25 radar bogor

Pandemi Korona dan Eksistensi Negara

Rd. Anggi Triana Ismail, S.H.
Rd. Anggi Triana Ismail, S.H.

MEMASUKI Tahun 2020, dunia diguncang oleh wabah virus korona yang menyebar dengan sangat cepat ke seluruh dunia. Hal ini mendorong pemerintah Indonesia untuk melakukan berbagai upaya termasuk mengambil kebijakan penanganan viris korona.

Salah satu tindakan awal yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia saat itu adalah dengan memerintahkan kedutaan Indonesia di China untuk memberi perhatian khusus terhadap WNI yang terisolasi di Wuhan.

Selain ditingkat pusat langkah siaga juga dilakukan oleh pemerintah daerah dengan menyiagakan rumah sakit sampai kepada pembatasan sosial masyarakat dalam rangka memutus mata rantai virus korona / Coronavirus Disease (Covid-19). Seluruh tindakan preventif sudah dilakukan oleh pemerintah baik pusat maupun didaerah.

Berbicara kebijakan PPKM

Untuk mencegah lonjakan Covid 19 yang dari hari ke hari angka penularannya semakin tinggi, ditahun ini Pemerintah menetapkan kebijakan berupa Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat di wilayah Jawa-Bali mulai tanggal 3 Juli-20 Juli 2021.

Berbeda dengan PPKM Mikro yang menitikberatkan pada peran skala kecil yang dilakukan oleh RT/RW sebagai ujung tombak, PPKM Darurat ini lebih berskala luas, yakni memberlakukan pembatasan-pembatasan luas dalam gerak sosial ekonomi masyarakat, seperti penutupan mall, tempat ibadah serta tempat-tempat lainnya yang berpotensi menimbulkan kerumunan.

Menko Kemaritiman dan Investasi, Luhut Pangaribuan yang juga Ketua PPKM Darurat Jawa-Bali mengatakan bahwa terdapat perbedaan yang cukup mendasar antara PPKM dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Menurut Luhut PPKM didasarkan pada perintah dari Presiden atau Pemerintah Pusat. Sedangkan PSBB didasarkan pada permohonan dari Pemerintah Daerah. Apakah benar demikian ?

Membandingkan dua istilah tentu bisa dilakukan jika kedua istilah tersebut benar-benar ada dasar yang jelas. Lalu bagaimana jika salah satu istilah itu tidak ada dasar yang jelas ? Istilah atau konsep hukum tentu akan merujuk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Peraturan perundang-undangan yang menjadi rujukan dalam hal ini adalah Undang-Undang No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Berdasarkan UU No. 6 Tahun 2014 tidak kita temukan istilah PPKM, baik itu PPKM Mikro maupun PPKM Darurat.

Oleh karena itu membandingkan antara konsep PPKM, baik Mikro maupun Darurat dan PSBB merupakan perbandingan yang tidak tepat karena PPKM tidak memiliki dasar hukum dalam UU No. 6 Tahun 2018. Bagaimanapun juga konsep atau teori tidak akan lahir dari ruang hampa.

Artinya setiap pemikiran akan selalu berpijak pada apa, akan sangat tergantung pada perspektif apa yang akan digunakan. Jika dalam perspektif ilmu sosial, maka realitas sosial akan menjadi batu pijakannya. Sedangkan dalam perspektif hukum, yang menjadi pijakan adalah hukum positif atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam UU No. 6 Tahun 2018 hanya dikenal empat istilah yakni, Karantina Wilayah, Karantina Rumah Sakit, Karantina Rumah dan Pembatasan Sosial Berskala Besar. Dalam UU No. 6 Tahun 2018 tidak dikenal istilah PPKM baik Mikro maupun Darurat. Di samping terkait istilah PPKM yang tidak ada dasar hukumnya, kita juga akan melihat pada hal lain terkait dengan penerapan PPKM ini.

Sehingga dasar lahirnya PPKM ini layak dipertanyakan secara hukum. Disisi lain akibat lahirnya penerapan PPKM ditengah masyarakat yang sedang serba berkebutuhan banyak ini, PPKM tidaklah berfungsi dengan maksimal sehingga output nya adalah kerusuhan. Sebagian masyarakat banyak mengalami tingkat stres yang sangat akut. Ini tentunya harus dijadikan catatan penting bagi pemerintah untuk segera menjawab segala keresahan warga nya.

“Apa saja tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh pemerintah bila terjadi karantina wilayah dan lain sebagainya?”
Berdasarkan ketentuan Pasal 4, Pasal 6, Pasal 78, Pasal 80, dan Pasal 82 UU Kekarantinaan Kesehatan, ada beberapa hal dasar yang harus dipenuhi oleh pemerintah selama karantina wilayah diberlakukan.

Pertama, pemerintah pusat dan pemerintah daerah bertanggungjawab melindungi kesehatan masyarakat dari penyakit yang berpotensi menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat melalui penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan.

Kedua, pemerintah pusat dan pemerintah daerah bertanggungjawab terhadap ketersediaan sumber daya yang diperlukan dalam penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan.

Ketiga, pendanaan kegiatan penyenggaraan kekarantinaan kesehatan bersumber dari APBN, APBD, dan atau masyarakat. Keempat, penyelenggaraan informasi kekarantinaan kesehatan dilaksanakan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Kelima, pemerintah pusat melakukan pembinaan terhadap semua kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan di wilayah dengan melibatkan pemerintah daerah.

Selama karantina wilayah terjadi, masyarakat mendapatkan hak-hak yang wajib dipenuhi oleh pemerintah. “Apa saja hak-hak masyarakat yang dimaksud?”.

Berdasarkan ketentuan Pasal 7 dan Pasal 8 UU Kekarantinaan Kesehatan, Pasal 5 UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular dan juga merujuk pada standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), rakyat mendapatkan hak selama karantina wilayah, antara lain:

1. Setiap orang mempunyai hak memperoleh perlakuan yang ama dalam penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan;

2. Setiap orang mempunyai hak mendapatkan pelayaan kesehatan dasar selama karantina;

3. Setiap orang mempunyai hak mendapatkan kebutuhan dasar medis selama karantina;

4. Setiap orang mempunyai hak mendapatkan kebutuhan dasar pangan, dan kebutuhan kehidupan sehari-hari lainya selama karantina;

5. Berhak mendapatkan pemenuhan kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak oleh pemerintah, yang mana pelaksanaannya melibatkan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan pihak terkait;

6. Bagi orang yang datang dari negara dan/atau wilayah Kedaruratan Kesehatan Mayarakat, ia mendapatkan pelayanan dari Pejabat Karantina Kesehatan yang meliputi : (1) Penapisan, (2) Kartu Kewaspadaan Kesehatan, (3) Informasi tentang tata cara pencegahan dan pengobatan wabah, (4) Pengambilan spesimen/sampel, (5) Rujukan, (6) Isolasi.

7. Mendapatkan ganti rugi akibat mengalami kerugian harta benda yang disebabkan oleh upaya penanggulangan wabah.

Secara normatif, Indonesia telah meratifikasi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Duham), Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, dan Konvenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Ekosob), menjadi UU Nomor 11 Tahun 2005 serta UU Nomor 12 Tahun 2005.

Pasal 23 ayat (1) Duham menyebutkan:
“Setiap orang berhak atas tingkat hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya, termasuk hak atas pangan, pakaian, perumahan, dan perawatan kesehatan serta pelayanan sosial yang diperlukan, dan berhak atas jaminan pada saat menganggur, menderita sakit, cacat, menjadi janda/duda, mencapai usia lanjut atau keadaan lainnya yang mengakibatkan kekurangan nafkah, yang berada di luar kekuasaannya.”

Dalam Pasal 12 Konvenan Hak Ekosob, salah satu ketentuannya juga menyatakan bahwa negara pihak harus melakukan segala sesuatu yang diperlukan untuk mengupayakan: Pencegahan, pengobatan, dan pengendalian segala penyakit menular, endemik, penyakit lainnya yang berhubungan dengan pekerjaan.

Jadi, kesehatan sangatlah penting karena dia menjadi prasyarat bagi seseorang untuk dapat maksimal mencapai harkat hidupnya, sekalipun juga diakui bahwa pemenuhan kesehatan individu bergantung pada berbagai faktor.

Untuk itu, dalam Komentar Umum Nomor 14 Hak Atas Standar Kesehatan Tertinggi yang bisa dijangkau, konvenan ini menjelaskan bahwa: “….hak kesehatan mencakup wilayah yang luas dari faktor ekonomi dan sosial yang berpengaruh pada penciptaan kondisi di mana masyarakat dapat mencapai kehidupan yang sehat, juga mencakup faktor-faktor penentu kesehatan seperti makanan dan nutrisi, tempat tinggal, akses terhadap air minum yang sehat dan sanitasi yang memadai, kondisi kerja yang sehat dan aman serta lingkungan yang sehat.”

Selanjutnya dalam komentar yang sama dinyatakan:
“Hak atas kesehatan tidaklah dapat diartikan sebagai hak untuk menjadi sehat sebagai hak untuk menjadi sehat, hak atas kesehatan berisi hak kebebasan dan hak atas sesuatu (). Kebebasan mencakup hak untuk memeriksakan kesehatan tubuh termasuk kesehatan seksual dan berproduksi dan hak untuk bebas dari gangguan atau campur tangan orang lain, hak untuk bebas dari penganiayaan, tindakan medis tanpa persetujuan dan eksperimen. Sebagai perbandingan, hak atas sesuatu termasuk hak atas sistem proteksi kesehatan yang menyediakan kesempatan yang setara bagi tiap orang untuk memenuhi standar kesehatan yang memadai dan terjangkau.”

Mengingat bahwa hak atas kesehatan bergantung banyak pada faktor internal yang ada pada seseorang, seperti bawaan genetik, maka hak atas kesehatan harus dipahami sebagai hak untuk dapat menikmati berbagai fasilitas, barang, layanan, maupun kondisi yang diperlukan untuk tercapainya standar kesehatan yang memadai yang dapat dijangkau, dan bukan hak untuk sehat.

Jadi, hak atas kesehatan bukan hanya terkait dengan layanan kesehatan tapi juga semua faktor yang menentukan kesehatan seperti akses pada air bersih, adanya persediaan makanan, nutrisi, dan perumahan yang aman, kondisi lingkungan yang mendukung, akses informasi terkait kesehatan, dan yang terpenting adalah partisipasi populasi yang paling terkena dampak dalam pengambilan kebijakan terkait kesehatan baik di tingkat komunitas, nasional, maupun internasional.

Oleh karena itu, dalam konteks pandemik virus corona sebagaimana yang dikeluarkan oleh WHO, maka pemerintah (terutama pemerintah pusat), memiliki kewajiban penuh. Tidak saja untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada warga yang terdampak corona, melainkan juga mendukung semua faktor yang menentukan virus itu dapat dihentikan persebarannya, baik jaminan atas ketersediaan makanan, akses informasi yang akurat, bahkan jika suatu ketika Indonesia harus mengambil kebijakan lockdown. (*)

Penulis :
Rd. Anggi Triana Ismail, S.H.
Managing Partner Kantor Hukum Sembilan Bintang & Partners