25 radar bogor

Kerugian Efek Minuman Beralkohol Capai Rp 256 Triliun

Ilustrasi

RADAR BOGOR – Kerugian negara tanpa regulasi kuat yang mengatur minuman beralkohol (minol) terbilang besar. Hal itu, tidak hanya berdampak pada pengonsumsi minol, tetapi juga beban yang harus ditanggung oleh korban dan pemerintah.

Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan, beban ekonomi akibat efek samping minol terbilang signifikan.

Berdasarkan studi Montarat Thavorncharoensap tahun 2009 disejumlah negara, tekanan ekonomi sebagai dampak minol ada di kisaran 0,45 – 5,44 persen dari total Produk Domestik Bruto (PDB).

Jika diambil angka 1,66 persen (standar negara G20, Red), dan dibandingkan PDB Indonesia sebesar Rp 15.434 triliun, maka kerugian ekonomi yang ditimbulkan mencapai Rp 256 triliun per tahun.

“Kalau pake presentase paling kecil saja (0,45, Red) maka tingkat kerugian Rp 69,4 triliun,” ujar Bhima dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) terkait RUU Minol di Badan Legislasi, kemarin (14/7).

Kerugian itu, lanjut dia, dihitung baik dari kerugian langsung maupun tidak langsung. Kerugian langsung misalnya tanggungan BPJS akibat penyakit efek minol, kerusakan properti akibat mabuk, biaya penanganan kriminalitas, hingga biaya pencegahan minol.

Sementara kerugian tak langsung, misalnya lahirnya bayi prematur akibat minol, penurunan produktivitas masyarakat, pensiun dini akibat tersandung kasus kriminal, hingga penanganan korban kejahatan dampak minol.

“Tingkat kerugian lebih tinggi dibandingkan pendapatan negara dari sisi cukai Rp 7,14 triliun per tahunnya,” imbuhnya.

Bhima mendorong agar konsumsi minol bisa ditekan melalui UU. “Perlu regulasi yang lebih ketat. Entah judulnya melarang atau pengendalian,” tuturnya.

Dia yakin, masih banyak sektor lain yang bisa digenjot meningkatkan pendapatan negara, tanpa resiko sebesar minol.

Ketua Gerakan Nasional Anti Miras (GENAM), Fahira Idris sependapat. Pengendalian minol sudah dilakukan banyak negara. Bahkan di negara yang liberal atau sekuler sekalipun.

Di Inggris misalnya, ada batas konsumsi minol tidak boleh lebih dari 14 unit per minggu atau setara 6-7 gelas anggur. Singapura juga melarang peredaran minol di tempat umum pada pukul 23.00 – 07.00.

“Di Indonesia bisa dibeli siapa saja, di mana saja, kapan saja. Selama punya uang bisa dibeli siapa saja termasuk remaja,” sorot Fahira.

Monitoring soal produksi, distribusi, konsumsi minol di Indonesia juga masih kritis. Regulasinya pun hanya diatur aturan selevel Peraturan Pemerintah, Perda, Perpres atau peraturan lain setingkat menteri.

Yang lebih ironis, ketentuan di KUHP sudah tidak relevan dengan jaman. “Pemabuk yang mengganggu ketertiban umum hanya diancam kurungan paling lama 6 hari dan denda 375 rupiah. Bukan 375 juta atau 375 ribu,” jelasnya.

Terkait penolakan dari kelompok adat dan pelaku wisata, Fahira memaklumi. Oleh karenanya, GENAM sepakat dengan ketentuan pasal 8 draf RUU Minol terkait pengecualian terbatas.

“Kepentingan adat, ritual keagamaan, wisatawan, farmasi boleh,” tuturnya. Yang jelas, lanjut dia, Indonesia butuh regulasi dari hulu ke hilir. Yakni mengatur siapa, kapan dan di mana minol dapat dikonsumsi.

Perwakilan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Gerald Mario Semen sepakat perlunya RUU Minol. Dari aspek kesehatan, ada banyak resiko yang dialami penggunanya. “Minol pintu masuk penggunaan narkoba yang lain. Memang harus dikendalikan,” ujarnya.

Meski perlu, Gerald berpendapat ada UU lain yang jauh lebih urgent. Yakni pengendalian rokok. Sebab, situasinya jauh lebih parah.

Berdasarkan riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2007, kata Gerald, prevalensi usia pengguna alkohol di atas 10 tahun ada 3 persen. Jumlah itu hanya naik 0,3 Pada 2018. Sementara prevalensi perokok usia di atas 10 tahun pada 2007 mencapai 28,8 persen dan 2018 mencapai 29,3 persen.

Wakil Ketua Baleg Achmad Baidowi menghormati setiap perbedaan pendapat. Pihaknya akan menampung semua masukan. “Biasa ada yang sepakat dan tidak. Ini kembali ke keputusan baleg,” ujarnya. (far/bay)