dia mengatakan Kemendikbudristek akan mendiskuisikan penyesuaian statuta tersebut bersama internal UI. ’’Berdasarkan amsukan dari berbagai pihak, sesuai prosedur yang berlaku,’’ jelasnya.

Ketua Fraksi PKS DPR Jazuli Juwaini mengatakan, perubahan statuta UI seolah menantang publik yang mengkritik praktik rangkap jabatan rektor UI yang melanggar statuta UI. Rupanya praktik yang sama juga berlaku di beberapa kampus. “Ini kan namanya akal-akalan aturan. Dimana etikanya?,” kata Jazuli geram.

Jazuli menilai PP Statuta UI yang baru menjadi preseden buruk bagi independensi akademik. Rangkap jabatan rektor dengan jabatan yang tidak ada kaitan dengan dunia akademik merusak upaya memajukan pendidikan tinggi. Jangankan dari sudut independensi, secara teknis sudah pasti kerja rektor dengan beban tanggung jawab yang sudah berat menjadi tidak fokus. Kecuali memang ada motif rente dan politis dibalik rangkap jabatan tersebut.

Alih-alih mengejar kualitas akademik dan menjadikan kampus UI sebagai universitas kelas dunia atau world class university, rangkap jabatan rektor justru menjadi sumber masalah dan merusak upaya memajukan kualitas pendidikan. “Bagaimana kampus-kampus kita bisa maju kalau begini praktiknya?,” ungkap Jazuli.

Apalagi, lanjut anggota Komisi I DPR RI itu, jabatan komisaris BUMN di negeri ini kadung identik dengan kepentingan politik sebagai politik balas jasa dan oligarki penguasa. Menjadikan rektor atau pejabat kampus sebagai komisaris hanya akan menyeret kampus pada kepentingan politik sempit yang akhirnya bias kepentingan dan sudah pasti mengancam independensi akademik.

Kalau sudah begitu, kata Jazuli, dunia akademik tidak bisa leluasa alias ‘ewuh pakewuh’ mengkritik pemerintah. Sebaliknya pemerintah merasa bisa mengontrol kampus termasuk dalam hal kebebasan berpendapat di dunia akademik. Contohnya jelas, seperti yang terjadi pada BEM UI dan juga BEM di beberapa kampus yang dipanggil dan diperingatkan rektorat, karena sikap kritisnya pada presiden dan pemerintah. “Janganlah pemerintah justru melanggengkan praktik yang mundur dalam demokrasi dan akademik ini,” tegas Jazuli.

Di sisi pengelolaan BUMN yang profesional, menurut Jazuli, praktik rangkap-rangkap jabatan jelas merugikan. Jabatan BUMN dijadikan sampingan atau objek kepentingan, sehingga pantas saja BUMN banyak yang merugi dan tidak maju-maju.

Apakah dari 270 juta rakyat tidak ada yang mampu menjadi Komisaris BUMN yang bisa bekerja fokus tanpa harus dirangkap oleh beberapa pejabat lain. “Fakta bahwa saat ini BUMN banyak yang merugi harusnya disikapi dengan mencari orang yang tepat, yang bisa fokus dan konsentrasi mengurus BUMN agar tidak rugi terus,” pungkas legislator asal Dapil Banten itu.

Eks Juru Bicara KPK Febri Diansyah menilai perubahan PP tentang Statuta UI menimbulkan sejumlah pertanyaan. Pertama, terkait dasar hukum pengangkatan Ari Kuncoro sebagai komisaris apakah menggunakan aturan yang lama atau aturan yang baru. “Kalau mengacu aturan yang lama, rektor jelas dilarang merangkap sebagai pejabat di BUMN. Otomatis muncul pertanyaan, pengangkatan (sebagai komisaris) sah atau tidak,” ujarnya.

Dasar hukum pengangkatan itu menjadi penting lantaran berkaitan dengan gaji dan fasilitas lain yang diterima Ari Kuncoro selama menjabat sebagai komisaris. “Pertanyaannya yang lain, setelah ini apakah rektor UI akan diangkat kembali menjadi komisaris dengan Statuta UI yang baru atau dibiarkan dengan SK yang lama?,” lanjut Febri.

Ungkapan kekecewaan juga disampaikan oleh aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI).

kampus Institut Teknologi PLN, sekarang sebagai

Koordinator Media BEM SI Muhammad Rais mengaku, para mahasiswa sangat menyayangkan kejadian ini. Keputusan presiden mengubah aturan statute ini seolah membenarkan julukan yang sebelumnya diberikan oleh BEM UI, yakni king of lips service.

Bagaimana tidak, sebelumnya, Jokowi sudah pernah menegaskan tidak boleh ada rangkap jabatan bagi para menteri dan pejabatnya. Bahkan, saat itu dia mengatakan, bahwa satu jabatan saja belum tentu berhasil apalagi dua.

“Mungkin dianggap basi atau apa oleh presiden (ucapan tersebut, red),tapi bagi kami janganlah pemerintah memberi contoh ketidakkonsistenan,” ungkapnya.

Selain itu, kata dia, cerminan buruk ini dikhawatirkan bakal terjadi kembali ketika ini dibiarkan. Tidak ada jaminan dalam satu tahun atau satu bulan berikutnya kondisi serupa terjadi. Di mana, bila ada suatu hal yang jelas melanggar aturan namun yang diselesaikan bukan permasalahannya, tapi ganti aturannya.

Hal ini pun menimbulkan tanda tanya besar bagi para mahasiswa. Terlebih soal seberapa istimewa sosok rector UI hingga presiden pun bersedia mengubah aturan demi menyelamatkannya. ”Banyak kabar beredar kalau beliau orang dibalik layar, termasuk soal omnibus law dan lain-lain. Tampaknya, memang powernya besar,” ungkapnya.

Informasi tersebut, kata dia, akan ditelusuri oleh para pihaknya. Termasuk, soal track record orang nomor 1 di UI tersebut. baik soal kebijakan-kebijakan sebelumnya hingga kemungkinan kepemilikan atas jabatan lainnya. ”Nanti akan kami sampaikan dalam bentuk grafis pada masyarakat,” pungkasnya. (wan/lum/tyo/mia)